Pimpinan NU Harus Mundur Jika Incar Jabatan Politik
Friday, March 26, 2010NU dan Gerakan Islam Kontemporer
Reaksi sahabat yang menerima ''pengaduan'' tersebut bukannya merespons dengan menyesalkan, melainkan justru menyatakan kesyukuran. Sebab, berdasar pengalamannya, jamaah yang belakangan ini mengisi setiap waktu salat di masjid itu hanya dia yang warga NU, selebihnya jamaah dari non-nahdlyin.
Intinya, warga NU tidak boleh hanya mengeluh, tapi juga harus berbuat untuk memelihara dan mengembangkan tradisinya dengan, antara lain, secara langsung memanfaatkan fasilitas warisan, termasuk masjid-masjid yang kerap hanya diklaim sebagai milik kaum nahdlyin.
Kisah nyata tersebut boleh jadi merupakan kecenderungan yang terjadi dewasa ini. Yakni, NU hanyalah ''besar dalam nama'', sedangkan basis kultural berikut massanya sudah memudar dan mengempes. Pada tingkat tertentu, NU bahkan boleh merupakan organisasi yang jadi milik para elitenya, sedangkan massa arus bawah sudah secara perlahan meninggalkan atau mengabaikan wadah tempat bermain para elitenya itu. Tepatnya, tidak mustahil kebesaran NU yang secara kuantitas kerap disebut sebagai organisasi massa Islam terbesar di Indonesia, bahkan di dunia, hanya merupakan klaim politis.
Kalau fenomena atau kecenderungan seperti itu terjadi, kendati memprihatinkan, sebenarnya tidak terlalu mengherankan. Mengapa? Pertama, konsentrasi para elite NU dalam sejarahnya lebih menonjol pada dimensi politiknya daripada orientasi kultural. Massa yang organik dengan basis pesantren-pesantren di Pulau Jawa memang tetap eksis. Namun, keberadaannya tidak bisa dilepaskan dari upaya mempertahankan orientasi kekuasaan para elitenya.
NU memang pernah secara formal mengambil jarak dengan dunia politik praktris melalui kesepakatan dalam muktamar ke-27 di Situbondo 1984. Konsepnya, kembali ke garis pesan substantif pada awal pendiriannya alias kembali ke Khitah 1926. KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang terpilih sebagai ketua umum tanfidziah selama tiga periode (1984-1999) awalnya relatif mampu menjalankan amanah itu.
Yakni, menjaga jarak dengan dunia politik seraya menjadikannya sebagai gerakan sosial untuk perubahan. Baik dalam NU maupun di tingkat negara (di mana NU selalu bersikap kritis terhadap kekuasaan yang otoriter). Nama NU pada era itu memang sangat menonjol dan disegani. Para elite NU giat melakukan pemberdayaan umat, termasuk menggalang kekuatan lintas komunitas dalam semangat kebangsaan.
Namun, posisi seperti itu tidak berlanjut pada era reformasi lantaran NU kembali masuk dalam kancah politik yang didahului dengan pendirian PKB dengan Gus Dur sebagai tokoh utamanya. Gerbong NU yang sebelumnya berisi para aktivis pelaku gerakan sosial mulai berhamburan masuk ke arena politik, baik melalui PKB maupun parpol lain, menikmati kekuasaan dan materi yang menyertainya.
Karena itu, sejarah pun kembali mencatat, orientasi dan fokus para elitenya adalah perebutan kekuasaan, bukan lagi pada pemberdayaan umat. Parahnya, konflik di antara para elite nahdliyin itu menjadi bagian yang lekat dalam tubuh NU yang berisi politisi, termasuk hingga wafatnya Gus Dur masih menyisakan luka konflik politik keluarga inti NU. Warga arus bawah pun, boleh jadi, tidak hanya mulai kehilangan para patron yang bisa menjadi acuan, melainkan juga bisa kehilangan simpati terhadap NU.
