Muktamar NU Ke-32 Antara Politik dan Dakwah Kultural

Friday, March 19, 2010
Oleh: Ahmad Zaenal Fanani SHI MSi*

NU akan menggelar muktamar ke-32 pada 22 sampai 27 Maret 2010 Di Makasar. Hajat besar itu tidak hanya akan memilih rais am dan ketua umum PB NU yang baru, melainkan juga membahas sejumlah agenda penting menyangkut masalah sosial keagamaan serta keumatan dan kebangsaan.

Momentum muktamar kali ini, para peserta harus mencari formulasi yang terbaik terkait relasi NU dan politik dan memperhatikan secara serius masalah kultural keumatan dan menghentikan aktivitas politik praktis seperti yang tampak selama ini.

Jamak diketahui bahwa sejak 1999 sampai sekarang nuansa politik praktis di NU lebih kental daripada mengatasi masalah kultural keumatan yang merupakan tujuan utama NU didirikan.

Banyak tokoh NU, kiai, dan tokoh agama yang dulunya aktif melakukan dakwah kultural melalui NU, pesantren dan pengajian beralih menjadi politisi atau dukung mendukung calon tertentu dalam politik praktis.

Seolah-olah mereka beralih profesi, meminjam istilah Eric Wolf, dari makelar budaya yang melayani dan mengayomi umat serta menjembatani perubahan akibat pengaruh luar terhadap dunia pesantren dan umat Islam menjadi makelar politik yang sibuk kampaye atau menjadi tim sukses calon tertentu yang (maaf) ujung-ujungnya duit. Fenomena itu tentu harus dikritisi oleh para peserta muktamar NU kali ini.

Pertanyaan yang patut diajukan adalah bagaimana nasib dakwah kultural yang selama ini diperankan oleh NU jika banyak kiai atau ulama yang terjun ke dunia politik praktis. Memang politik adalah hak asasi semua warga termasuk para kiai NU. Tapi jika tidak ahli di bidang politik, tidak memahami intrik politik, dan tidak bisa melakukan bargaining politik dalam perumusan kebijakan publik, maka tidak ikut terjun ke dunia politik praktis itu lebih baik.

Bagi kiai yang tidak ahli, politik moral melalui dakwah kultural di masyarakat tentu lebih baik dan lebih maslahat dari pada politik praktis.

Pola pikir semacam itu sesuai dengan hadis nabi yang menegaskan bahwa jika suatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran/kerusakan pasti akan datang.

Untuk itulah, usaha memperkokoh dakwah kultural NU mendesak untuk dilakukan oleh semua pihak. Sebab dengan memperkokoh dakwah kultural akan memaksimalkan keterlibatan NU dalam ranah politik moral, bukan politik praktis.

Untuk memperkokoh dakwah kultural, setidaknya ada tiga hal yang harus dikaji bersama dalam muktamar NU kali ini. Pertama, muktamar NU harus mempertegas aturan main bagi pengurus NU terpilih dari pusat sampai cabang terkait relasi NU dan politik praktis.

NU secara kelembagaan harus didorong untuk tidak menempatkan politik praktis sebagai kepentingan tujuan yang dominan. NU dengan kredonya ‘Kembali ke Khithah 1926’, perlu makin dimantapkan sebagai visi dan cita pergerakan kultural, tanpa perlu terjebak pada pemenuhan kepentingan politik yang bersifat jangka pendek, tentatif, dan sesaat.

Jika NU bisa mengonsentrasikan gerakannya pada penggarapan masalah kultural keumatan, niscaya akan mampu memperkokoh dakwah kultural yang diperankan oleh para kiai dan tokoh NU dan meminimalisir keterlibatan dalam politik praktis.

Untuk sampai ke arah itu, perlu keberanian moral untuk mengakhiri dan menyudahi polarisasi politik di NU yang selama ini terjadi. Dalam konstelasi yang paling kontemporer, misalnya, perlu menarik garis demarkasi yang tegas antara NU dengan PKB dan PKNU serta parpol lain. Jika ada pengurus NU ingin berpoltik praktis maka dia harus mengundurkan diri dari NU.

