Pimpinan NU Harus Mundur Jika Incar Jabatan Politik

Friday, March 26, 2010

Jumat, 26 Maret 2010 20:21 WIB | Peristiwa | Politik/Hankam |

Makassar (ANTARA News) - Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-32 di Asrama Haji Sudiang Makassar, Jumat, memutuskan pimpinan NU yang mengincar jabatan politik, dari presiden hingga bupati/walikota, harus mundur dari jabatannya.

"Keputusan komisi organisasi, pengurus harian yang akan mencalonkan diri untuk jabatan politik harus mengundurkan diri," kata Ketua Panitia Muktamar KH Hafidz Utsman, di Makassar, Jumat.

Pengurus harian yang dimaksud adalah rais aam, wakil rais aam, ketua umum, dan wakil ketua umum di tingkat pengurus besar/pusat serta rais syuriah dan ketua di tingkat wilayah dan cabang.

Aturan tersebut lebih tegas dari aturan yang dihasilkan dalam muktamar sebelumnya yang hanya mensyaratkan pengurus NU non aktif selama proses pemilihan berlangsung, baik pemilihan umum presiden (Pilpres) maupun pemilihan kepala daerah (Pilkada).

Keputusan lain komisi organisasi adalah tidak membatasi masa jabatan pimpinan NU, misalnya masa jabatan ketua umum PBNU hanya dua periode.

"Masa khidmat pengurus NU pada level mana saja tak dibatasi, bisa satu kali, dua kali, tiga kali. Tidak ada batasan,"katanya.

Terkait pembatasan masa bakti pengurus sebelumnya menjadi perdebatan hangat di komisi organisasi. Sejumlah pengurus wilayah dan cabang NU menginginkan pembatasan itu dengan alasan agar terjadi kaderisasi.

Namun, pengurus wilayah dan cabang di daerah yang bukan basis NU, terutama di luar Jawa, merasa keberatan karena keterbatasan kader yang mereka miliki, terutama kader yang mumpuni untuk mengisi posisi di level pimpinan.
(S024/R009)
Read More...

NU dan Gerakan Islam Kontemporer



Oleh: Laode Ida

PADA suatu acara diskusi di Taman Ismail Marjuki (TIM) dengan tiga tokoh yang berminat menjadi ketua umum Tanfidziah PB NU dalam muktamar ke-32 saat ini, Dr H Andi Jamaro mengisahkan seorang temannya yang memperoleh keluhan dari beberapa warga NU lantaran suatu masjid milik ahlussunnah waljamaah telah diambil oper oleh komunitas lain. Pihak yang mengeluh tersebut mencermati bahwa imam masjid itu bukan lagi dari kaum sarungan.

Reaksi sahabat yang menerima ''pengaduan'' tersebut bukannya merespons dengan menyesalkan, melainkan justru menyatakan kesyukuran. Sebab, berdasar pengalamannya, jamaah yang belakangan ini mengisi setiap waktu salat di masjid itu hanya dia yang warga NU, selebihnya jamaah dari non-nahdlyin.

Intinya, warga NU tidak boleh hanya mengeluh, tapi juga harus berbuat untuk memelihara dan mengembangkan tradisinya dengan, antara lain, secara langsung memanfaatkan fasilitas warisan, termasuk masjid-masjid yang kerap hanya diklaim sebagai milik kaum nahdlyin.

Kisah nyata tersebut boleh jadi merupakan kecenderungan yang terjadi dewasa ini. Yakni, NU hanyalah ''besar dalam nama'', sedangkan basis kultural berikut massanya sudah memudar dan mengempes. Pada tingkat tertentu, NU bahkan boleh merupakan organisasi yang jadi milik para elitenya, sedangkan massa arus bawah sudah secara perlahan meninggalkan atau mengabaikan wadah tempat bermain para elitenya itu. Tepatnya, tidak mustahil kebesaran NU yang secara kuantitas kerap disebut sebagai organisasi massa Islam terbesar di Indonesia, bahkan di dunia, hanya merupakan klaim politis.

Kalau fenomena atau kecenderungan seperti itu terjadi, kendati memprihatinkan, sebenarnya tidak terlalu mengherankan. Mengapa? Pertama, konsentrasi para elite NU dalam sejarahnya lebih menonjol pada dimensi politiknya daripada orientasi kultural. Massa yang organik dengan basis pesantren-pesantren di Pulau Jawa memang tetap eksis. Namun, keberadaannya tidak bisa dilepaskan dari upaya mempertahankan orientasi kekuasaan para elitenya.

NU memang pernah secara formal mengambil jarak dengan dunia politik praktris melalui kesepakatan dalam muktamar ke-27 di Situbondo 1984. Konsepnya, kembali ke garis pesan substantif pada awal pendiriannya alias kembali ke Khitah 1926. KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang terpilih sebagai ketua umum tanfidziah selama tiga periode (1984-1999) awalnya relatif mampu menjalankan amanah itu.

Yakni, menjaga jarak dengan dunia politik seraya menjadikannya sebagai gerakan sosial untuk perubahan. Baik dalam NU maupun di tingkat negara (di mana NU selalu bersikap kritis terhadap kekuasaan yang otoriter). Nama NU pada era itu memang sangat menonjol dan disegani. Para elite NU giat melakukan pemberdayaan umat, termasuk menggalang kekuatan lintas komunitas dalam semangat kebangsaan.

Namun, posisi seperti itu tidak berlanjut pada era reformasi lantaran NU kembali masuk dalam kancah politik yang didahului dengan pendirian PKB dengan Gus Dur sebagai tokoh utamanya. Gerbong NU yang sebelumnya berisi para aktivis pelaku gerakan sosial mulai berhamburan masuk ke arena politik, baik melalui PKB maupun parpol lain, menikmati kekuasaan dan materi yang menyertainya.

Karena itu, sejarah pun kembali mencatat, orientasi dan fokus para elitenya adalah perebutan kekuasaan, bukan lagi pada pemberdayaan umat. Parahnya, konflik di antara para elite nahdliyin itu menjadi bagian yang lekat dalam tubuh NU yang berisi politisi, termasuk hingga wafatnya Gus Dur masih menyisakan luka konflik politik keluarga inti NU. Warga arus bawah pun, boleh jadi, tidak hanya mulai kehilangan para patron yang bisa menjadi acuan, melainkan juga bisa kehilangan simpati terhadap NU.

Kedua, gairah syiar tradisi berislam, kalau mau jujur diakui, jauh lebih gencar dilakukan komunitas non-NU daripada para elite ahlussunnah waljamaah. Fenomena tersebut bisa dicermati dalam masyarakat, termasuk di kampus-kampus dan bahkan sekolah menengah, sehingga gairah berislam para mahasiswa dan siswa pun turut meningkat. Bahkan, gerakan syiar berislam itu sekaligus membangun basis politik oleh jaringan parpol tertentu.

Para elite NU sebenarnya harus menyadari bahwa masyarakat Islam tidak akan merasakan manfaat dari sebuah organisasi Islam yang hanya mengandalkan kebanggaan sejarah dan atau nama besar. Nama besar NU, tepatnya, tidak lagi menjadi jaminan eksistensi untuk dipihaki dan terus diikuti sebagai tradisi yang berkelanjutan. Masyarakat kita sedang dan terus akan berubah, mencari model yang tepat untuk menjawab segala persoalan hidup yang dihadapi.

Gambaran tersebut memang merupakan realita objektif berdasar perkembangan kontemporer gerakan syiar dan termasuk politik Islam di Indonesia. Sementara itu, selain terjebak dalam politik praktis seperti yang sudah dijelaskan, NU dan gerakannya lebih terkonsentrasi di Pulau Jawa dan pesantren-pesantren. Di pulau dengan jumlah penduduk mayoritas itulah para elite NU merasa mapan, sehingga tidak lagi bersikap progresif dan proaktif.

Sementara itu, luar Jawa dianggap sebagai kekuatan NU pinggiran yang mungkin dianggap tidak penting untuk diperhatikan. Tepatnya, NU sebenarnya lebih menganggap dirinya atau diposisikan sebagai ''organisasi Islam Jawa''.

Kondisi seperti itu sebenarnya harus disadari akan menjadikan NU berada pada posisi stagnan dan menyalahi roh dasar berdirinya. Sebab, munculnya organisasi tersebut awalnya dimaksudkan mewadahi masyarakat Islam yang mempraktikkan ajaran ahlussunah waljamaah, sebuah praktik berislam yang umumnya dianut masyarakat Indonesia jauh sebelum berdirinya NU sebagai organisasi.

Hanya, karena dalam perjalanannya, ''diselewengkan'' seolah-olah hanya menjadi milik para kiai dan atau elite Islam sarungan di Jawa. Karena itu, tidak heran kalau masyarakat Islam ahlussunah waljamaah di luar Jawa tidak memperoleh sentuhan NU.

Generasi Islam yang hadir belakangan pun, baik di Jawa maupun di luar Jawa, tidak peduli lagi pada NU sebagai sebuah wadah. Mereka semua menemukan jati diri berislam tanpa sebuah identitas kelompok. (*)

*). Laode Ida, sosiolog dan pengamat NU
Read More...