Kedua, gairah syiar tradisi berislam, kalau mau jujur diakui, jauh lebih gencar dilakukan komunitas non-NU daripada para elite ahlussunnah waljamaah. Fenomena tersebut bisa dicermati dalam masyarakat, termasuk di kampus-kampus dan bahkan sekolah menengah, sehingga gairah berislam para mahasiswa dan siswa pun turut meningkat. Bahkan, gerakan syiar berislam itu sekaligus membangun basis politik oleh jaringan parpol tertentu.
Para elite NU sebenarnya harus menyadari bahwa masyarakat Islam tidak akan merasakan manfaat dari sebuah organisasi Islam yang hanya mengandalkan kebanggaan sejarah dan atau nama besar. Nama besar NU, tepatnya, tidak lagi menjadi jaminan eksistensi untuk dipihaki dan terus diikuti sebagai tradisi yang berkelanjutan. Masyarakat kita sedang dan terus akan berubah, mencari model yang tepat untuk menjawab segala persoalan hidup yang dihadapi.
Gambaran tersebut memang merupakan realita objektif berdasar perkembangan kontemporer gerakan syiar dan termasuk politik Islam di Indonesia. Sementara itu, selain terjebak dalam politik praktis seperti yang sudah dijelaskan, NU dan gerakannya lebih terkonsentrasi di Pulau Jawa dan pesantren-pesantren. Di pulau dengan jumlah penduduk mayoritas itulah para elite NU merasa mapan, sehingga tidak lagi bersikap progresif dan proaktif.
Sementara itu, luar Jawa dianggap sebagai kekuatan NU pinggiran yang mungkin dianggap tidak penting untuk diperhatikan. Tepatnya, NU sebenarnya lebih menganggap dirinya atau diposisikan sebagai ''organisasi Islam Jawa''.
Kondisi seperti itu sebenarnya harus disadari akan menjadikan NU berada pada posisi stagnan dan menyalahi roh dasar berdirinya. Sebab, munculnya organisasi tersebut awalnya dimaksudkan mewadahi masyarakat Islam yang mempraktikkan ajaran ahlussunah waljamaah, sebuah praktik berislam yang umumnya dianut masyarakat Indonesia jauh sebelum berdirinya NU sebagai organisasi.
Hanya, karena dalam perjalanannya, ''diselewengkan'' seolah-olah hanya menjadi milik para kiai dan atau elite Islam sarungan di Jawa. Karena itu, tidak heran kalau masyarakat Islam ahlussunah waljamaah di luar Jawa tidak memperoleh sentuhan NU.
Generasi Islam yang hadir belakangan pun, baik di Jawa maupun di luar Jawa, tidak peduli lagi pada NU sebagai sebuah wadah. Mereka semua menemukan jati diri berislam tanpa sebuah identitas kelompok. (*)
*). Laode Ida, sosiolog dan pengamat NU
DR.KH.MA.SAHAL MAHFUDH: Kaderisasi mandek,Banyak kader petualang.
Kehadiran KH M.A. Sahal Mahfudh di Muktamar ke-32 NU Makassar menunjukkan betapa kesehatan beliau sangat prima. Selain seluruh agenda diikuti, juga menerima para tamu, termasuk Duta Masyarakat. Berikut hasil wawancara khusus dengan KH M.A. Sahal Mahfudh: Assalamualaikum, bagaimana kabar Kiai? Waalaikumussalam. Alhamdulillah, baik- baik saja. Sehat wal-afiat. Apa arti strategis paling penting bagi muktamar di Makassar ini? Paling tidak ada dua hal yang sangat strategis. Pertama, berkaitan dengan lokasi. Selama ini muktamar diadakan di Jawa, sekarang di luar Jawa. Sehingga mempunyai strategi pendekatan yang sangat hati-hati karena NU luar Jawa itu NU politik. Sementara NU kita ini khittah. Toh dilaksanakan di sini, ini suatu strategi. Kedua, tentu ke depan kita harus mulai pertimbangkan. Sebab terus terang selama ini istilah kembali ke Khittah 1926 kosong. Masih banyak tokoh dan para ulama yang tidak bisa meninggalkan peran politik. Termasuk mengkait-kaitkan NU baik itu masuk dalam pimpinan struktural maupun bukan. Dan ini perlu