Makassar (ANTARA News) - Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-32 di Asrama Haji Sudiang Makassar, Jumat, memutuskan pimpinan NU yang mengincar jabatan politik, dari presiden hingga bupati/walikota, harus mundur dari jabatannya.

"Keputusan komisi organisasi, pengurus harian yang akan mencalonkan diri untuk jabatan politik harus mengundurkan diri," kata Ketua Panitia Muktamar KH Hafidz Utsman, di Makassar, Jumat.

Pengurus harian yang dimaksud adalah rais aam, wakil rais aam, ketua umum, dan wakil ketua umum di tingkat pengurus besar/pusat serta rais syuriah dan ketua di tingkat wilayah dan cabang.

Aturan tersebut lebih tegas dari aturan yang dihasilkan dalam muktamar sebelumnya yang hanya mensyaratkan pengurus NU non aktif selama proses pemilihan berlangsung, baik pemilihan umum presiden (Pilpres) maupun pemilihan kepala daerah (Pilkada).

Keputusan lain komisi organisasi adalah tidak membatasi masa jabatan pimpinan NU, misalnya masa jabatan ketua umum PBNU hanya dua periode.

"Masa khidmat pengurus NU pada level mana saja tak dibatasi, bisa satu kali, dua kali, tiga kali. Tidak ada batasan,"katanya.

Terkait pembatasan masa bakti pengurus sebelumnya menjadi perdebatan hangat di komisi organisasi. Sejumlah pengurus wilayah dan cabang NU menginginkan pembatasan itu dengan alasan agar terjadi kaderisasi.

Namun, pengurus wilayah dan cabang di daerah yang bukan basis NU, terutama di luar Jawa, merasa keberatan karena keterbatasan kader yang mereka miliki, terutama kader yang mumpuni untuk mengisi posisi di level pimpinan.
(S024/R009)