NU dan Garasinya

Saturday, March 20, 2010


15 Maret 2010 20:14:41 | Share

Oleh: Dr. KH A. Mustofa Bisri

Keluarga Pak Nuas Waja merupakan keluarga desa yang cukup kaya. Di samping rumah yang besar, keluarga ini memiliki sawah, kebun, peternakan, perahu penangkap ikan, toko serba ada, dan masih ada kekayaan dan usaha yang lain. Keluarga Pak Nuas Waja yang cukup banyak, tidak kesulitan menangani semua harta dan usaha itu, meski pengelolaannya masih secara tradisional. Masing-masing anggota keluarga, sesuai keahliannya diserahi dan bertanggungjawab atas bidang yang dikuasainya. Ini menggarap sawah; ini mengurus kebun; itu menangani toko; itu mengurus peternakan; demikian seterusnya.

Masih ada satu usaha keluarga lagi yang dilakukan bekerja sama dengan pihak-pihak lain. Yaitu, usaha transportasi. Tapi, karena waktu pembagian keuntungan, dirasa kurang adil, akhirnya keluar dan mendirikan usaha transportasi sendiri. Berhubung usaha ini baru bagi mereka, maka diajaknya beberapa personil dari luar yang dianggap mampu dan mengerti seluk-beluk transportasi. Ternyata, usaha baru ini meraih sukses yang luar biasa. Dari empat besar perusahaan transportasi, perusahaan keluarga pak Nuas Waja yang baru ini meraih peringkat ketiga. Dampak dari sukses besar ini, antara lain: personil-personil dari luar yang ikut membantu–atau yang berjanji akan membantu--menangani usaha ini pun menyatakan bergabung total sebagai anggota keluarga. Pak Nuas pun tidak keberatan dan justru senang.

Dampak lain yang jauh lebih penting dan serius, ialah kemaruknya para anggota keluarga terhadap usaha transportasi yang sukses besar ini. Setiap hari sebagian besar mereka berjubelan di garasi; meskipun sebenarnya banyak yang sekedar bermain-main klakson atau memutar-mutar stir mobil, karena memang tak tahu apa yang harus mereka lakukan di garasi itu. Lama-lama, mereka yang bertanggung jawab menggarap sawah, kebun, peternakan, toko, dlsb pun tertarik dan tersedot ikut menjubeli garasi mereka. Sawah pun menjadi bero, kebun tak terawat, toko tak ada yang menjaga, ternak-ternak pada mati, perahu nganggur Bahkan, rumah sendiri sering kosong, banyak perabotan diambil dan dibawa orang tak ada yang tahu. Halamannya kotor tak terurus.

Ketika penguasa negeri ganti dan mendirikan juga usaha transportasi sendiri, keluarga Nuas Waja pun agak pusing. Soalnya cara berusaha penguasa baru ini tidak lazim. Mereka menggunakan cara-cara makhluk rimba untuk memajukan usaha mereka. Tak segan-segan mereka menggunakan tipuan dan kekerasan.Orang dipaksa untuk menggunakan transportasi mereka; yang tidak mau, tahu rasa!

Namun, meski bersaing dengan usaha penguasa yang zalim begitu, usaha keluarga Nuas Waja masih mampu bertahan, walau babak-belur. Bahkan perlakuan penguasa itu justru semakin mengentalkan ‘fanatisme’ keluarga terhadap usaha transportasi ini.

Akan tetapi, penguasa lebih pintar lagi. Dengan kelicikannya, orang pun digiring untuk menyepakati aturan main baru yang agaknya sudah lama mereka rencanakan di bidang transportasi ini. Aturan itu melarang orang berusaha transportasi sendiri-sendiri di rumah. Mereka yang berusaha di bidang transportasi harus nge-pol dan bergabung dalam salah satu dari tiga wadah usaha yang sudah disiapkan. Akhirnya, keluarga Nuas pun bergabung dengan beberapa penguasaha lain, sesuai arahan penguasa. Dan nasib seperti pada masa lampau pun terulang kembali. Keluarga Nuas yang sahamnya paling besar, justru waktu pembagian keuntungan selalu kena tipu dan rugi.