DR.KH.MA.SAHAL MAHFUDH: Kaderisasi mandek,Banyak kader petualang.

Diposkan oleh Abdurrahman Haidar Jumat, 26 Maret 2010 Label: DR.KH.MA.Sahal Mahfudh. Nahdlatul Ulama 0 komentar

Kehadiran KH M.A. Sahal Mahfudh di Muktamar ke-32 NU Makassar menunjukkan betapa kesehatan beliau sangat prima. Selain seluruh agenda diikuti, juga menerima para tamu, termasuk Duta Masyarakat. Berikut hasil wawancara khusus dengan KH M.A. Sahal Mahfudh: Assalamualaikum, bagaimana kabar Kiai? Waalaikumussalam. Alhamdulillah, baik- baik saja. Sehat wal-afiat. Apa arti strategis paling penting bagi muktamar di Makassar ini? Paling tidak ada dua hal yang sangat strategis. Pertama, berkaitan dengan lokasi. Selama ini muktamar diadakan di Jawa, sekarang di luar Jawa. Sehingga mempunyai strategi pendekatan yang sangat hati-hati karena NU luar Jawa itu NU politik. Sementara NU kita ini khittah. Toh dilaksanakan di sini, ini suatu strategi. Kedua, tentu ke depan kita harus mulai pertimbangkan. Sebab terus terang selama ini istilah kembali ke Khittah 1926 kosong. Masih banyak tokoh dan para ulama yang tidak bisa meninggalkan peran politik. Termasuk mengkait-kaitkan NU baik itu masuk dalam pimpinan struktural maupun bukan. Dan ini perlu dipertimbangkan. Mungkin perlu ada reaktualisasi khittah? Apapun istilahnya, terserah. Menurut saya memang perlu dipertimbangkan ulang. Kalau memang kita tetap berpegang pada Khittah 1926 yang beneran, ya harus konsekuen. Semua aparat dari lini mana pun harus bertanggung jawab termasuk para ulama yang tidak dalam struktural. Bagaimana sikap PBNU terhadap kader muda yang cara berpikirnya dianggap ‘kebablasan’? Kalau bicara dari sisi PBNU tentu saja tidak bisa mentolelir. Tetapi kalau sekarang bilang PB kan susah, karena pengaruh orang beda-beda. Ke depan susah juga. Karena pemikiran mereka akan mempengaruhi citra PBNU itu sendiri. Jadi harus berpegang NU yang konsekuen sebagai jamiyyah? Terserah. Maka harus dipikir ulang. Amburadulnya pemikiran- pemikiran sekarang ini di satu sisi masih getol NU, ini positif. Tapi di sisi lain ada yang tidak boleh tidak harus khittah, khittah murni. Meskipun kecil. Katakanlah, saya sendirian memperjuangkan khittah murni itu. Khittah yang semestinya? Khittah semestinya kembali ke ajaran khittah itu sendiri. Yaitu mengembalikan NU sebagai jamiyyah-diniyyah-ijtimaiyyah. Organisasi sosial keagamaan. Tidak ada politik. Dan sebetulnya sikap itu sebagai langkah politis tersendiri. Lantas bagaimana sikap politik warga NU? Di sini warga NU memperoleh kebebasan untuk bersikap sesuai dengan nuansa politik yang mereka cenderungi. Itu lebih bebas jangan terikat pada pengaruh kiai atau perintah kiai atau takut kuwalat dengan mertua atau kiai untuk melampiaskan misi-visi politiknya. Berhasilkah? Ya. Tapi kan belum tentu dianggap tepat pilihan. Tapi kenyataannya banyak yang memilih ke partai sekuler? Itu yang disesalkan. Itu yang dikatakan belum tepat pilihan. Harusnya yang idealis. Yang bebas mutlak kan tidak ada. Dalam pemerintahan sekarang, beberapa menteri merupakan kader NU. Apa pengaruhnya? Bagi NU, sebenarnya yang dikejar bukan posisi. NU bukan mengejar posisi. Tetapi ingin mendudukkan fungsi dan misi. Soal posisi itu no problem. Apakah jadi menteri atau tidak. Meskipun menterinya NU, kalau aspirasinya tidak NU ya apa artinya? Ada yang mengibaratkan NU sebagai kendaraan yang kelebihan penumpang. Sehingga banyak kader yang lompat pagar. Karena sebagai kader dia masih berpikir soal posisi. Bila tidak memperoleh posisi lantas pergi. Bukan hanya posisi, tetapi apa- apa harus ‘saya’. Masih ada yang begitu. Sistem pemilihan rais am dan ketua tanfidziyah seperti selama ini sudah cukup? Sebenarnya sudah cukup. Apalagi sudah ada kontrak politik untuk ketua tanfidziyah. Hanya selama ini kontrak tidak difungsikan. Kontrak ini memang lemah. Karena di dalam kontrak tidak ada janji-akibat. Sanksi tidak ada. Kalau kontrak ini ada sanksinya bagus. Karena itu rais am tidak bisa menindak ketua tanfidziyah apabila melanggar? Saya tidak bisa melakukan apa-apa karena sama-sama dipilih muktamar. Jadi...? Nggak sesederhana itu. Harus dilihat, rais am-nya itu temperamental, sering mencaci orang atau dia demokratis. Lantas apa yang perlu dibenahi bagi NU ke depan? Secara organisatoris terus terang paling berat. Pembenahan organisasi masih berat. Karena semuanya belum bisa melakukan satu sistem organisatoris. Belum serempak. Jadi masih sendiri- sendiri. Orang masih berpikiran terserah. Jadi harus dibangun kembali karakter warga NU? Bukan hanya sekedar orangnya tetapi sistem. Siapa pun yang masuk di sistem itu harus disiplin dan taat. Konkretnya... Contoh posisi syuriah. Sekarang ini didominasi oleh wibawa dan kealiman seseorang. Bukan sistem. Saya berharap sistem. Jadi bukan karena saya. Saya sendiri ingin, suatu kebijaksanaan bisa jalan bukan karena saya, tetapi karena rais am. Syuriah benar- benar merupakan lembaga. Posisi syuriah menjadi kuat karena tim. Tampaknya perlu pembatasan yang tegas di internal organisasi? Pembatasan itu mutlak. Kalau tidak, bisa overlap antara bagian badan otonom dan lembaga-lembaga lain yang masih dalam struktur setingkat. Keberhasilan penting apa saja yang telah dicapai periode ini? Hanya bertahan pada tidak terlalu politik. Untuk mengendalikan sama sekali tidak terlalu politis, tidak bisa. Kiai risau melihat NU masih diseret-seret ke ranah politik? Saya berharap yang terjun ke politik ya jangan terus bawa-bawa NU. Partai janganlah selalu mengidentikkan dengan NU. Harus lepas. Historis, atau apa itu tidak usah. Yang politik ya politik. Dia mampu atau tidak. Terakhir kiai, banyak yang mengeluhkan kaderisasi tidak ditangani serius? Kaderisasi memang tidak jalan. Harus secepat mungkin ditangani. Memang sulit karena harus dari bawah. Selama ini tidak ada, yang ada hanya nemu saja. Akhirnya banyak kader yang petualangan. Read More...

NU, Liberalisme, Tradisionalisme, dan Egalitarianisme


Oleh : Fajar Kurnianto


Tereliminasinya Ulil Abshar-Abdalla, tokoh muda NU yang menyebut dirinya sebagai Gus Dur muda, dari bursa calon ketua PBNU pada Muktamar NU ke-32 di Makassar sepanjang akhir bulan ini, karena alasan bahwa dia terlibat dalam Jaringan Islam Liberal (JIL), bahkan pernah menjadi koordinatornya. Alasan lain yang tidak tersebut, dia masih terlalu muda untuk memimpin organisasi sebesar NU, sementara masih ada kaum tua yang lebih sepuh.

Liberalisme & tradisionalisme

Ulil Abshar-Abdalla memang dikenal sebagai tokoh muda NU yang berpemikiran liberal. Bersama anak-anak muda NU lainnya, ia membuat JIL untuk mewadahi anak-anak muda NU yang berpikiran bebas dan kritis untuk membongkar pemikiran tradisional yang rigid dan membelenggu kemajuan. Kemunculan JIL di wilayah NU juga tidak lepas dari peran dan keberadaan seorang Gus Dur yang sangat mengapresiasi, bahkan mendukung anak-anak muda NU ini untuk mengembangkan pemikirannya lebih maju. Pemikiran-pemikiran JIL hampir dapat dikatakan menjadi ejawantah pemikiran Gus Dur.

Uniknya, kemunculan JIL dianggap sebagai sesuatu yang membahayakan, sementara tidak demikian dengan sosok Gus Dur. Dengan demikian, berarti, alasan ditolaknya unsur-unsur JIL sebenarnya terkesan janggal jika mengingat sosok Gus Dur di NU. JIL muncul dan tumbuh hingga saat ini karena peran Gus Dur. Sementara Gus Dur adalah sosok yang dianggap merepresentasikan seorang NU tulen. Selain bahwa ia sendiri adalah cucu dari pendiri NU, Hadratusy Syaikh KH Hasyim Asy’ari. Persoalannya kemudian menjadi paradoks jika melihat bahwa NU bermazhab Ahli Sunnah wal Jamaah (Aswaja) yang dalam lintasan sejarah, dikenal dengan paham tradisionalis-moderatnya.