Itu penting dikemukakan, agar NU bisa memaksimalkan kerja kultural tanpa diricuhi oleh kepentingan kelompok tertentu yang bersifat sesaat.

Penarikan garis demarkasi yang tegas itu merupakan langkah strategis, agar ormas keagamaan NU bisa optimal bekerja pada gerakan kultural pemberdayaan masyarakat madani.

Pilihan itulah yang paling ideal, meskipun oleh sebagian politisi Islam akan dinilai tidak strategis dan realistis. Tegasnya, kedua organisasi ijtimaiyah-diniyah itu dituntut untuk mencadangkan diri sebagai wahana pemberdayaan masyarakat melalui dakwah kultural.

Kedua, merumuskan agenda aksi konkrit pada tingkat praktis di lapangan untuk menggiatkan kreativitas ekonomi kiai-kiai kampung dan santri sebagai calon kiai. Sebab, telah cukup lama mereka berada dalam proses peminggiran yang tak ketulungan. Ambil contoh, kiai-kiai kampung dan santri yang tinggal baik di desa maupun kota telah dipertemukan dalam suratan yang sama, yaitu marginalisasi ekonomi. Tengoklah, para kiai dan santri yang mayoritas petani yang tanahnya terampas dan dipermainkan oleh pasar.

Kurangnya perhatian terhadap kelompok itu menyebabkan mereka makin terpojok berada di periferi secara ekonomi. Akibatnya, mereka mudah tergiur dan dipermainkan dalam ranah politik praktis yang jamak identik dengan kemakmuran ekonomi dan duit.

Ketiga, merumuskan agenda peningkatan sumber daya manusia NU dalam bidang politik. Di sini juga perlu dilakukan pendidikan atau sekolah politik terhadap para santri pesantren dan kader NU, sehingga mereka bisa dijadikan kader ulama atau kiai yang ahli dan mahir di bidang politik. Mereka dipersiapkan menjadi politisi yang berakhlak mulia, tidak KKN, bisa memperjuangkan hak dan aspirasi masyarakat NU, memperkokoh dakwah kultural serta merumuskan kebijakan publik yang memihak masyarakat serta memberi suri tauladan akhlak bagi politisi nonsantri.

Jika hal itu bisa berjalan dengan baik, niscaya nantinya akan ada sinergi yang positif antara kiai yang concern dengan dakwah kultural dan kiai yang mahir politik dengan melakukan dakwah struktural di kekuasaan.

Jika ketiga hal tersebut dikaji dan dirumuskan dalam muktamar NU kali ini, serta dilaksanakan dengan konsisten oleh semua pihak terkait, niscaya dakwah kultural NU akan lebih maksimal dan manfaat NU akan lebih dirasakan tidak hanya oleh warga NU tetapi juga oleh bangsa ini. Akankah hal itu terwujud? Semoga.

* Penulis adalah Pemerhati NU, Hakim PA Martapura
Read More...

PBNU Minta Pihak Luar Tak Acak-Acak NU

Jumat, 19 Maret 2010 19:35 WIB | Peristiwa | Pendidikan/Agama | Dibaca 296 kali

Jakarta (ANTARA News) - Rais Syuriah PBNU KH Ma`ruf Amin meminta pihak luar tidak turut mencampuri persoalan internal, apalagi mengacak-acak NU menjelang Muktamar ke-32 di Makassar pada 22-27 mendatang.

"Biarlah NU menyelesaikan masalah internalnya sendiri, jangan kemudian pihak luar tiba-tiba masuk dan mengacak-acak NU," katanya ketika dihubungi wartawan di Jakarta, Jumat.

Kiai yang juga anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) itu mengatakan NU selama ini telah menjadi salah satu pilar bangsa.

"Jika NU diacak-acak berarti itu sama dengan mengorbankan bangsa ini. Kami ingatkan hal itu kepada pihak-pihak yang berupaya mengacak-acak NU," katanya.