Maka, waktu ada gagasan dari sementara anggota keluarga untuk kembali saja ke jati diri awal mereka, banyak yang mendukung gagasan itu, meskipun dengan alasan yang berbeda-beda. Demikianlah, meskipun seperti malas-malas dan terus menghadapi godaan untuk hanya mengurusi usaha transportasi, anggota keluarga yang biasa menggarap sawah, mulai kembali ke sawah; yang biasa mengurus kebun, kembali ke kebun; yang mengelola toko, kembali ke toko; demikian seterusnya. Sementara itu, mereka yang sudah merasa mapan menjalankan usaha transportasi, sesekali masih mencoba mencari kawan pendukung.

Dunia selalu berubah. Beberapa waktu, setelah pemerintahan ganti lagi dan usaha transportasi kembali bebas, keluarga Nuas Waja pun kembali terseret arus pertransportasian yang kembali marak. Banyak keluarga yang dulu punya usaha sendiri, beramai-ramai menghidupkan kembali usaha transportasi mereka. Garasi pun dibangun dimana-mana. Dan keluarga Nuas Waja pun menghabiskan enersi mereka untuk urusan garasi dan transportasi; termasuk mereka yang busi dan dongkrak pun tak mengenalnya.

***
Mungkin saya terlalu sederhana, tapi tamsil di atas itulah yang selalu saya gunakan untuk menerangkan NU dan Khithahnya kepada orang-orang sederhana di bawah.

Saya ingin mengatakan bahwa memang ada faktor politik di dalam proses kelahiran Khithah NU, tapi bukan berarti politiklah yang harus disalahkan dan oleh karenanya lalu dipahami NU tak lagi menghalalkan–setelah selama ini menghalalkan--politik. Khitthah NU dalam hal ini–karena Khitthah tak sekedar bicara hal ini--sekedar mendudukkan politik dalam proporsi sesuai dengan porsinya. Politik, sama dengan dakwah, pendidikan, ekonomi, dsb., mesti dilihat sebagai khidmah kemasyarakatan yang harus dilakukan secara bertanggungjawab bagi kepentingan bangsa dan negara. (Baca Khitthah NU butir 8)

Agaknya, warga NU memang belum siap untuk menerima NU sebagai organisasi yang baik seperti dituntut Khitthah NU. Setelah perjalanannya sebagai jamaah yang cukup jauh, tiba-tiba warga NU pangling dengan jatidirinya sendiri. “Kesuksesan” mereka dalam kiprah politik, membuat mereka seperti kemaruk, sehingga mempersiapkan diri bagi amal politik sebagai khidmah tak kunjung terpikirkan. Sementara, kehidupan perpolitikan di negeri ini pun tidak mengajarkan perilaku politik yang baik, yang mengarah kepada tercapainya kemaslahatan bersama. Perpolitikan yang hanya mengedepankan kepentingan sesaat bagi kelompok sendiri-sendiri. Di pihak lain, mereka yang terus-menerus menyaksikan praktek-praktek politik yang mengabaikan akhlaqul karimah dan belum pernah merasakan manfaat dari perpolitikan itu, malah justru sering dirugikannya, serta merta menyambut Khitthah NU dengan kegirangan orang mendapat dukungan.

Akibatnya, Khitthah NU yang semestinya menjadi landasan bagi perbaikan menyeluruh untuk kepentingan bersama, hanya dijadikan sekedar alat bagi membenarkan kiprah masing-masing alias hanya dijadikan senjata untuk bertikai antar sesama.

Sebenarnya, dengan tamsil di atas itu, saya ingin mengatakan juga bahwa NU dan Khitthahnya sebenarnya sangat gamblang, mudah dipahami, dan tak ada masalah.