Aswaja disebut tradisioanlis karena teguh mempertahankan tradisi keagamaan yang diwariskan para ulama klasik, sementara moderat karena mazhab berada di titik tengah antara dua titik ekstrim. Dalam masalah teologi, misalnya, tentang penafsiran terhadap ungkapan-ungkapan yang menyatakan bahwa Tuhan memiliki tangan, kaki, mata, dan seterusnya, seperti layaknya manusia, mazhab ini moderat di antara dua titik ekstrim. Satu titik menafsirkan bahwa Tuhan benar-benar memiliki tangan, kaki, mata, dan seterusnya, seperti manusia. Sementara titik ekstrim lainnya menyebut bahwa Tuhan tidak memiliki itu semua, karena Tuhan beda dengan manusia. Titik ekstrim yang terakhir ini lalu mengambil langkah takwil. Yakni, mengartikan ungkapan-ungkapan itu dengan makna lain. Tangan, misalnya, diartikan sebagai kekuasaan. Ahlus Sunnah wal Jamaah mengambil langkah pertengahan dengan mengatakan bahwa Tuhan memiliki tangan, tetapi tangan-Nya tidak sama dengan tangan manusia. Manusia hanya perlu menyebut itu, tidak perlu mempertanyakan bagaimana bentuknya. Dalam masalah takdir juga demikian. Mazhab ini berada di antara Qadariyah (Muktazilah) yang mengatakan bahwa takdir di tangan manusia dan Jabariyah (fatalisme) yang mengatakan bahwa takdir di tangan Tuhan.

Liberalisme sendiri sebetulnya merupakan istilah yang sudah terstigma negatif. Apalagi, istilah ini diambil dari khazanah paradaban Barat yang sekuler. Kekhawatiran pun merebak di kalangan masyarakat NU bahwa liberalisme akan membawa pada sekulerisme yang pada gilirannya membawa masyarakat untuk hidup permisif ala Barat. Padahal, jika dicermati, liberalisme ini hanya di ranah pemikiran. Liberalisme ditujukan untuk misi pembebasan (liberty) dari paradigma berpikir keagamaan yang jumud dan kaku. Liberalisme ingin membongkar doktrin-doktrin yang dianggap membatu. Karena, pada dasarnya, Islam sendiri sejak kemunculannya membawa misi liberty ini. Yakni, membebaskan masyarakat dari alam kegelapan pada cahaya yang terang (zulumat ilan nur).

Egalitarianisme

Masyarakat egaliter adalah masyarakat yang menempatkan manusia pada posisi yang setara, satu dengan yang lainnya. Tidak ada perasaan senioritas di kalangan masyarakat. Ini rupanya tidak berlaku di kalangan NU. Masyarakat NU tetap merasa bahwa figur tua atau lebih senior itu lebih berhak mengurus NU. Tokoh-tokoh seperti Solahudin Wahid, Said Aqil Siraj, Ahmad Bakja, dan Masdar F Mas’udi, lebih berhak dan layak untuk menjadi ketua PBNU dibandingkan Ulil Abshar-Abdalla. Kaum muda tidak begitu diminati. Apalagi, jika kaum muda sudah terstigma negatif akibat pemikiran yang dianggap nyeleneh. Di kalangan masyarakat NU malah menguat desakan agar NU benar-benar steril dari pemikiran liberal.

Kaum muda NU sebetulnya ingin kaum muda dihargai. Setidaknya, dengan tidak membuat tata tertib yang langsung membuat calon kandidat tertentu langsung tereliminasi. Artinya, NU diminta untuk konsisten dengan moderatisme yang memberi ruang pada kaum muda untuk maju. Toh, jika melihat konfigurasi dukungan masyarakat NU, kaum muda memang berkans kecil. Kaum muda NU lebih populer di kampus-kampus. Sementara jumlah santri yang fanatik pada figur kyai jauh lebih besar. Ulil tentunya juga tahu betul peta masyarakat akar rumput NU yang seperti itu. Ia hanya ingin kaum muda terwadahi, bahkan diberi kesempatan untuk tampil dengan mencalonkan diri.

Apa yang terjadi pada tereliminasinya Ulil gara-gara pemikiran liberal mengindikasikan masih lebarnya jurang komunikasi antara kaum muda dan kaum tua dalam ruang organisasi NU. Kaum tua dianggap terlalu kolot dengan mempertahankan tradisi, sementara kaum muda dianggap tidak sopan melangkahi kaum tua. Ini mungkin dinamika yang terjadi di NU. Namun begitu, dinamika ini sesungguhnya tidak mengubah citra NU di mata publik, baik nasional maupun internasional, sebagai organisasi kemasyarakatan yang telah berbicara dan memberikan sumbangsih positif bagi kemajuan yang progresif.*
Read More...

Gus Mus: Muktamar NU Seperti Pelaksanaan Pilkada


Mauludin Anwar
26/03/2010 20:02
Liputan6.com, Makassar: Budayawan dan sesepuh NU, KH Mustofa Bisri (Gus Mus), di sela-sela pelaksanaan Muktamar Nahdlatul Ulama (NU), di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat (26/3), mengatakan, pemilihan Ketua Umum PBNU dan Rais Am, sudah benar-benar seperti pilkada atau pemilihan ketua partai politik.

Bagaimana tidak kata Gus Mus, setiap kandidat berusaha menjegal dan menggunakan segala cara, untuk mengalahkan kandidat lainnya. Pengerahan atau mobilisasi massa untuk mendukung salah satu kandidat di arena muktamar, juga seperti menjadi hal yang tidak tabu lagi dilakukan.

Melihat hal ini, Gus Mus menghimbau kepada para peserta muktamar untuk tidak menggadaikan suaranya dengan memilih kandidat yang tidak kompeten, atau kandidat yang telah diintervensi oleh kekuasaan. "Pilihlah orang-orang yang bekerja untuk kebesaran NU", kata Gus Mus.

Peryataan Gus Mus ini semakin diperkuat dengan beredarnya isu politik uang di arena muktamar, untuk memenangkan salah satu kandidat. Meski belum ada verifikasi data tentang kejelasan isu ini, namun sebagian peserta, bahkan kandidat seperti, KH Mustofa Bisri dan Ulil Absar Abdala membenarkannya. Hasyim menganggap, politik uang sangat mengotori kesakralan pelaksanaan muktamar.

Isu politik uang semakin kencang berembus, saat salah satu kandidat, yakni Said Agil Siraj sebelumnya sempat mendatangi kediaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Cikeas, dan dianggap mendapat restu dari Presiden. Namun isu ini dibantah oleh Said.

Sementara hari ini, Komisi Bidang Organisasi NU, rencananya akan melakukan sidang pleno, sebelum pemilihan Rois Am dan Ketua Umum PBNU dilaksanakan.

Sedangkan dari hasil survei Lembaga Trus Indonesia, menempatkan KH Said Agil Siraj sebagai kandidat utama, dengan perolehan suara mencapai 35,8 persen. Ini bertolak belakang dengan hasil survei dari Pupkaptis UI, yang menempatkan KH Sholahuddin Wahid di urutan pertama, dengan perolehan suara mencapai 86,15 persen.(ARL)
Read More...

Selebaran Berisi Ajakan Menerima Keputusan Muktamar NU Beredar

Laporan: Syekhuddin/Mansur AM/Aqsa Riandy Pananrang. tribuntimurcom@yahoo.com
JUMAT, 26 MARET 2010 | 20:34 WITA

MAKASSAR, TRIBUN-TIMUR.COM - Ajakan muktamar damai diserukan berbagai kalangan dan badan otonom NU, berbagai selebaran pun mulai bermunculan di setiap sudut dan jalan-jalan di asrama haji sudiang yang mengajak warga nahdliyin untuk tetap menghormati tradisi NU sebagai organisasi yang mengedepankan kekeluargaan dan jamaah Salah satu seruan yang disampaikan PP Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama dalam Muktamar ke-32 NU di Makassar adalah sebagai berikut.

1. Menyerukan kepada semua pihak yang terlibat dalam pencalonan Rais Aam dan Ketua tanfidziyah PBNU agar senantiasa mengedepankan cara-cara yang berakhlakul karimah, bermartabat, dan mendahulukan kepentingan NU diatas egala-galanya

2. Mengharamkan money politic dalam proses pemilihan Rois Aam dan Ketua Tanfidziyah PBNU dan segala hal yang tidak dibenarkan oleh agama dan norma susila

3. Mendorong kepada semua pihak untuk tetap menjaga ukhuwah nahdliyah dalam kompetisi pemilihan Rosi Aam dan Ketua Tanfidziyah PBNU dengan tetap mentaati nasehat para ulama/kyai sepuh yang mukhlis

4. Menghimbau kepada semua pihak agar mewaspadai segala bentuk provokasi yang mengarahkan pada upaya-upaya adu domba dan perpecahan warga nahdliyin

5. Menghimbau kpada semua pihak agar tidak terjebak pada kepentingan pragmatis dan sesaat, namun harus berorientasi pada program-program konkret yang menyentuh langsung pada kepentingan umat sebagaimana diamanatkan dalam muktamar sebelumnya

6. Mengingatkan kepada semua pihak agar tetap konsisten dalam melaksanakan khittah NU dengan berpegang teguh pada nilai-nilai dan ajaran ahlu sunnah wal jamaah

7. Menyerukan kepada semua pihak agar menerima semua keputusan Muktamar ke-32 NU yang dilaksanakan secara demoratis sesuai aturan yang disepakati para muktamirin. (*)

Read More...