dipertimbangkan. Mungkin perlu ada reaktualisasi khittah? Apapun istilahnya, terserah. Menurut saya memang perlu dipertimbangkan ulang. Kalau memang kita tetap berpegang pada Khittah 1926 yang beneran, ya harus konsekuen. Semua aparat dari lini mana pun harus bertanggung jawab termasuk para ulama yang tidak dalam struktural. Bagaimana sikap PBNU terhadap kader muda yang cara berpikirnya dianggap ‘kebablasan’? Kalau bicara dari sisi PBNU tentu saja tidak bisa mentolelir. Tetapi kalau sekarang bilang PB kan susah, karena pengaruh orang beda-beda. Ke depan susah juga. Karena pemikiran mereka akan mempengaruhi citra PBNU itu sendiri. Jadi harus berpegang NU yang konsekuen sebagai jamiyyah? Terserah. Maka harus dipikir ulang. Amburadulnya pemikiran- pemikiran sekarang ini di satu sisi masih getol NU, ini positif. Tapi di sisi lain ada yang tidak boleh tidak harus khittah, khittah murni. Meskipun kecil. Katakanlah, saya sendirian memperjuangkan khittah murni itu. Khittah yang semestinya? Khittah semestinya kembali ke ajaran khittah itu sendiri. Yaitu mengembalikan NU sebagai jamiyyah-diniyyah-ijtimaiyyah. Organisasi sosial keagamaan. Tidak ada politik. Dan sebetulnya sikap itu sebagai langkah politis tersendiri. Lantas bagaimana sikap politik warga NU? Di sini warga NU memperoleh kebebasan untuk bersikap sesuai dengan nuansa politik yang mereka cenderungi. Itu lebih bebas jangan terikat pada pengaruh kiai atau perintah kiai atau takut kuwalat dengan mertua atau kiai untuk melampiaskan misi-visi politiknya. Berhasilkah? Ya. Tapi kan belum tentu dianggap tepat pilihan. Tapi kenyataannya banyak yang memilih ke partai sekuler? Itu yang disesalkan. Itu yang dikatakan belum tepat pilihan. Harusnya yang idealis. Yang bebas mutlak kan tidak ada. Dalam pemerintahan sekarang, beberapa menteri merupakan kader NU. Apa pengaruhnya? Bagi NU, sebenarnya yang dikejar bukan posisi. NU bukan mengejar posisi. Tetapi ingin mendudukkan fungsi dan misi. Soal posisi itu no problem. Apakah jadi menteri atau tidak. Meskipun menterinya NU, kalau aspirasinya tidak NU ya apa artinya? Ada yang mengibaratkan NU sebagai kendaraan yang kelebihan penumpang. Sehingga banyak kader yang lompat pagar. Karena sebagai kader dia masih berpikir soal posisi. Bila tidak memperoleh posisi lantas pergi. Bukan hanya posisi, tetapi apa- apa harus ‘saya’. Masih ada yang begitu. Sistem pemilihan rais am dan ketua tanfidziyah seperti selama ini sudah cukup? Sebenarnya sudah cukup. Apalagi sudah ada kontrak politik untuk ketua tanfidziyah. Hanya selama ini kontrak tidak difungsikan. Kontrak ini memang lemah. Karena di dalam kontrak tidak ada janji-akibat. Sanksi tidak ada. Kalau kontrak ini ada sanksinya bagus. Karena itu rais am tidak bisa menindak ketua tanfidziyah apabila melanggar? Saya tidak bisa melakukan apa-apa karena sama-sama dipilih muktamar. Jadi...? Nggak sesederhana itu. Harus dilihat, rais am-nya itu temperamental, sering mencaci orang atau dia demokratis. Lantas apa yang perlu dibenahi bagi NU ke depan? Secara organisatoris terus terang paling berat. Pembenahan organisasi masih berat. Karena semuanya belum bisa melakukan satu sistem organisatoris. Belum serempak. Jadi masih sendiri- sendiri. Orang masih berpikiran terserah. Jadi harus dibangun kembali karakter warga NU? Bukan hanya sekedar orangnya tetapi sistem. Siapa pun yang masuk di sistem itu harus disiplin dan taat. Konkretnya... Contoh posisi syuriah. Sekarang ini didominasi oleh wibawa dan kealiman seseorang. Bukan