Khitthah NU hanya mengingatkan bahwa NU itu mempunyai tujuan besar dan cita-cita luhur yang untuk mencapainya, mengupayakan dengan berbagai ikhtiar. Bidang garapan dan khidmah NU karenanya bermacam-macam. Masing-masing dilakukan oleh mereka yang memang seharusnya melakukannya (ahlinya).

Namun, sebagaimana Islam dan Pancasila, persoalannya selalu lebih kepada manusianya. Itulah sebabnya, pada waktu menjelang Munas Lampung tahun 1992, ketika Kyai A. Muchith Muzadi diminta PBNU menulis syarah Khitthah, saya sempat mempertanyakan, apanya yang perlu disyarahi? Bukankah Khitthah NU sudah sedemikian jelas bagai matahari siang? Apabila orang tidak bisa melihat matahari, bukan mataharinya yang kurang jelas. Sekarang disyarahi dan besok mungkin dikhasyiahi pun, jika kepentingan NU dan umat masih dinomorsekiankan, insya Allah Khitthah tetap tak kunjung “jelas” bagi mereka yang bersangkutan.

Sejak pertama dimasyarakatkannya Khitthah NU, telah ratusan kali saya bertemu warga NU, yang tokoh maupun bukan; belasan kalau tidak puluhan artikel saya tulis; dan kesimpulan saya tetap seperti itu. Seperti Indonesia ini, manusianyalah yang perlu ‘direformasi’. Karena itu saya selalu ngotot, bahwa penataan diri mestilah merupakan prioritas. NU harus segera diupayakan menjadi jam’iyyah, tidak terus menerus hanya sebagai jamaah.

Khitthah NU ini merupakan landasan dan patokan-patokan dasar yang perwujudannya dengan izin Allah terutama tergantung kepada semangat pemimpin dan warga NU. Jam’iyyah Nahdlatul Ulama hanya akan memperoleh dan mencapai cita-citanya jika pemimpin dan warganya benar-benar meresapi dan mengamalkan Khittah NU ini. (Khotimah Khitthah Nahdlatul Ulama). Wallahu a‘lam.

*) Tulisan lama yang diturunkan kembali ini, bila Anda warga NU, bisa bertanya kepada diri sendiri: mengapa tulisan ini terasa masih relevan?

Read More...

Pengurus NU Diminta Hati-Hati Elit Politik Bermain di Muktamar

M. Rizal Maslan - detikNews
Jakarta - Untuk memilih Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), organisasi keagamaan ini akan melakukan Muktamar NU di Makassar, Sulawesi Selatan pada tanggal 22-27 Maret 2010 mendatang. Para pengurus NU wilayah, cabang dan ranting harus hati-hati akan masuknya elit politik yang bermain di muktamar.

"Hati-hati menjelang Muktamar NU, elit parpol akan bemain di Muktamar NU. Saya melihat kecenderungan itu muncul jelang Muktamar NU. Dan ini berbahaya. Posisi NU memang sangat strategis, sehingga elit parpol berkepentingan dengan NU melalui muktamar," kata politisi senior NU yang juga mantan aktivis GP Ansor, Taufikurrahman Saleh, dalam pesan singkatnya kepada detikcom di Jakarta, Selasa
(23/2/2010).

Menurut Taufikurrahman, bila organisasi NU ingin bersih dari kepentingan politik, maka Ketua Umum PBNU yang akan datang harus bersih dari pengaruh partai politik. "Jangan sampai NU diperalat oleh kepentingan jangka pendek elit partai yang sangat pragmatis," jelasnya.

Untuk itu, Taufikurrahman mengatakan, Pengurus Wilayah (PW) dan Pengurus Cabang (PC) NU jangan sampai mudah dipengaruhi dan imunasinya harus kuat. "Jangan sampai NU ke depan dikendalikan oleh Parpol. Posisi NU harus berada di atas parpol. Jangan sampai parpol yang memainkan NU. Ini untuk menjaga kemandirian NU pada masa mendatang," ujarnya.