Terkait suksesi kepimpinan di NU, Ma`ruf Amin meminta para kandidat bersikap elegan dan tidak saling menjelekkan dan menjatuhkan dalam persaingan mereka.

Menurut dia, suksesi kepemimpinan di NU jangan sampai seperti suksesi yang terjadi di dalam partai politik yang tidak jarang diwarnai keributan, karena itu NU harus kembali ke jatidirinya.

"Janganlah terjadi perseteruan, apalagi perseteruan antarkiai. Bermainlah yang cantik dan elegan. Jangan melakukan hal-hal yang tidak layak," katanya.

Ia meminta semua pihak untuk menghormati dan mengikuti mekanisme pemilihan kepengurusan PBNU di muktamar.

"Marilah kita lakukan dengan mekanisme yang telah ditentukan," kata Ma`ruf yang juga salah satu ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) tersebut.
(T.S024/R009)

COPYRIGHT © 2010

Read More...

"Kaum Muda" NU Tolak Hasyim Sebagai Rais Am NU

Jumat, 19 Maret 2010 16:13 WIB | Peristiwa | Umum | Dibaca 262 kali

Jakarta (ANTARA News) - Puluhan pemuda yang tergabung \"Kaum Muda\" Nahdlatul Ulama (NU) menolak pencalonan Ketua PBNU KH Hasyim Muzadi sebagai Rais Am (pemimpin tertinggi) NU pada Muktamar ke-32 NU, di Makassar, 22-27 Maret 2010.

Penolakan tersebut disampaikan dalam aksi unjuk rasa di depan gedung PBNU Jl Kramat Raya, Jakarta Pusat, Jumat siang, yang dikoordiner Anas Syarifudin.

Anas dalam orasinya mengatakan, selama kepemimpinan KH Hasyim Muzadi di PBNU (2000-2005) dan (2005-2010) telah menjadikan NU bergerak dalam politik yang praktis dan pragmatis, sehingga terjadi penurunan kepercayaan warga terhadap organisasi maasa Islam terbesar di Indonesia itu.

Oleh karena itu, katanya, \"Kaum Muda\" NU mengimbau menolak KH Hasyim Muzadi dicalonkan menjadi Raim Am NU pada periode mendatang, demi kejayaan NU di masa mendatang.

Anas mengharapkan, Muktamar NU di Makassar menghasilkan keputusan bagi kemaslatan warga dan tidak dicampuri kepentingan politik praktis, karena sesuai hasil Muktamar NU 1984 di Situbondo, Jatim, NU kembali ke \"khiitah\" yaitu tidak lagi berpolitik praktis.

Aksi unjuk rasa tersebut berlangsung tertib itu hanya diawasi sejumlah Satpam di gedung PBNU, namun sempat terjadi aksi mendorong pintu gerbang karena massa berkeinginan memasuki gedung PBNU, yang akhirnya pengunjukrasa terpaksa membubarkan diri.

Sebelumnya, Ketua Pengurus Pusat Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) NU Nasihin Hasan mengatakan, dukungan terhadap Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi untuk menjabat Rais Aam NU semakin menguat pada Muktamar NU, di Makassar, 22-27 Maret mendatang.

Nasihin Hasan mengatakan dari komunikasi yang dilakukan Lakpesdam dengan sejumlah pengurus wilayah (PW) dan pengurus cabang (PC) NU, sekitar 70 persen mendukung Hasyim. PW dan PC NU merupakan peserta muktamar yang memiliki hak suara dalam pemilihan rais am dan ketua umum PBNU.

Sementara untuk calon ketua umum, kata Nasihin, dukungan terhadap Ahmad Bagdja, saat ini salah satu ketua PBNU, juga lumayan besar, yakni sekitar 40 persen.

\"Survei juga dilakukan oleh salah satu media dan sudah dicross-check oleh Lakpesdam,\" ujarnya.
(R009/AR09)
Read More...