Agenda rekonfigurasi dalam Muktamar ke-32 NU

DUTA MASYARAKAT, 24 Maret 2010

DR H ANDI JAMARO DULUNG
Menapaki usianya yang ke-82, Nahdlatul Ulama (NU) tentu saja semakin memasuki tahap “pematangan”, baik secara jama’ah maupun jam’iyah. Turut berkiprah, serta mewarnai sejarah Republik ini selama hampir satu abad, seharusnya memberi NU pengalaman yang memadai dalam mencari bentuknya yang ideal. Sejarah mencatat, NU selalu terlibat sebagai aktor yang diperhitungkan dalam setiap fase perubahan konstalasi nasional. NU pernah menjalani masa-masa sebagai partai politik, hingga akhirnya kembali ke “khittah”, bahkan secara tidak langsung NU mampu mengantarkan salah satu kader terbaiknya menjadi orang nomor satu di negeri ini, Abdurrahman Wahid.

Namun ironi terjadi, hari ini NU seperti kehilangan taring. Percaturan nasional seolah mengesampingkan NU sebagai jangkar perubahan. Salah satu penyebabnya adalah budaya pragmatisme politik yang menggerogoti nilai-nilai luhur politik kebangsaan yang selalu dijunjung tinggi NU. Pragmatisme memang mengikis banyak hal, independensi, kearifan sikap, solidaritas, bahkan kewibawaan NU. Karena itu, menurut hemat saya, Muktamar ke-32 NU di Makassar harus menjadi pijakan menuju lembaran baru, menampilkan eksistensi kewibawaan organisasi ini kembali sebagai ormas Islam terbesar di tingkat nasional, bahkan dunia.

Karena itu, muktamar harus menjadi ajang introspeksi dan evaluasi, baik yang sifatnya internal maupun eksternal. Pertama, aspek pemberdayaan ekonomi kerakyatan. Selama ini konsentrasi NU dalam hal ini terlihat belum maksimal. Upaya yang dilakukan masih berkutat pada kerangka pola pikir instrumentalistik, yang orientasinya hanya bagaimana bertahan hidup, sekadar menjadi penopang industri-industri besar. Padahal, orientasi pemberdayaan ekonomi harus ditujukan pada pengembangan berbasis kemandirian. Hal ini dapat dicapai dengan mendorong munculnya kreasi-kreasi produktif di lapisan bawah yang secara jumlah didominasi warga NU.

Kedua, manajemen distribusi kader. Sebagai ormas Islam terbesar, dengan keanggotaan mencapai kurang lebih 40 juta, NU mengalami “kesulitan” dalam urusan mengelola potensi kader di berbagai disiplin pengabdian. Kader NU yang berserakan itu tentu saja dapat menjadi kekuatan potensial jika dikelola dalam satu rajutan yang sinergis. Kepengurusan NU ke depan harus melakukan upaya sungguh-sungguh untuk memungut potensi kader yang bertebaran itu dan mentransformasikannya menjadi kekuatan perubahan yang layak diperhitungkan. Termasuk kader NU di lembaga-lembaga tinggi negara, eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Perbedaan warna politik seharusnya tidak membuat kader-kader politisi NU terjebak dalam pertentangan yang tidak produktif bagi kemaslahatan umat. Perbedaan itu justru harus menjadi rahmat untuk kepentingan besar politik kebangsaan yang dikomandani dan digariskan oleh induknya, Nahdlatul Ulama.

Pada aspek internal, kepengurusan NU priode mendatang harus kembali memberi perhatian lebih pada proses kaderisasi di tubuh NU. Hampir satu dekade terakhir ini, konsentrasi perangkat-perangkat struktural NU lebih tersedot pada dimensi politik, tepatnya politik kekuasaan. Badan-badan otonom misalnya, harus bergerak dalam kerangka kepanjangan tangan PBNU dalam menempa dan menyiapkan kader NU yang mumpuni di segmennya masing-masing. Badan otonom semestinya tidak berseberangan (dalam beberapa hal berkonflik) dengan Pengurus Besar dalam agenda-agenda keumatan, apalagi pada pilihan-pilihan politik praktis.

Dalam konteks inilah, hubungan NU dan PMII sebagai wadah gerakan mahasiswa yang selama ini berafiliasi secara kultural, perlu direformulasikan dalam ikatan struktural-kelembagaan, sebagaimana sejarah awalnya, PMII sebagai sayap gerakan mahasiswa NU yang bernaung di bawah kelembagaan NU. Peristiwa NU menjadi partai politik yang kemudian membuat PMII memilih sikap independen. Saat ini, menurut saya, konteksnya sudah berubah. Gerakan kembali ke Khitth ‘26 memosisikan NU sebagai ormas yang menekankan aspek sosial keagamaan sebagai wilayah garapannya. PMII perlu hadir memperkuat kelembagaan NU dalam wilayah gerakan mahasiswa, agar proses kaderisasi di tubuh NU berjalan lebih seirama dengan agenda besar NU.

Kedua, representasi keterwakilan wilayah di kepengurusan tingkat nasional. Sebagai ormas yang memiliki kepengurusan tingkat cabang dan wilayah di seluruh Nusantara, hendaknya konfigurasi di tingkat nasional merepresentasikan keragaman itu. Kepimpinan di tingkat nasional tidak hanya diidentifikasi dengan region tertentu. Akan tetapi harus memperhatikan keterwakilan semua wilayah, baik Jawa, Sulawesi, Sumatera, serta seluruh wilayah lainnya.

Ketiga, mengembalikan supremasi ulama dalam kelembagaan NU. Hari ini sangat terasa lemahnya kontrol ulama dalam pengambilan kebijakan di tubuh NU. Karena itu, bagi saya, kelembagaan syuriah di PBNU harus diberi kewenangan yang lebih besar, dalam melakukan kontrol dan pengawasan terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil dan dijalankan oleh eksekutif (tanfidziyah).

Sampai di sini, aspek yang tak kalah penting untuk menjamin agenda rekonfigurasi ini dapat berjalan dengan baik, adalah kepemimpinan yang memenuhi “syarat”. Pemimpin NU haruslah sosok yang mengerti nilai-nilai Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (Aswaja) secara utuh. Aswaja, baik sebagai panduan paradigm, nilai, maupun moral, selalu menjadi kerangka besar dalam setiap perumusan kebijakan yang akan dioperasionalkan oleh kepengurusan NU.

Pemimpin NU, mau tidak mau, harus memiliki jaringan (networking) yang luas, baik dalam maupun luar negeri. NU sebagai organisasi keagamaan terbesar, musti melakukan interaksi dengan komunitas lain. Dalam kerangka pengembangan keorganisasian, maupun dalam konteks kontestasi sosial, NU sebagai organ pasti terlibat dalam sebuah kontestasi dengan kelompok lain. Di sinilah, pemimpin NU dituntut memiliki skill kebahasaan yang memadai, sebagai sarana berkomunikasi dengan element yang lebih luas.

Terakhir, kemampuan manajerial menjadi prasyarat yang tidak bisa dilewatkan. Mengelola dan memimpin organisasi besar seperti NU membutuhkan keterampilan manajerial yang andal dan teruji. Setidaknya pemimpin NU ke depan, sosok yang sudah berpengalaman memimpin organisasi besar, baik di lingkungan NU maupun di komunitas lain. Pengalaman ini menjadi bekal dalam memahami kondisi riil NU, sehingga mengerti betul ke mana kebijakan NU harus diajalankan.

Sekali lagi, Muktamar ke-32 NU di Makassar harus benar-benar dimanfaatkan sebagai titik tolak penyegaran kembali gerakan Nahdliyah. Agar manfaat strategis NU segera kembali terejawantahkan dalam segala dimensi kehidupan umat, beragama, berbangsa, dan bernegara. Semoga!

* DR H ANDI JAMARO DULUNG adalah Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
Read More...

Politik kebudayaan dan khittah NU


DUTA MASYARAKAT, 22 Maret 2010

oleh: FATHOR RAHMAN JM
Kontributor dalam Buku Sarung & Demokrasi


Sebagai organisasi kemasyarakatan dan keagamaan (Islam), tugas dan tujuan utama Nahdlatul Ulama (NU) sebenarnya adalah dakwah, menegakkan hukum Tuhan di muka bumi. Hal ini sama saja sebenarnya dengan organisasi-organisasi sosial keagamaan (Islam) lainnya di Nusantara. Namun satu hal yang membedakan NU dengan organisasi-organisasi lain tersebut. Yakni, sikap akomodatifnya terhadap budaya.