Dalam situasi seperti ini, lanjut Taufikurrahmn, kreteria Ketua Umum PBNU yang paling tepat adalah dia yang punya kemandirian dan tidak mudah 'diakali' oleh pihak yang ingin mengobok-obok NU. Dengan demikian, NU akan menjadi kekuatan civil society yang bisa, mengontrol partai dan kekuasaan di tengah demokrasi yang semu.

Taufikurrahman juga menegaskan, elit parpol sebaiknya memberikan data-data akurat tentang perkembangan berpolitikan di Indonesia. Elit politik diminta jangan malah bermain di arena muktamar yang justru membuat muktamar tidak sehat.

"Kemarin-kemarin tidak pernah datang ke kiai, tapi sekarang, karena mau Muktamar berusaha mempengaruhi kiai," pungkasnya.
Read More...

Kelompok Civil Society Makassar Siap Sukseskan Muktamar NU

Muhammad Nur Abdurrahman - detikNews

Makassar - Sejumlah tokoh dari berbagai
organisasi keagamaan se-Makassar bersepakat menyukseskan Muktamar NU ke-32. Mereka juga menyatakan siap untuk mengawal jalannya proses Muktamar agar berjalan lancar.

Pernyataan tersebut dilakukan pada pertemuan yang difasilitasi Walikota Makassar di Executive Lounge Hotel Clarion, Makassar, Sabtu (20/3/2010). Selain itu, sekelompok akademisi dan aktivis LSM se-Makassar juga menggelar pertemuan serupa, di Kafe Pelni, jalan Nikel Raya, Makassar.

Menurut Walikota Makassar, Ilham Arif Sirajuddin yang ditemui detikcom usai pertemuan berlangsung, tokoh-tokoh Ormas se-Makassar sepakat untuk mengawal kesuksesan jalannya Muktamar NU di kota Anging Mammiri ini. Pihaknya juga sudah berkoordinasi dengan forum rektor se-Makassar untuk mengawasi aksi unjuk rasa mahasiswanya, agar tidak mengganggu ketertiban umum dan jalannya muktamar.

"Muktamar NU di Makassar adalah peristiwa sejarah karena pertama kali digelar di luar Jawa, pasti kami tidak ingin nama kota ini menjadi tercemar jika pelaksanaan Muktamar NU ini tidak sukses, tentunya kami juga berkoordinasi dengan aparat keamanan," ujar Ilham.

Sementara menurut Guru Besar UIN Alauddin, Qasim Mathar pada pertemuan di Kafe Pelni, kultur masyarakat Sulawesi Selatan (Sulsel) mengenal prinsip 'Sipakalebbi Toanatta', yang maksudnya masyarakat Sulsel sangat menghargai tamunya dengan sepenuh hati. Kedatangan musuh sekalipun, lanjut Qasim, jika datangnya baik-baik, secara kultural akan tetap disambut hangat oleh warga Sulsel. Ia menjamin kedatangan ribuan Nahdiyin di Makassar akan disambut dengan hangat dan penuh keramahan oleh seluruh warga Makassar, termasuk dari kalangan mahasiswa.

"Sebagai dosen di UIN Alauddin, saya menjamin tidak akan ada demonstrasi yang kontra muktamar, kalaupun ada pasti kaitannya seputar Bail Out Bank Century," pungkas Qasim.

Akademisi Universitas Hasanuddin, Husain Abdullah dalam forum yang sama dengan Qasim, juga menyebutkan bahwa warga Makassar akan berantusias menyambut kedatangan tamu-tamunya yang menjadi peserta Muktamar NU seperti ketika kaum Anshar menyambut kedatangan kaum Muhajirin di Madinah, di zaman Nabi Muhammad melakukan hijrah dari Makkah ke Madinah dahulu.

"Jaminan yang kami beri sebagai kelompok Civil Society adalah jaminan kultural, kalau jaminan keamanan itu urusan aparat keamanan," tandas Husain.

(mna/ape)
Read More...