NU Diminta Tak Bahas PKB di Muktamar

Jumat, 19 Maret 2010 23:13 WIB | Peristiwa | Politik/Hankam | Dibaca 438 kali

Jakarta (ANTARA News) - Sekelompok orang yang menamakan diri Forum Penyelamat Nahdlatul Ulama (FPNU) berunjuk rasa di kantor PBNU, Jakarta, Jumat, meminta muktamar NU tak membahas persoalan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

"PKB itu sudah dewasa dan bisa menyelesaikan permasalahannya sendiri. NU tidak perlu repot mengurus politik praktis karena NU bukan PKB dan PKB bukan NU," kata Koordinator FPNU Yusuf Hamdani.

Dikatakannya, NU harus lebih mempertegas aktualisasi khittah dan tidak terjebak pada politik praktis, seperti mengurusi PKB.

Selain itu, lanjutnya, masih banyak persoalan yang lebih penting yang perlu diurus NU, mulai dari menggairahkan kembali ajaran Islam ahlussunnah wal jamaah hingga pemberdayaan umat.

Menurut Yusuf, ke depan NU juga harus lebih memerhatikan pesantren, terlebih dalam satu dekade ini pesantren menjadi "tertuduh" atas aksi-aksi terorisme yang dilakukan oknum-oknum tidak bertanggung jawab yang mengatasnamakan Islam.

Dikatakannya, politik yang harus dijalani NU adalah politik etik dan politik normatik, bukan politik praktis.

"PBNU seharusnya mengkoordinir dan mengawal proses politik melalui lajnah siyasiyah atau biro politik yang dibentuk agar politik etik dan normatik dapat dijalankan dengan baik," katanya.

Sebelumnya, Rabu (17/3), Forum Warga Nahdliyin Cinta PKB justru meminta muktamar NU membahas persoalan konflik internal PKB mengingat partai itu dilahirkan oleh NU untuk menampung aspirasi politik warga NU.
(S024/R009)
Read More...

Pertarungan Kiai dan Politisi

Diramal Warnai Muktamar NU
JAKARTA - SURYA- Pertarungan keras diramalkan akan memanaskan Muktamar NU ke-32 yang akan dibuka Selasa (23/3) . Persaingan tidak hanya untuk kursi Ketua Umum Tanfidziyah PBNU, tapi juga kursi Rais Am Syuriah, yang menjadi tradisi selama ini selalu diserahkan kepada kiai paling senior dan kharismatik.
Dua kubu yang bertarung itu adalah kelompok kiai dan kelompok politisi. “Yang satu, kubu politisi. Sedang yang satu kubu idealis, yang betul-betul ulama,” ungkap Ketua DPP PKB Marwan Ja’far usai peluncuran bukunya, Ahlussunnah Wal Jama’ah, di Jakarta, Jumat (19/3).

Dua kelompok ini, kata Marwan, akan bertarung memperebutkan posisi tanfidizyah dan syuriah. Sayangnya, Marwan enggan menyebut siapa yang disebut kelompok ulama dan kelompok politisi. “NU sebaiknya dipimpin ulama bukan politisi. Karakter politisi dikhawatirkan akan meruntuhkan NU. Ini pertaruhan bagi NU,” jelas Marwan.

Tanda-tanda akan terjadinya pertarungan keras juga mulai muncul. Di Jakarta, sekelompok massa berbendera Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) berdemo di Kantor PBNU. Mereka menolak rencana Ketua PBNU Hasyim Muzadi untuk menjadi Rais Am Syuriah PBNU 2010-2011. Mereka menyebut Hasyim selama menjadi Ketua PBNU telah menyeret NU dalam politik praktis. “Kami dari kaum muda minta agar Hasyim tidak dicalonkan lagi menjadi Rois Am NU yang akan datang, demi kejayaan NU di masa depan,” kata Anas Syarifudin, koordinator demo.

Anas menambahkan, selama kepemimpinan Hasyim, wajah NU terlihat mirip dengan partai politik. “Ini ditakutkan akan menurunkan kepercayaan warga terhadap organisasi Islam terbesar ini,” ujarnya.