Paradigma keberagamaan masyarakat NU berpijak pada nilai-nilai keislaman universal yang tumbuh dan berakar kuat dalam tradisi keilmuan seluruh umat Islam tradisionalis, khususnya dalam proses Islamisasi awal di Nusantara.

Paradigma ini dapat dilacak dalam epistemologi pemikiran keagamaan NU yang lekat dengan kelompok pemikiran keislaman Ahl al-Sunnah wa al-Jam�’ah (Sunni). Pemikiran keagamaan Sunni berusaha memadukan antara corak pemikiran naqli (dogmatis-tekstualis) dan aqli (rasionalis-kontekstualis).

Dengan bekal paradigma tersebut, masyarakat NU dapat menempatkan diri sebagai bagian dari keragaman (pluralitas) ciptaan Tuhan di muka bumi ini. Al-hasil, sikap toleransi (tasamuh), moderat (tawasuth), proporsional (tawazzun), dan adil (ta’adul) menjadi pijakan dasar dalam segala motivasi dan perilaku masyarakat NU.

Hal inilah yang menghasilkan sikap akomodatif masyarakat NU, khususnya terhadap budaya lokal. Bagi NU, dalam kegiatan dakwah, budaya lokal bukanlah rival yang harus dibasmi. Justru, budaya lokal dianggap sebagai penunjang atau fasilitas dalam menyampaikan dakwah, sebagaimana dakwah yang dilakukan Kanjeng Sunan Kalijaga yang menjadikan pertunjukan seni budaya lokal sebagai sarana dakwah.

Budaya lokal adalah peradaban kecil, sedangkan Islam adalah peradaban besar. NU mengibaratkan budaya lokal seperti aliran sungai kecil yang bisa menyatu dan menambah debit air sehingga menjadi sungai besar (peradaban Islam). Dari banyak budaya lokal itulah budaya Islam yang besar itu berasa. Tanpa sungai-sungai kecil tersebut, sangat sulit menemukan sungai-sungai besar.



Muktamar NU di Makassar

Topik mengenai interaksi NU dengan budaya lokal serta kaitannya dengan Khittah NU 1926 menjadi sangat relevan dijadikan agenda pembahasan dalam Muktamar NU di Makassar. Selama ini, aspek khittah NU yang mendapat perhatian intensif justru hanya masalah interaksi NU dengan politik kekuasaan. Padahal, sebagaimana yang pernah di-dawuh-kan KH Muchit Muzadi, pemulihan khittah NU bukan hanya dalam politik praktis. Politik praktis hanya sebagian kecil dari sasaran khittah. Banyak segi yang harus diperhatikan terkait dengan khittah.

Untuk dapat mengekstensifkan ruang wacana khittah NU, maka NU perlu memperhatikan kembali apa yang pernah difatwakan oleh Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari, bahwa posisi NU berdiri di “tengah” (tawasuth) sebagai penjaga tradisi keagamaan masyarakat lokal dari ancaman gerakan puritanisme Islam. Untuk mengaplikasikan fatwa ini, NU tidak bisa tidak selalu meneguhkan politik kebudayaan.

Kalau dicermati, sebenarnya politik kebudayaan inilah inti dari Khittah NU 1926. Sebab, meneguhkan politik kebudayaan dapat memungkinkan NU mengepakkan sayap dakwah dan pendidikannya selebar mungkin dalam segala aspek kehidupan tanpa merasa rikuh dan asing dengan masyarakat budaya setempat. Ini dapat dibuktikan dengan berperannya NU dalam segala bidang kehidupan, seperti bidang agama, sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Hal itu merupakan keuntungan bagi siapa saja yang tekun mengembangkan politik kebudayaan.

L Bonet (2007) mengungkapkan empat alasan pentingnya mengembangkan politik kebudayaan. Pertama, nilai strategis budaya sebagai penyebar standar simbolis dan komunikatif. Kedua, perlunya menempa identitas kolektif. Ketiga, politik kebudayaan berdampak positif pada ekonomi dan sosial karena mengembangkan kreativitas. Keempat, perlu memelihara kekayaan kolektif (budaya, sejarah, tradisi, dan seni). Keempatnya mengandaikan penerimaan keragaman masyarakat, hal yang sebenarnya telah ditekuni oleh NU (Haryatmoko, 2009).

Karena itu, tidak heran kalau dalam sejarah dan garis perjuangannya di Nusantara, NU tercatat sebagai organisasi yang terdepan dalam memperjuangkan multikulturalisme. Ya, NU menjadi pelopor adanya pengakuan terhadap keberagaman budaya yang menumbuhkan kepedulian agar berbagai kelompok yang termarjinalisasi dapat terintegrasi dalam suatu komunitas skala besar, dan masyarakat mengakomodasi segala perbedaan budaya sehingga keunikan identitas masing-masing mereka diakui.

Hal ini menjadikan NU sebagai organisasi yang mampu merekatkan hubungan antarmasyarakat Nusantara yang majemuk, sehingga menguatkan persatuan bangsa dalam segala aspek pluralitasnya. Kalau mau jujur, dalam hal inilah jasa NU teramat besar.

Selain itu, ketekunan NU dalam membangun politik kebudayaan merupakan aset paling berharga bagi NU untuk selalu menjadi pelopor dalam segala kegiatan politik dalam arti luas, sebagaimana yang diartikan Ginsburg (1996), sebagai kontrol terhadap alat-alat produksi, reproduksi, konsumsi, dan akumulasi daya-daya material serta simbolis.

Hal yang demikian tidak terbatas pada pengertian perebuatan kekuasaan dalam pemerintahan, melainkan melingkupi segala aspek kehidupan manusia. Kepeloporan dalam kegiatan politik yang demikian dapat dilihat dalam sejarah perjalanan NU sejak lahir hingga saat ini. NU terlibat dalam politik kebangsaan, kerakyatan, dan kekuasaan.

Keterlibatan NU dalam politik kekuasaan sebenarnya dapat dikatakan sebagai kodrat atau konsekuensi logis dari kenyataan bahwa NU adalah organisasi keagamaan (Islam), agama dengan penganut terbanyak di Indonesia. Dalam The Interpretation of Cultures (1996), Clifford Geertz memetakan struktur Islam Jawa (Nusantara) yang ia sebut sebagai religion as a cultural system (agama sebagai sistem budaya).

Dalam hal ini, agama sangat potensial dijadikan komoditas politik, karena praktik dan sistem teologi keagamaan mampu menciptakan kesatuan nilai yang menyedot ketundukan massa. Dari sini terciptalah primordialisme berdasarkan nilai keagamaan, yang dalam kalkulasi pangsa politik sangat potensial dan menguntungkan. Tidak mengherankan kalau dalam setiap ada event politik kekuasaan NU menjadi sesuatu yang menarik karena besarnya kantong suara yang dimiliki NU. Lebih-lebih ketika NU menyatakan diri kembali ke khittah yang sering dimaknai sebagai sikap apolitik.

Jadi, dalam Muktamar NU di Makassar, para muktamirin harus bisa memilih pemimpin yang mampu meneguhkan dan mengembangkan politik kebudayaan NU sebagai inti dari Khittah NU 1926. Wallahu a’lam.
Read More...

Pernikahan Melalui Email Diharamkan NU

JUM'AT, 26 MARET 2010 | 17:01 WIB

foto

Mukhtamar NU di Asrama Haji Makassar (23/3). TEMPO/Kink Kesuma Rein

TEMPO Interaktif, Makassar - Bagi Anda yang ingin mernikah dengan cara gampang, misalnya menggunakan surat eletronik atau Email lantaran pasangan Anda berada di tempat yang jauh, segeralah mengurungkan. Sebab, Komisi Bahtsul Masail Diniyah Waqi'iyyah Muktamar NU ke-32 di Makassar mengaharamkan perkawinan model tersebut.

Berdasarkan analisa Komisi, pernikahan dengan menggunakan surat eletronik tidak sesui dengan ketentuan agama, seperti saksi harus mendengar langsung akad nikah, saksi tidak berada pada prosesi akad nikah, dan harus melafal atau menyebutkan akad nikah jelas dengan pasangan.

"Samua ketentuan agama dalam pernikahan itu tidak bisa terpenuhi dengan mengirim Email. Sehingga dinyatakan tidak sah (haram)," kata KH Cholil Nafis, Sekretaris Komisi Bahtsul Masail Diniyah Waqi'iyyah, Jumat (26/3).

Salah satu persyarakat yang cukup penting, kata dia, yakni penyebutan akad nikah. Kalau menggunakan surat eletronik, penyebutan akad nikah itu dikategorikan samar. "Lafal harus jelas. Sementara pada surat elektronik tidak jelas," katanya.

TRI SUHARMAN

Read More...

NU Kultural VS Struktural, Siapa Unggul?

R Ferdian Andi R

(inilah.com)

INILAH.COM, Jakarta — Di Muktamar NU ke-32

ada dua kekuatan yang saling berhadapan, yaitu antara kelompok supremasi ulama (NU kultural) versus supremasi muktamar (NU struktural). Siapa unggul?