sistem. Saya berharap sistem. Jadi bukan karena saya. Saya sendiri ingin, suatu kebijaksanaan bisa jalan bukan karena saya, tetapi karena rais am. Syuriah benar- benar merupakan lembaga. Posisi syuriah menjadi kuat karena tim. Tampaknya perlu pembatasan yang tegas di internal organisasi? Pembatasan itu mutlak. Kalau tidak, bisa overlap antara bagian badan otonom dan lembaga-lembaga lain yang masih dalam struktur setingkat. Keberhasilan penting apa saja yang telah dicapai periode ini? Hanya bertahan pada tidak terlalu politik. Untuk mengendalikan sama sekali tidak terlalu politis, tidak bisa. Kiai risau melihat NU masih diseret-seret ke ranah politik? Saya berharap yang terjun ke politik ya jangan terus bawa-bawa NU. Partai janganlah selalu mengidentikkan dengan NU. Harus lepas. Historis, atau apa itu tidak usah. Yang politik ya politik. Dia mampu atau tidak. Terakhir kiai, banyak yang mengeluhkan kaderisasi tidak ditangani serius? Kaderisasi memang tidak jalan. Harus secepat mungkin ditangani. Memang sulit karena harus dari bawah. Selama ini tidak ada, yang ada hanya nemu saja. Akhirnya banyak kader yang petualangan. Read More...
NU, Liberalisme, Tradisionalisme, dan Egalitarianisme
Oleh : Fajar Kurnianto
Gus Mus: Muktamar NU Seperti Pelaksanaan Pilkada
26/03/2010 20:02
Bagaimana tidak kata Gus Mus, setiap kandidat berusaha menjegal dan menggunakan segala cara, untuk mengalahkan kandidat lainnya. Pengerahan atau mobilisasi massa untuk mendukung salah satu kandidat di arena muktamar, juga seperti menjadi hal yang tidak tabu lagi dilakukan.
Melihat hal ini, Gus Mus menghimbau kepada para peserta muktamar untuk tidak menggadaikan suaranya dengan memilih kandidat yang tidak kompeten, atau kandidat yang telah diintervensi oleh kekuasaan. "Pilihlah orang-orang yang bekerja untuk kebesaran NU", kata Gus Mus.
Peryataan Gus Mus ini semakin diperkuat dengan beredarnya isu politik uang di arena muktamar, untuk memenangkan salah satu kandidat. Meski belum ada verifikasi data tentang kejelasan isu ini, namun sebagian peserta, bahkan kandidat seperti, KH Mustofa Bisri dan Ulil Absar Abdala membenarkannya. Hasyim menganggap, politik uang sangat mengotori kesakralan pelaksanaan muktamar.
Isu politik uang semakin kencang berembus, saat salah satu kandidat, yakni Said Agil Siraj sebelumnya sempat mendatangi kediaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Cikeas, dan dianggap mendapat restu dari Presiden. Namun isu ini dibantah oleh Said.
Sementara hari ini, Komisi Bidang Organisasi NU, rencananya akan melakukan sidang pleno, sebelum pemilihan Rois Am dan Ketua Umum PBNU dilaksanakan.
Sedangkan dari hasil survei Lembaga Trus Indonesia, menempatkan KH Said Agil Siraj sebagai kandidat utama, dengan perolehan suara mencapai 35,8 persen. Ini bertolak belakang dengan hasil survei dari Pupkaptis UI, yang menempatkan KH Sholahuddin Wahid di urutan pertama, dengan perolehan suara mencapai 86,15 persen.(ARL)
Selebaran Berisi Ajakan Menerima Keputusan Muktamar NU Beredar
MAKASSAR, TRIBUN-TIMUR.COM - Ajakan muktamar damai diserukan berbagai kalangan dan badan otonom NU, berbagai selebaran pun mulai bermunculan di setiap sudut dan jalan-jalan di asrama haji sudiang yang mengajak warga nahdliyin untuk tetap menghormati tradisi NU sebagai organisasi yang mengedepankan kekeluargaan dan jamaah Salah satu seruan yang disampaikan PP Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama dalam Muktamar ke-32 NU di Makassar adalah sebagai berikut.