Rencana Hasyim maju sebagai Rais Am Syuriah mendapat saingan berat dari KH Sahal Mahfudz yang menyatakan kesediaannya untuk memperpanjang jabatan yang dipegangnya sejak Muktamar Kediri, 1999 silam.

Jangan Acak-acak

Mantan Wasekjen PBNU Masduki Baidlowi, mengatakan, aksi unjuk rasa menolak seorang ulama menjadi Rais Am yang diusung oleh peserta muktamar, tindakan tidak etis.

“Tidak etis menghadang seseorang yang akan dicalonkan oleh muktamirin sebagai Rais Aam. Lagi pula, Pak Hasyim sampai sekarang secara resmi atau tak resmi belum pernah menyatakan maju sebagai Rais Am,” ujar Masduki.

Sementara itu, Rois Syuriah PBNU KH Ma’ruf Amin mengingatkan semua pihak, agar tidak mengacak-acak NU. Kiai Ma’ruf berharap pihak luar membiarkan NU menyelesaikan agenda karena bisa membuat suasana buruk di internal NU.

Lebih lanjut, Kiai Ma’ruf juga meminta pada para kandidat bersikap elegan dan tidak saling menjelekkan dan menjatuhkan. “Marilah kita lakukan dengan mekanisme yang telah ditentukan,” katanya

Sementara itu, kandidat Ketua Umum Tanfidziyah diperkirakan hanya ada empat yang lolos. Ini karena panitia mensyaratkan calon harus didukung minimal 99 suara dari total sekitar 500 suara yang ada. Hal ini dikatakan Kandidat KH Ali Maschan Moesa. “Yang lolos kemungkinan KH Salahuddin Wahid, KH Said Agil Siradj, KH Ahmad Bagdja, dan saya sendiri,” kata Ali Maschan Moesa.

Sampai saat ini ada tujuh nama yang disebut-sebut dalam bursa kandidat ketua umum PBNU yakni KH Said Agil Siradj, KH Masdar F Mas’udi, H Slamet Efendi Yusuf, KH Ahmad Bagja, KH Ulil Abshor Abdalla, dan KH Salahudin Wahid, dan KH Ali Maschan.

Ali Maschan ketika ditanya, siapa kandidat yang paling diperhitungkan sebagai kompetitor, dia enggan menyebutkannya.

“Saya bersikap optimis saja, sebagai manusia kita berusaha dan meminta bantuan-Nya, Allah yang akan menentukan,” kata anggota DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) itu.ndtc/in/ian/ant

Read More...

Marwan: NU Akan Hancur Bila Dipimpin Politisi

Ini sebagai upaya mendorong supaya cita-cita awal NU bisa dikembalikan.
JUM'AT, 19 MARET 2010, 18:32 WIB
Amril Amarullah, Mohammad Adam
Lambang NU (Nahdlatul Ulama)

VIVAnews -- Bukan tanpa alasan Marwan Jafar meluncurkan buku Ahlussunah Wal Jama'ah menjelang Muktamar NU yang akan diselenggarakan pada 23-28 Maret 2010 di Makassar.

Marwan menyatakan selain untuk mencerahkan warga NU mengenai ideologi ahlussunah wal jama'ah, buku tersebut juga diharapkan bisa menentukan ke mana arah NU yang tengah menghadapi pertarungan blok sekarang ini.

"Ini penting saya kira. Ada pertarungan sekarang, satu kelompok cenderung yang politisi dan satu lagi kelompok yang memperjuangkan idealitas NU sebagaimana mestinya," kata Marwan di DPR, Jakarta, Jumat 19 Maret 2010.

Karena itu, dia berupaya mendorong supaya cita-cita awal NU bisa dikembalikan, dan bukannya dibawa ke dalam benturan politik praktis.

"NU harus dikembalikan kepada ranahnya yang menempatkan ulama yang betul-betul mendalami keilmuan keagamaan, bukan politisi," kata Marwan.