Sipilis Kok Mau Masuk NU

Meski ajarannya telah diharamkan berulangkali, kaum Sipilis masih mencoba peruntungan nasib untuk masuk struktur PBNU.


Setelah gagal masuk struktur PP Muhammadiyah, kini kaum Sipilis (sekularisme-pluralisme-liberalisme) berupaya merasuki NU. Ulil Abshar-Abdalla, tokoh pengasong Sipilis terkemuka, coba adu nasib merebut posisi PBNU dalam Muktamar NU ke-32 pada 22-27 Maret di Makassar. Di belakangnya, antri pula Masdar Farid Mas’udi, ikut adu keberuntungan. Keduanya akan berlaga melawan KH Sholahuddin Wahid, KH Ali Masschan Moesa, KH Ahmad Bagja, dan Slamet Effendy Yusuf.

Padahal, NU sudah tegas menolak Sipilis melalui Khittah Nahdlatul Ulama yang diputuskan di Muktamar Situbondo (1984) dan ditegaskan kembali dalam Muktamar Solo (2004).

Pada Juli 2005, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang juga terdiri unsur ulama NU, menetapkan 11 fatwa dalam Musyawarah Nasional ke-7 di Jakarta. Salah satunya fatwa haram Sipilis.

Hal itu diperkuat kembali dengan Kesimpulan Forum Kiai Muda (FKM) NU Jawa Timur pada 2009. Kesimpulan ini dibuat dalam Forum Tabayyun dan Dialog Terbuka dengan Jaringan Islam Liberal di PP Bumi Sholawat, Tulangan, Sidoarjo, Jawa Timur
Ahad, 11 Oktober 2009.

Kesimpulan FKM Jawa Timur antara lain bahwa Ulil Abshar-Abdalla dengan JIL-nya tidak memiliki landasan teori yang sistematis dan argumentasi yang kuat. Pemikiran mereka lebih banyak berupa kutipan-kutipan ide-ide yang dicomot dari sana-sini, dan terkesan hanya sebagai pemikiran asal-asalan belaka (plagiator), yang tergantung musim dan waktu (zhuruf), dan pesan sponsor yang tidak berakar dalam tradisi berpikir masyarakat bangsa ini.

Pada dasarnya, menurut FKM, pemikiran-pemikiran JIL bertujuan untuk membongkar kemapanan beragama dan bertradisi kaum Nahdliyin. Cara-cara membongkar kemapanan itu dilakukan dengan tiga cara: (1) Liberalisasi dalam bidang akidah; (2) Liberalisasi dalam bidang pemahaman al-Quran; dan, (3) Liberalisasi dalam bidang syariat dan akhlak.

FKM menyebutkan, liberalisasi dalam bidang akidah yang diajarkan JIL, misalnya bahwa semua agama sama, dan tentang pluralisme, bertentangan dengan akidah Islam Ahlussunnah Waljamaah. Warga NU meyakini agama Islam sebagai agama yang paling benar, dengan tidak menafikan hubungan yang baik dengan penganut agama lainnya yang memandang agama mereka juga benar menurut mereka. Sementara ajaran pluralisme yang dimaksud JIL berlainan dengan pandangan ukhuwah wathaniyah yang dipegang NU yang mengokohkan solidaritas dengan saudara-saudara sebangsa. NU juga tidak menaruh toleransi terhadap pandangan-pandangan imperialis neo-liberalisme Amerika yang berkedok “pluralisme dan toleransi agama”.

Liberalisasi dalam bidang pemahaman al-Quran yang diajarkan JIL, misalnya al-Quran adalah produk budaya dan keotentikannya diragukan, tentu berseberangan dengan pandangan mayoritas umat Islam yang meyakini al-Quran itu firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dan terjaga keasliannya.