Agenda rekonfigurasi dalam Muktamar ke-32 NU
Politik kebudayaan dan khittah NU
Pernikahan Melalui Email Diharamkan NU
JUM'AT, 26 MARET 2010 | 17:01 WIB
TEMPO Interaktif, Makassar - Bagi Anda yang ingin mernikah dengan cara gampang, misalnya menggunakan surat eletronik atau Email lantaran pasangan Anda berada di tempat yang jauh, segeralah mengurungkan. Sebab, Komisi Bahtsul Masail Diniyah Waqi'iyyah Muktamar NU ke-32 di Makassar mengaharamkan perkawinan model tersebut.
Salah satu persyarakat yang cukup penting, kata dia, yakni penyebutan akad nikah. Kalau menggunakan surat eletronik, penyebutan akad nikah itu dikategorikan samar. "Lafal harus jelas. Sementara pada surat elektronik tidak jelas," katanya.
TRI SUHARMAN
NU Kultural VS Struktural, Siapa Unggul?
(inilah.com)
INILAH.COM, Jakarta — Di Muktamar NU ke-32
ada dua kekuatan yang saling berhadapan, yaitu antara kelompok supremasi ulama (NU kultural) versus supremasi muktamar (NU struktural). Siapa unggul?
Pemicu kontraksi politik yang disimbolkan dengan dua kekuatan dalam Muktamar NU dipicu rumor kenaikan KH A Hasyim Muzadi menduduki posisi rais aam. Rencana ini memberi efek tidak kecil, seperti memaksa kembali kemunculan KH Sahal Mahfud ke gelanggang muktamar. Disusul dengan munculnya sejumlah figur baru seperti KH Maemun Zubair dan KH Ma’ruf Amin.
Efek lainnya yang tak kalah 'reaktif’ yaitu munculnya ‘aliansi taktis’ yang mengatasnamakan ulama sepuh. Kelompok ini dimotori KH A Musthofa Bisri alias Gus Mus. Bahkan kelompok sepuh ini berbicara keras ihwal rencana kenaikan KH Hasyim Muzadi di panggung rais Aam, meski tak langsung tunjuk hidung.
“Rais aam itu maqam-nya sesepuh NU. Makanya wacana menghidupkan kembali sistem pemilihan ahlul halli wal aqdi merupakan cara yang pas dan elegan,” ujar Gus Mus.
Pernyataan Gus Mus jelas tertuju pada figur KH Hasyim Muzadi. Memang secara formal Ketua PBNU demisioner itu belum mencalonkan diri untuk posisi rais aam. Namun kasak-kusus peserta muktamar menyebutkan nama KH Hasyim Muzadi cukup menguat duduk di posisi rais aam syuriyah NU. "Soal pencalonan, tunggu saja saat pemilihan," elak Hasyim Muzadi diplomatis menjawab pertanyaan apakah ia bakal maju dalam perebutan rais aam Syuriyah NU.
Walau demikian, hakikatnya rencana kenaikan KH Hasyim Muzadi maju di posisi rais aam tidaklah menjadi soal dari sudut pandang aturan main muktamar. Terlebih Tata Tertib Mukatmar NU ke-32 di Bab VII pasal 20 ayat (2) disebutkan rais aam dan ketua umum dipilih oleh peserta muktamar yang menjadi utusan PWNU, PCNU, PCINU yang sah.
Tatib itu pun telah menjadi kesepakatan peserta muktamar yang merupakan pemegang mandat muktamar. Dengan demikian gagasan ahlul halli wal aqdi menjadi tidak relevan lagi dengan telah disahkannya tatib di sidang pleno muktamar.
Sementara terpisah, pengamat politik Universitas Airlangga Kacung Marijan menilai, munculnya dua kutub dalam Muktamar NU sejatinya tidak terlepas dari posisi NU yang terdiri dari NU kultural dan NU struktural. Menurut dia, hajatan muktamar ini merupakan hajatan NU struktural.
“Nah muktamar ini agenda organisasi. Artinya yang memiliki otoritas dalam hal ini adalah organisasi, ya NU itu,” ujarnya ketika dihubungi INILAH.COM, Jumat (26/3).