Meski begitu, Marwan menyerahkan sepenuhnya kepada warga NU didalam Muktamar untuk menilai dan menentukannya. Namun dirinya mencemaskan jika NU nanti dipimpin oleh politisi karena akan tidak dihargai lagi oleh masyarakat.

"Bagi saya, NU kalau memang nanti dipimpin politisi, bukannya ulama, ya tunggu waktunya untuk hancur," ujar Marwan.

Tidak hanya itu, NU juga akan tidak dihargai lagi nantinya. "NU harus dikembalikan kepada ranah dan otoritas ulama," tuturnya.

PKB dalam hal ini, lanjut Marwan, tidak terlibat. Kalau pun ada kader PKB yang ikut di muktamar NU itu, menurut marwan itu adalah mewakili diirnya sendiri, bukannya partai.

• VIVAnews
Read More...

NU Tak Usah Urusi Politik PKB

Soal PKB itu sudah dewasa dan bisa menyelesaikan permasalahannya sendiri.
SABTU, 20 MARET 2010, 06:04 WIB
Amril Amarullah
Lambang NU (Nahdlatul Ulama)

VIVAnews -- Nahdlatul Ulama akan menggelar muktamar pada 23-17 Maret 2010 di Makassar. Sebagai tonggak kebangkitannya, NU diharapkan dapat mengembalikan ajaran-ajarannya yang belakangan mulai tergerus, akibat paham transnasional, baik kiri maupun kanan.

Masalah paham transnasional ini penting untuk menjaga kemurnian ajaran Ahlussunnah wal Jamaah, terutama menjaga amaliah ubudiyah warga NU. Ini perlu mendapat porsi lebih, dalam muktamar dan menghasilkan formula yang positif dalam menjaga ajaran Aswaja dari paham ekstrem kanan maupun kiri.

Permasalahan penting lainnya yang harus mendapat perhatian dari para muktamirin (peserta muktamar) nanti adalah, bagaimana meningkatkan perhatian NU terhadap pesantren.

Sebab, dalam satu dekade ini pesantren menjadi 'tertuduh' atas aksi-aksi terorisme yang dilakukan oknum-oknum tidak bertanggung jawab, yang mengatasnakaman Islam.

Selanjutnya, diakui atau tidak, saat ini mayoritas warga NU masih hidup dalam taraf ekonomi rendah. Tentunya, masalah ini juga harus menjadi perhatian NU dalam muktamar nanti agar merumuskan secara konkrit dalam upaya mengurus ekonomi kemasyarakat.

Sebab, berdirinya NU juga didasari atas masalah ekonomi masyarakat, yang kemudian diwujudkan dalam perkumpulan Nahdlatut Tujjar, yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya NU.

Karena itu, menurut Koordinator Lapangan Forum Penyelamat NU, Yusuf Hamdani yang terpenting dalam muktamar nanti adalah bagaimana penguatan kembali rumusan Khittah (tujuan asal) NU 1926, di mana NU tidak berpolitik dan tidak menjadi bagian politik apa pun.

"NU harus lebih mempertegas aktualisasi khittah dan tidak terjebak pada politik praktis, seperti mengurusi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Biarkan PKB dewasa dan bisa menyelesaikan permasalahan dirinya," ujarnya.

Diakuinya, selama ini NU tidak bisa dilepaskan dari politik, karena kelahiran NU juga tidak lepas dari motivasi dan untuk menjawab tantangan politik, baik situasi politik internasionl, seperti munculnya gerakan wahabi di Arab Saudi, maupun situasi politik dalam negeri, yaitu menghadapi penjajah. Akan tetapi, politik yang harus dijalani NU adalah politik etik dan politik normatik, bukan politik praktis.

"Soal PKB itu sudah dewasa dan bisa menyelesaikan permasalahannya sendiri. NU tidak perlu repot mengurus politik praktis karena NU bukan PKB dan PKB bukan NU," tuturnya.

• VIVAnews
Read More...
banner125125 d'famous_125x125 ads_box ads_box ads_box