Pemicu kontraksi politik yang disimbolkan dengan dua kekuatan dalam Muktamar NU dipicu rumor kenaikan KH A Hasyim Muzadi menduduki posisi rais aam. Rencana ini memberi efek tidak kecil, seperti memaksa kembali kemunculan KH Sahal Mahfud ke gelanggang muktamar. Disusul dengan munculnya sejumlah figur baru seperti KH Maemun Zubair dan KH Ma’ruf Amin.

Efek lainnya yang tak kalah 'reaktif’ yaitu munculnya ‘aliansi taktis’ yang mengatasnamakan ulama sepuh. Kelompok ini dimotori KH A Musthofa Bisri alias Gus Mus. Bahkan kelompok sepuh ini berbicara keras ihwal rencana kenaikan KH Hasyim Muzadi di panggung rais Aam, meski tak langsung tunjuk hidung.

Rais aam itu maqam-nya sesepuh NU. Makanya wacana menghidupkan kembali sistem pemilihan ahlul halli wal aqdi merupakan cara yang pas dan elegan,” ujar Gus Mus.

Pernyataan Gus Mus jelas tertuju pada figur KH Hasyim Muzadi. Memang secara formal Ketua PBNU demisioner itu belum mencalonkan diri untuk posisi rais aam. Namun kasak-kusus peserta muktamar menyebutkan nama KH Hasyim Muzadi cukup menguat duduk di posisi rais aam syuriyah NU. "Soal pencalonan, tunggu saja saat pemilihan," elak Hasyim Muzadi diplomatis menjawab pertanyaan apakah ia bakal maju dalam perebutan rais aam Syuriyah NU.

Walau demikian, hakikatnya rencana kenaikan KH Hasyim Muzadi maju di posisi rais aam tidaklah menjadi soal dari sudut pandang aturan main muktamar. Terlebih Tata Tertib Mukatmar NU ke-32 di Bab VII pasal 20 ayat (2) disebutkan rais aam dan ketua umum dipilih oleh peserta muktamar yang menjadi utusan PWNU, PCNU, PCINU yang sah.

Tatib itu pun telah menjadi kesepakatan peserta muktamar yang merupakan pemegang mandat muktamar. Dengan demikian gagasan ahlul halli wal aqdi menjadi tidak relevan lagi dengan telah disahkannya tatib di sidang pleno muktamar.

Sementara terpisah, pengamat politik Universitas Airlangga Kacung Marijan menilai, munculnya dua kutub dalam Muktamar NU sejatinya tidak terlepas dari posisi NU yang terdiri dari NU kultural dan NU struktural. Menurut dia, hajatan muktamar ini merupakan hajatan NU struktural.

“Nah muktamar ini agenda organisasi. Artinya yang memiliki otoritas dalam hal ini adalah organisasi, ya NU itu,” ujarnya ketika dihubungi INILAH.COM, Jumat (26/3).

Menurut dia, seiring perubahan AD/ART dan Tata Tertib Muktamar, pemilihan rais aamtelah mengalami perubahan dari sebelumnya yang menggunakan metode penunjukan langsung (ahlul halli wal aqdi). "Sekarang di tatib tidak seperti itu, yaitu melalui mekanisme pemungutan suara,” ujarnya.

Kendati demikian, Kacung menilai, sebenarnya tidak musti dilakukan voting dalam pemilihan rais aam. Jika pada akhirnya terjadi aklamasi terhadap satu calon, maka tidak perlu melakukan voting dalam pemilihan rais aam.

"Jadi bisa saja seperti Muktamar NU 2004 lalu terulang, kala itu muktamar secara aklamasi memilih Kyai Sahal,” ujarnya seraya menegaskan ada baiknya para kyai berkumpul menyelesaikan ketegangan terkait pemilihan rais aam.

Hingga kini, upaya komunikasi antarkyai masih belum membuahkan hasil signifikan. Pergerakan komunikasi antarkyai mulai Kamis (25/3) hingga Jumat (26/3) ini belum menunjukkan sinyal arah aklamasi untuk memilih satu calon rais aam. Jika kondisi ini terus bertahan, publik akan menyaksikan pertarungan antara NU kultural yang direpresentasikan KH Sahal Mahfud dengan NU struktural yang diwakilki KH Hasyim Muzadi. [mor]

Read More...

NU: Jangan Sampai Agama Dibajak Teroris

M. Rizal Maslan - detikNews
Makassar - Komisi Rekomendasi dalam Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-32 telah menyelesaikan tugasnya. Salah satu rekomendasi yang akan disampaikan ke pemerintah dan lembaga lainnya adalah meminta agar Islam tidak dibajak oleh kelompok teroris yang mengatasnamakan agama.

Selain itu, komisi ini juga mengusulkan agar pembaharuan pemikiran gerakan Islam tidak menyimpang dari Ahlu Sunnah Waljamaah (Aswaja).

"Kita akan mengeluarkan rekomendasi kepada semua pihak agar menjaga agama, agama jangan sampai dibajak atas nama terorisme," kata Ketua Komisi Rekomendasi, KH Masykuri Abdillah, dalam jumpa persnya usai sidang komisi di Muktamar NU ke-32 di Asrama Haji Sudiang, Makassar, Sulawesi Selatan, Jum'at (26/3/2010).

Masykuri menerangkan, pemberantasan tindak terorisme bisa dilakukan dengan pendekatan kultural dan ideologi, seperti meluruskan kembali pemahaman yang salah tentang Islam.

"Islam itu bukan terorisme, jihad itu bukan terorisme. Tapi karena terorisme menggunakan dalil keagamaan, NU merekomendasikan kepada pemerintah untuk meningkatkan status hukum Desk Anti-Terorisme menjadi Badan Khusus," jelasnya.

Badan Khusus Anti-Terorisme ini, lanjut Masykuri, selain diisi oleh penegak hukum dan keamanan, juga harus diisi oleh masyarakat atau tokoh agama.

"Selain membendung terorisme dengan cara kultural dan ideologi, satu lagi dengan penegakan hukum secara fisik, misalnya serangan militer, seperti apa yang dilakukan Densus itu," tegasnya.

Sebenarnya, menurut Masykuri, NU selama ini sudah membentengi warganya agar tidak terlibat kegiatan radikalisme, fundamentalisme dan terorisme.

"Ini dibahas selain di Komisi Rekomendasi juga Program. Kita meminta kepada pemerintah, partai politik, ormas dan masyarakat untuk membentengi ini semua," katanya.

"NU sudah berusaha untuk membentengi warga NU dan menjelaskan ke pihak luar, termasuk luar negeri dengan keikutsertaan dalam ICIS bahwa Islam bukan terorisme," ujarnya.

Selain isu terorisme, lanjut Masykuri, komisi yang dipimpinnya itu juga membahas pemahaman keagamaan dan organisasi keagamaan. Terkait pembaharuan pemikiran ini, NU melalui Munas di Cilacap, Jawa Timur sudah memperkenalkan adanya pembaharuan, tapi masih dalam kerangka Ahlu Sunnah Waljamaah (Aswaja).

Hal ini sesuai motto yang digunakan NU sendiri yakni: 'sesuatu yang lama kalau relevan bisa dipertahankan, kalau ada yang baru yang relevan bisa digunakan'.

"Aswaja ini tidak mendukung pembaharuan sampai kepada liberalisme atau radikalisme. Selama ini ada yang memahami bahwa teologi yang lama atau yang pemahaman yang lama adalah teologi yang statis bukan dinamis, padahal pemahaman yang lama juga ada yang bisa dinamis," tegasnya.

Menurut Masykuri, Islam itu adalah rahmatan lil alamnin. "Gerakan Islam radikal dan ekstrim ini pemahaman dari luar negeri. Kita perlu kembangkan Islam itu rahmatan lilalamanin. Sebenarnya ini sudah dilakukan, tapi karena sekarang marak munculnya radikalisme, ini kita tekankan lagi," tandasnya.

Komisi rekomendasi juga mengeluarkan sejumlah rekomendasi di bidang politik, ekonomi, pendidikan, penegakan hukum dan HAM. Soal pendidikan, misalnya, walau sistem pendidikan nasional sudah baik, tapi kurang memperhatikan pendidikan di pondok pesantren.

Bidang kesehatan yang belum menyentuh kalangan masyarakat desa, kelompok bawah dan miskin, sehingga perlunya pemberdayaan kembali Jaminan Kesehatan Masyarakat.

Terkait politik, NU menilai etika politik di Indonesia semakin demokratis, tapi belum menyentuh hal yang substantif. Sebab, belum dibarengi dengan budaya etika yang baik.

"Misalnya di dalam Pilkada dan organisasi tertentu, kadang-kadang masih menggunakanmoney politics. Kita harapkan ini tidak ada lagi, para politisi punya tanggung jawab bagaimana menggunakan kekuasaan demi kepentingan rakyat," ujarnya.

Pemerintah dalam perpolitikan internasional juga diminta aktif dengan melibatkan unsur masyarakat atau people to people.