Menurut dia, seiring perubahan AD/ART dan Tata Tertib Muktamar, pemilihan rais aamtelah mengalami perubahan dari sebelumnya yang menggunakan metode penunjukan langsung (ahlul halli wal aqdi). "Sekarang di tatib tidak seperti itu, yaitu melalui mekanisme pemungutan suara,” ujarnya.
Kendati demikian, Kacung menilai, sebenarnya tidak musti dilakukan voting dalam pemilihan rais aam. Jika pada akhirnya terjadi aklamasi terhadap satu calon, maka tidak perlu melakukan voting dalam pemilihan rais aam.
"Jadi bisa saja seperti Muktamar NU 2004 lalu terulang, kala itu muktamar secara aklamasi memilih Kyai Sahal,” ujarnya seraya menegaskan ada baiknya para kyai berkumpul menyelesaikan ketegangan terkait pemilihan rais aam.
Hingga kini, upaya komunikasi antarkyai masih belum membuahkan hasil signifikan. Pergerakan komunikasi antarkyai mulai Kamis (25/3) hingga Jumat (26/3) ini belum menunjukkan sinyal arah aklamasi untuk memilih satu calon rais aam. Jika kondisi ini terus bertahan, publik akan menyaksikan pertarungan antara NU kultural yang direpresentasikan KH Sahal Mahfud dengan NU struktural yang diwakilki KH Hasyim Muzadi. [mor]
NU: Jangan Sampai Agama Dibajak Teroris
NU: Banyak UU Tak Sejalan dengan Harapan Umat Islam
HAM Diperlukan, Tapi Harus Dibatasi
Muktamar Makassar Dinilai Mirip Muktamar Cipasung Minus Tentara
NU Harus Bangun RS di Tingkat Provinsi
Kubu Cikeas Menang, Wajah NU Jadi Tidak Karuan
NU Berwibawa, PKB Kembali Beretika
NU Serukan Khitan bagi Perempuan
Jumat, 26 Maret 2010 19:06 WIB |
Upaya Batasi Masa Jabatan Ketua Umum PBNU Kembali Gagal
MAKASSAR, KOMPAS.com — Upaya melakukan pembatasan masa jabatan pimpinan NU maksimal dua kali di Muktamar NU ke-32 gagal. Posisi pimpinan tersebut mencakup rais aam dan ketua umum di tingkat pusat serta rais syuriah dan ketua di tingkat wilayah dan cabang.
"Sejumlah wilayah dan cabang menolak pembatasan ini mengingat kesulitan kader," kata Ketua Panitia Muktamar KH Hafidz Utsman di Makassar, Jumat (26/3/2010). Upaya pembatasan masa jabatan sebelumnya juga gagal di Muktamar NU ke-31 di Asrama Haji Donohudan, Solo, pada 2004.
Dalam sidang komisi Anggaran Dasar (AD)/Anggaran Rumah Tangga (ART) terjadi perdebatan yang cukup alot menyangkut pembatasan masa jabatan tersebut. Wilayah yang setuju adanya pembatasan adalah PWNU Jawa Timur, Bantul, dan Kudus. Adapun PWNU Papua, Banyuwangi, Lasem, Cilacap, dan Manado menolak.
Alasan pembatasan masa jabatan itu didasari kepentingan untuk kaderisasi dan menghilangkan kroniisme jika satu tokoh menjabat terlalu lama. "Bagi wilayah basis memang tidak menjadi masalah, tapi menjadi masalah besar pada NU yang wilayah dan cabangnya kurang memiliki kader mumpuni," kata Hafidz.
Dengan hilangnya pembatasan masa jabatan, KH Hasyim Muzadi yang sudah dua kali menjabat sebagai ketua umum tanfidziyah NU berpeluang naik kembali untuk yang kali ketiga.
Namun, saat dikonfirmasi, Hasyim menegaskan bahwa ia sudah merasa cukup menjadi ketua umum tanfidziyah NU selama dua periode. "Biarkan orang lain saja yang menempati posisi itu. Cukuplah bagi saya," katanya