Liberalisasi dalam bidang syari’ah dan akhlak di mana JIL mengatakan bahwa hukum Tuhan itu tidak ada, jelas bertolak belakang dengan ajaran Al Quran dan Sunnah yang mengandung ketentuan hukum bagi umat Islam. JIL juga mengabaikan sikap-sikap tawadhu’ dan akhlaqul karimah kepada para ulama dan kiai. JIL juga tidak menghargai tradisi pesantren sebagai modal sosial bangsa ini dalam mensejahterakan bangsa dan memperkuat Pancasila dan NKRI.

Ide-ide liberalisasi, kebebasan dan hak asasi manusia (HAM) yang diangkat oleh kelompok JIL dalam konteks NU dan pesantren tidak bisa dilepaskan dari Neo-Liberalisme yang berasal dari dunia kapitalisme, yang menghendaki agar para kiai dan komunitas pesantren tidak ikut campur dalam menggerakkan tradisinya sebagai kritik dan pembebasan dari penjajahan dan kerakusan kaum kapitalis yang menjarah sumber-sumber daya alam bangsa kita.

JIL, menurut FKM, cenderung membatalkan otoritas para ulama salaf dan menanamkan ketidakpercayaan kepada mereka, sementara di sisi lain mereka mengagumi pemikiran orientalis Barat dan murid-muridnya, seperti Huston Smith, John Shelby Spong, Nasr Hamid Abu Zaid, dan sebagainya.

Dalam akhir kesimpulannya FKM menyatakan, menghadapi pemikiran-pemikiran JIL tidak dilawan dengan amuk-amuk dan cara-cara kekerasan. Tapi harus melalui pendekatan yang strategis dan taktis, dengan dialog-dialog dan pencerahan.

Politik Ulama

Kandidat Ketua PBNU lainnya, menawarkan agar NU kembali ke Khittah sebagai ormas non-politik. Memang, di bawah kepemimpinan KH Hasyim Muzadi, NU berpolitik praktis. Misalnya, Ketua PBNU menjadi Cawapres Megawati pada Pilpres 2004. Lalu dalam Pilpres 2009, PBNU mendukung Capres Jusuf Kalla.

Menurut Sekjen Forum Umat Islam, Muhammad Al Khaththath, politik praktis memang bisa menjadi bumerang bagi ulama dan ummat. Sebab, riil politik dalam sistem demokrasi hanyalah sekadar seni mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. Orientasinya keduniawian.

‘’Tapi bukan berarti ulama haram berpolitik. Justru ulama wajib berpolitik, dengan politik Islami,’’ tandas Al Khaththath.

Ia menuturkan, politik Islam pada dasarnya adalah penyelenggaraan urusan ummat di dalam dan luar negeri, demi kepentingan ummat dan agamanya. Sedangkan ulama adalah warasah al-anbiyâ’ (pewaris para nabi). Merekalah yang mewarisi tugas para nabi dan rasul dalam menyampaikan dakwah dan melakukan amar makruf nahi mungkar. Di hadapan penguasa, ulama adalah barisan terdepan yang mengontrol, menjaga, memberikan kritik dan nasihat agar penguasa senantiasa menjalankan syariah-Nya. Ulama juga tempat penguasa bertanya dalam ragam kebijakan menyangkut urusan pemerintahan, politik, sosial ekonomi, pendidikan, dll.

Seperti diwasiatkan Nabi Muhammad SAW, ‘’Di tengah-tengah umat, ulama bagaikan lentera yang bersinar terang, membimbing dan menunjukkan jalan yang benar. Apabila ulama terbenam, maka jalan akan kabur’’ (HR Imam Ahmad). [nb]

Read More...

Said Aqil Minta Kandidat Ketum PBNU Berkompetisi Secara Fair

Minggu, 21 Maret 2010 | 12:30 WIB

(Vibizdaily-Nasional) Menjelang pelaksanaan muktamar NU yang agenda utamanya memilih ketua umum PBNU 5 tahun mendatang, suhu politik dalam organisasi massa Islam terbesar di Indonesia itu memanas. Saling demo dan black campaign pun beredar.