"Ini terkait image building terkait soal budaya Islam dan terorisme. Pemerintah juga bisa aktif dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi di masyarakat dunia, seperti di Thailand Selatan, Filipina Selatan, Myanmar, Uighur, Palestina dan lainnya," pungkasnya.
(zal/lrn)
Read More...

NU: Banyak UU Tak Sejalan dengan Harapan Umat Islam

M. Rizal Maslan - detikNews
Makassar - Nahdlatul Ulama (NU) menilai banyak peraturan perundang-undangan yang saat ini tidak sejalan dengan harapan aspirasi masyarakat dan warga muslim. Oleh karena itu, Komisi Bahtsul Masa'il Diniyah Qonuniyah, sebuah komisi yang baru pertama kali ada di dalam muktamar NU ke-23 ini, merekomendasikan agar sejumlah UU itu dikaji kembali.

"Kita membahas setidaknya 11 topik perundang-undangan yang ada. Pertama, yang paling penting Qowaidul Qonunniyah atau kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip dalam penyerapan Islam terhadap sejumlah produk hukum positif kita, seperti UU, PP, Permen, dan Peraturan Daerah," kata Ketua Komisi Komisi Bahtsul Masa'il Diniyah Qonuniyah, KH Ridwan Lubis, dalam jumpa pers di Muktamar NU ke-32, Asrama Haji Sudiang, Makassar, Sulsel, Jum'at (26/3/2010).

Setelah didiskusikan dan dikaji, lanjut Ridwan, NU bersikap dan mencermati ada ketentuan UU yang belum sejalan dengan aspirasi masyarakat. "Makanya produk perundang-undangan iu akan diajukan untuk dikaji kembali. Kalau ternyata bagus kita akan dukung, karena ada hal tertentu yang layak diundangkan," jelasnya.

Menurut Ridwan, dalam musyawarah yang dilakukan muktamirin di komisi itu, ada sebuah rekomendasi menarik agar dibuatkan sebuah Rancangan Undang-Undang Perlindungan Kehidupan Beragama (RUU PKB).

"Kita mengajukan ini, karena sangat penting bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius, serta bebas dalam melaksanakan peribadatan. Tapi dalam pelaksanaannya tidak menggangu kerukunan beragama, jadi perlu ada format ideal tentang kehidupan beragama ini," ungkapnya.

Selain itu, terkait UU Pornografi yang sebenarnya sudah ada tapi terlihat tidak bisa dijalankan. Ridwan mengatakan, ini terjadi karena memang sampai saat ini pemerintah belum membuat peraturan dalam pelaksanaannya. "Karenanya kita merekomendasikan agar ini segera dibuatkan PP, kalau tidak ini tidak akan bisa dilaksanakan," tegasnya.

Terkait di bidang pendidikan, menurut Ridwan, sebenarnya sudah bagus dengan adanya sistem pendidikan di Indonesia. Sayangnya, aturan ini seperti ada mendiskriminasi pendidikan tradisional, seperti pondok pesantren yang sebenarnya merupakan basis NU.

"Mardasah Diniyah kurang diperhatikan, memang Aliyah sudah ada. Tapi madrasah di ponpes itu perlu diperhatikan dan independensi kurikulumnya juga diperhatikan," ujarnya.

UU Politik juga menjadi perhatian para muktamirin. UU Politik yang ada saat ini, menurut Ridwan, ada kelemahannya walau merupakan bagian dari demokratisasi.

"Cost politic-nya mahal dalam berdemokrasi dan rentan. Contohnya dalam Pilkada, kita usulkan pemilihan kepala daerah diajukan oleh partai politik dan langsung dipilih oleh DPRD, karena menurut kita cost politic akan dikurangi dan semakin berkualitas," tandasnya.
(zal/irw)
Read More...

HAM Diperlukan, Tapi Harus Dibatasi

M. Rizal Maslan - detikNews
Makassar - Persoalan Hak Asasi Manusia (HAM) juga menjadi tema yang disoroti para muktamirin Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-32, yang terdiri para ulama, kiai serta pengurus NU wilayah dan cabang. Mereka menilai HAM yang melekat sejak manusia lahir ini memang sangat penting, namun perlu dibatasi agar tidak kebablasan.

"Memang ini sempat dibahas para muktamirin bahwa hak asasi manusia itu melekat sejak manusia dilahirkan. Ini yang harus dihargai, hanya saja dalam pelaksanaannya ada yang kebablasan dan ini perlu diawasi, serta harus dibatasi," kata Ketua Komisi Bahtsul Masa'il Diniyah Qonuniyyah, KH Ridwan Lubis kepada detikcom usai jumpa pers tentang hasil pembahasan di komisinya di arena Muktamar NU ke-32 Asrama Haji Sudiang, Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat (26/3/2010).

Persoalan HAM di Indonesia ini menjadi perhatian dan pembicaraan sejumlah pondok pesantren. Pasalnya, pondok pesantren ini mulai gerah dengan sikap sebagian kalangan, baik itu para teroris dan sebagian pejabat pemerintah yang selalu mengkambinghitamkan pesantren sebagai wilayah yang rentan, bahkan menjadi sarang teroris.

"Ini harus ditegaskan dalam muktamar ini, kami santri menilai, akar masalah kenapa para pelaku teroris bahkan sampai separatisme yang ingin memberontak terkesan masih ada, itu karena pemerintah takut di balik alasan persoalan HAM ini," ujar seorang santri dari Jawa Barat ini yang sempat bincang-bincang di sebuah warung di kawasan muktamar.

Sementara itu, Ketua Komisi Rekomendasi Muktamar NU KH Masykuri Abdillah membenarkan bahwa HAM sebenarnya diakui di dalam ajaran Islam. Hanya saja kadang-kadang orang salah menggunakannya.

"Lihat saja, di Amerika Serikat saja, kalau kita masuk seperti apa diperiksannya. Belum lagi seperti di Malaysia yang memberlakukan security act, sebenarnya kita masih terlalu longgar," ujarnya.

Masykuri menambahkan, berkembangnya aliran-aliran pemikiran keagamaan, mulai dari liberal, radikal sampai ekstrim, memang merupakan sesuatu yang dihasilkan dari sebuah produk penghargaan kepada kebebasan berpendapat dan berpikir.

"Kalau memang liberal atau sekadar radikal, ini kan susah untuk penindakan secara hukum. Tapi ekstrim, bisa melalui jalur teroris atau sparatis, ini baru bisa dilakukan penegakan hukum atau keamanan. Tapi HAM tidak bisa dicabut dari seseorang," tandasnya.

(zal/irw)
Read More...

Muktamar Makassar Dinilai Mirip Muktamar Cipasung Minus Tentara

M. Rizal Maslan - detikNews
Jakarta - Masuknya intervensi pihak kekuasaan di dalam pelaksanaan Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-32 di Makassar, Sulawesi Selatan, dinilai mirip Muktamar NU di Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat beberapa belas tahun lalu.

Cuma bedanya, kalau dulu intervensi dalam Muktamar bukan dari pihak penguasa, tetapi juga dari tentara. Walau berbeda situasi, hal itu dinilai tetap membahayakan masa depan NU.

"Saya merasakan intervensi kekuasaan makin terasa. Bedanya, dulu Muktamar Cipasung ada tentara ikut bermain, sekarang tidak. Sekarang ini, para kiai dan peserta muktamar semakin banyak yang dipanggil oleh pejabat untuk memilih calon tertentu," kata Wasekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Saiful Bahri Anshori.

Hal itu dikatakan Saiful kepada wartawan di arena Muktamar NU ke-32 di Asrama Haji Sudiang, Makassar, Sulawesi Selatan, Jum'at (26/3/2010).

Bila hal itu dibiarkan, kata Saiful, bisa membahayakan organisasi NU. NU ke depan akan berada dalam kekuasaan orang luar dan tidak punya kemandirian serta selalu disetir, yang akhirnya akan membuat kemunduran bagi NU.

Untuk itu, kata Saiful, para peseserta muktamar diharapkan punya ketahanan yang kuat agar tidak mudah dipengaruhi dengan intervensi dari pihak luar itu.

"Dalam memilih pemimpin harus dikedepankan nurani. Jangan korbankan masa depan NU, hanya karena demi kepentingan sesaat," tegasnya.

(zal/lrn)
Read More...

NU Harus Bangun RS di Tingkat Provinsi

M. Rizal Maslan - detikNews
Makassar - Komisi Program Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-32 merekomendasikan pengurus baru yang nantinya terbentuk, agar mendirikan Rumah Sakit NU di daerah tingkat I atau provinsi.

"Dalam sidang komisi program, muktamirin mencermati soal kesehatan, di mana agar NU bisa mendirikan rumah sakit-rumah sakit, untuk awalnya di tingkat provinsi, ini salah satu program dari empat program utama kita," kata Ketua Komisi Program KH Abbas Amu'in.

Hal itu dikatakan Abbas dalam jumpa pers di Media Center Muktamar NU-32, Asrama Haji Sudiang, Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat (26/3/2010).

Diakui Abbas, pembangunan rumah sakit NU itu memang belum bisa dilakukan karena terkendala persoalan dana dan SDM. "Jadi memang secara kongkret belum bisa dilaksanan, ini tergantung kesiapan wilayah atau daerah masing-masing," kata dia.

Diharapkan di setiap daerah pada tahun pertama mendapatkan lokasi tanah untuk membangun rumah sakit. "Ini memang akan dibawa dan dibahas ke tingkat musyawarah atau forum lainnya," jelasnya.

Abbas mengatakan, saat ini NU sudah memiliki rumah sakit sendiri, yaitu RS NU Tuban, Jawa Timur. "Ini adalah satu-satunya rumah sakit yang baru dibangun NU. Di tingkat dua, kita harapkan bisa di tingkat satu," imbuhnya.

Abbas juga menjelaskan, selain bidang kesehatan, ada beberapa hal penting yang dibahas para muktamirin, antara lain soal pendidikan dan pengembangan ekonomi. Pengembangan ekonomi harus mendukung industri kecil bagi kepentingan nelayan, petani dan industri kecil, serta program lainnya yang jangan sampai tumpang tindih antara lembaga atau badan otonom.

(zal/lrn)
Read More...

Kubu Cikeas Menang, Wajah NU Jadi Tidak Karuan

Jumat, 26 Maret 2010, 11:57:23 WIB

Laporan: Taufik Damas


Jakarta, RMOL. Muktamar NU di Makassar adalah ajang pertarungan antara kubu Cikeas melawan kubu Ciganjur.

Demikian dikatakan oleh mantan juru bicara Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Adhie Massardi, kepada Rakyat Merdeka Onlinehari ini (Jumat, 26/3).

Kubu Cikeas adalah pemerintah yang ingin menjadikan NU sebagai kelompok pragmatis, sedang kubu Ciganjur ingin menjadikan NU sebagai kekuatan civil society.

"Ini simbolnya tidak pada perorangan. Kita lihat nanti setelah muktamar selesai," kata Adhie.

Dalam pandangan Adhie, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sudah terkooptasi. Sekarang ini pemerintah bernafsu ingin masuk lebih dalam ke tubuh NU. Kekuatan pragmatis akan masuk segera setelah Ketua Umum PBNU terpilih.

"Jika kekuatan pragmatis menang, saya yakin kaum Nahdliyin akan mengambang tidak karuan dan enggak punya prinsip. Saya berharap yang memimpin NU adalah orang yang mampu mengembalikan NU sebagai kekuatan civil society," tegas Adhie. [fik]
Read More...

NU Berwibawa, PKB Kembali Beretika

MUKTAMAR NU
Jumat, 26 Maret 2010, 12:15:55 WIB

Laporan: Taufik Damas


Jakarta, RMOL. Untuk menghindari NU menjadi kekuatan pragmatis, Ketua Umum PBNU harus orang yang sudah matang dan tidak memiliki sahwat politik lagi.

Demikian dikatakan oleh mantan jurubicara Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Adhie Massardi, kepada Rakyat Merdeka Onlinebeberapa saat lalu (Jumat, 26/3).

"Agar tidak pragmatis, saya berharap yang terpilih adalah orang yang sudah matang dan sahwat politiknya sudah mati," ujar Adhie.

Untuk itu Adhie menyebut nama Salahuddin Wahid dan Ahmad Bagja. Dua orang ini, kata Adhie, sudah sangat matang. Jika salah satu dari dua orang ini terpilih, dengan kematangan dan sahwat poltik yang sudah mati, tanpa didengung-dengungkan kembali ke Khitah, dengan sendirinya NU akan kembali ke Khitah.

Dalam pandangan Adhie, generasi muda belum teruji secara politis. Generasi muda masih mungkin memiliki sahwat politik. Lagi pula, tidak ada urgensinya ormas melakukan regenerasi.

"Semakin matang semakin baik sehingga berwibawa. Kalo ketua NU berwibawa, maka secara sosial politik NU bisa mengembalikan PKB sebagai kekuatan politik yang beretika dan bermoral," tegas Adhie.[fik]
Read More...

NU Serukan Khitan bagi Perempuan

Jumat, 26 Maret 2010 19:06 WIB |

Makassar (ANTARA News) - Komisi Maudluliyyah yang membahas masalah-masalah tematik menyerukan khitan (sunat) bagi perempuan, karena didukung sejumlah dalil yang menguatkan bahwa khitan tersebut hukumnya dapat menjadi sunnah atau wajib.

"Khitan mar`ah (perempuan) ini, dianjurkan dalam ajaran Islam, sehingga hukumnya bisa jadi sunnah bisa jadi wajib karena didukung hukum yang kuat," kata tim Komisi Maudluiyyah Dr M Masyuri Naim disela-sela Muktamar ke-32 Nahdlatul Ulama (NU) di Asrama Haji Sudiang, Makassar, Jumat.

Menurut Rois Syuriah PBNU ini, masalah khitan perempuan di kalangan masyarakat masih diperdebatkan, bahkan karena sejumlah kasus akhirnya khitan perempuan itu dilarang. Seperti halnya kasus yang terjadi di Sudan dan di Bandung, Jawa Barat.

Dia mengatakan, persoalan kasuisstik itu hendaklah tidak melemahkan subtansinya atau hukum yang harusnya ditaati oleh penganut Agama Islam. Apabila ada kasus seperti itu, hendaklah tidak langsung diberlakukan secara general (umum).

"Ibarat seorang dokter melakukan kesalahan pada saat melakukan khitan, kemudian seluruh tempat praktek dokter ditutup," katanya.

Berkaitan dengan hal tersebut, lanjutnya, khitan perempuan ini perlu disosialisasikan agar akar rumput mengetahui secara jelas.

Mengenai adanya larangan khitan perempuan dari Departemen Kesehatan karena dianggap dapat menimbulkan seseorang menjadi frigid, apabila aturan dan anjuran Rasulullah SAW, hal itu tidak akan terjadi, karena ada kriteria-kriteria tertentu yang harus ditaati misalnya tidak boleh terlalu banyak memotong bagian ujung alat vital perempuan, tapi hanya mengikis semacam kulit arinya saja.

"Hari ketujuh pada saat kelahiran sangat dianjurkan, karena hal itu tidak akan mempengaruhi kesehatan atau menimbulkan pendarahan sepanjang mengikuti aturan yang ditetapkan," katanya.

Lebih jauh dia mengatakan, komisinya selain membahas masalah khitan perempuan, juga membahas tentang bid`ah (hal baru dalam agama). Sebagai gambaran, seseorang yang menggunakan celana panjang dan tidak memotongnya diatas mata kaki, langsung dicap sebagai kafir.

"NU tidak akan melakukan hal itu, karena disadari kami hanya legislator, bukan eksekutor. Namun selaku legislator, kami akan senantiasa memberikan petunjuk atau Juklak kepada pihak eksekutor jika ada hal-hal yang menyimpang dari ajaran Agama Islam," katanya.

(T.S036/R009)
Read More...

Upaya Batasi Masa Jabatan Ketua Umum PBNU Kembali Gagal

Jumat, 26 Maret 2010 | 14:58 WIB
TRIBUN TIMUR/ABBAS SANDJI
Dua peserta Muktamar NU melintas di depan baliho di Asrama Haji Sudiang, Makassar, Sulsel, Selasa (23/3/2010).

MAKASSAR, KOMPAS.com — Upaya melakukan pembatasan masa jabatan pimpinan NU maksimal dua kali di Muktamar NU ke-32 gagal. Posisi pimpinan tersebut mencakup rais aam dan ketua umum di tingkat pusat serta rais syuriah dan ketua di tingkat wilayah dan cabang.

"Sejumlah wilayah dan cabang menolak pembatasan ini mengingat kesulitan kader," kata Ketua Panitia Muktamar KH Hafidz Utsman di Makassar, Jumat (26/3/2010). Upaya pembatasan masa jabatan sebelumnya juga gagal di Muktamar NU ke-31 di Asrama Haji Donohudan, Solo, pada 2004.

Dalam sidang komisi Anggaran Dasar (AD)/Anggaran Rumah Tangga (ART) terjadi perdebatan yang cukup alot menyangkut pembatasan masa jabatan tersebut. Wilayah yang setuju adanya pembatasan adalah PWNU Jawa Timur, Bantul, dan Kudus. Adapun PWNU Papua, Banyuwangi, Lasem, Cilacap, dan Manado menolak.

Alasan pembatasan masa jabatan itu didasari kepentingan untuk kaderisasi dan menghilangkan kroniisme jika satu tokoh menjabat terlalu lama. "Bagi wilayah basis memang tidak menjadi masalah, tapi menjadi masalah besar pada NU yang wilayah dan cabangnya kurang memiliki kader mumpuni," kata Hafidz.

Dengan hilangnya pembatasan masa jabatan, KH Hasyim Muzadi yang sudah dua kali menjabat sebagai ketua umum tanfidziyah NU berpeluang naik kembali untuk yang kali ketiga.

Namun, saat dikonfirmasi, Hasyim menegaskan bahwa ia sudah merasa cukup menjadi ketua umum tanfidziyah NU selama dua periode. "Biarkan orang lain saja yang menempati posisi itu. Cukuplah bagi saya," katanya

Read More...
banner125125 d'famous_125x125 ads_box ads_box ads_box