Calon ketua umum PBNU KH Said Aqil Siradj meminta kepada semua pihak dan kandidat untuk berkompetisi secara fair dan berakhlak. Pernyataan Said ini menyikapi soal adanya demonstrasi yang mendiskreditkan calon tertentu di depan PBNU beberapa waktu lalu.

"Saya tidak setuju dengan cara-cara seperti itu. Saya minta kepada semua, kalau berbeda pendapat, ya kita hargai. Jangan mencaci maki. Gunakanlah akhlaqul karimah," kata Said, Minggu (21/3/2010).

Menurut mantan Katib Am PBNU era Gus Dur ini, cara-cara yang baik dan bermusyawarah dalam menyelesaikan perbedaan adalah karakter dan tradisi NU. Karena itu, jika ada penolakan dan sikap tidak setuju, sebaiknya disampaikan dengan cara yang baik, bukan dengan mengecam.

"Kalau ada perbedaan, di NU ada caranya sendiri dalam menyelesaikan. Maka, saya berharap, hendaknya sikap berbeda itu disampaikan dengan cara yang baik," terangnya.

Saat ditanya soal penilaiannya terhadap calon-calon lain yang juga diterima SBY, KH Sholahudin Wahid, Said menjawab enteng. "Saya menghargai. Beliau itu kan adik Gus Dur, saya hormat kepada beliau. Tetapi soal nawaitu untuk memimpin NU kan saya sudah sejak 10 tahun lalu. Dalam Muktamar NU di Lirboyo dulu, saya kalah 32 suara dengan Pak Hasyim," paparnya.

"Namun, setelah itu saya bersama Pak Hasyim di kepengurusan PBNU sampai sekarang. Kalau acara NU di luar negeri, khususnya di Timur Tengah, saya yang mewakili beliau. Jadi dengan siapapun kami tidak ada masalah," terangnya.

Siapa yang akan digandeng untuk menjadi Rais AM, Said dengan diplomatis menjawab, "Itu ada yang mengurus sendiri. Saya kan di tanfidziyah. Apalagi Rais Am kan dipilih duluan," pungkasnya.

(ma/MA/dtc)

Read More...

Sahal - Hasyim Memanas

SURABAYA | SURYA - Sejumlah nama kandidat Rois Am Syuriah PBNU sempat beredar. Tapi persaingan paling ketat diperkirakan terjadi antara KH Sahal Mahfudz (Rois Aam PBNU sekarang) dan KH Hasyim Muzadi (Ketua Umum Tanfidziyah PBNU sekarang).

Nama lain calon Rois Aam PBNU yang pernah beredar diantaranya, KH Tholhah Hasan (Mantan Menag), KH Ma’ruf Amin (Ketua Fatwa MUI), serta Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Hasyim. Namun ketiga nama ini belakangan tenggelam oleh popularitas KH Sahal Mahfudz dan KH Hasyim Muzadi.

“Arus dukungan mengerucut beliau berdua,” jelas Prof Dr Kacung Marijan, pengamat politik dari Universitas Airlangga Surabaya, dalam diskusi dengan awak Harian Surya, Jumat (12/3).

KH Sahal awalnya tidak pernah disebut. Kiai asal Pati (Jateng) ini dikabarkan tidak mau memperpanjang jabatan yang sudah disandangnya dua periode, sejak 1999 lalu.

Sementara itu KH Hasyim sudah berkibar sejak awal. Pengasuh Pesantren Mahasiswa Al-Hikam ini tidak pernah menyampaikan pencalonannya. Namun struktur NU sudah faham karena dalam sejumlah kesempatan KH Hasyim pernah mengeluarkan sinyal untuk naik tahta sebagai Rois Aam.

Tapi kejutan terjadi sepekan lalu. KH Sahal Mahfudz yang tiba-tiba menerima untuk dicalonkan kembali. Sikap KH Sahal ini terjadi ketika kiai dan pengurus NU se-Jateng bertemu dikediamannya, Pesantren Maslakul Huda, Kajen, Pati (Jateng). Forum ini sekaligus mendeklarasikan pencalonan KH Sahal Mahfudz kembali.

Kacung melihat KH Sahal yang merupakan kiai senior memiliki dukungan cukup kuat dari para kiai NU, utamanya pemilik pesantren besar. Sebab KH Sahal dinilai telah mencapai derajat puncak kiai.

Sebaliknya KH Hasyim memiliki kekuatan berupa hubungan erat dengan struktur NU, baik di PW (provinisi), maupun PC (kota/kabupaten). Hubungan ini sangat menentukan karena merekalah yang punya hak pilih dalam muktamar di Makassar nanti.

“Dukungan kiai pesantren juga sangat berpengaruh. Kiai pesantren itu soko guru NU, sehingga suaranya akan didengar sekalipun tidak punya hak pilih,” tutur Kacung.

Tarung Tatib
Wacana model pemilihan yang kini menggelinding diyakini berhubungan erat dengan rivalitas KH Sahal-KH Hasyim.

Ada kelompok menginginkan pengangkatan Rois Aam cukup melalui model ahlul hal wal aqdi, tim kecil beranggotakan kiai-kiai pilihan, seperti yang dipakai dalam Muktamar Situbondo 1984 silam. Jika ini terjadi, jalan KH Sahal akan sangat mulus. Sementara kubu yang lain meminta tetap pakai model pemilihan langsung oleh muktamirin.

“Jadi pertarungan tatib nanti pemilihan nanti, saya kira juga akan ramai,” prediksi Kacung.

Wakil Sekretaris Panitia Muktamar, Syaiful Bahri Anshori mengatakan, draf tatib pemilihan mengacu pada AD/ART. Baik Rois Aam Syuriah maupun Ketua Umum Tanfidziyah akan dipilih lewat dua tahap pemungutan suara sesuai derajatnya masing-masing.

“Tahap pertama, di sini calon harus mengumpulkan 99 suarai untuk lolos ke tahap kedua atau tahap pemilihan. Tapi draf ini sepenuhnya tergantung muktamirin, kalau forum menghendaki berubah, ya otomatis berubah,” tegasnya.

Read More...

Dua Caketum NU Menemui SBY

JAKARTA | Surya - Menjelang Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) di Makassar tanggal 22-27 Maret, dua kandidat ketua umum (caketum) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sepertinya mendapat perhatian khusus dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Mereka adalah KH Salahudin Wahid (Gus Sholah) dan KH Said Agil Siradj yang menemui SBY di kediamannya, di Puri Cikeas. Kepada Gus Sholah dan KH Said, SBY berharap NU bisa bekerja sama dengan pemerintah untuk mensukseskan program kerakyatan.

Gus Sholah mengakui perbincangan dengan SBY juga membicarakan soal Muktamar NU. Namun, pembicaraan muktamar tidak sampai pada dukung mendukung.

“Kami sepakat NU ke depan bisa bersama-sama pemerintah melakukan tugas-tugas pendidikan, kesehatan, peningkatan kesejahteraan rakyat, dan menangkal gerakan radikalisasi Islam,” ujar Gus Sholah di kediamannya, Jl Tendean, Mampang, Jakarta, Jumat (19/3) malam.

“Kalau soal dukungan, yang pasti saya didukung oleh para kiai dan pengurus Cabang dan Wilayah NU. Ya Insya Allah bisa lolos untuk maju ke tahap pencalonan,” kata adik Gus Dur ini dengan optimistis.

Sebenarnya, pertemuan dua caketum tersebut berbarengan. Namun, KH Said tidak bisa hadir dan baru kemarin melangsungkan pertemuan tersebut.

“Pak SBY menyampaikan, NU harus tetap menjaga semangat kebangsaan. Menurut Pak SBY, Pak Said yang layak menjalani peran itu. Kalau beliau berharap pada saya, karena tahu persis siapa saya, sebelum, dan sesudah beliau menjadi presiden,” katanya.

KH Said menjawab diplomatis ketika ditanya tentang peluangnya bersaing dengan kandiat lain, termasuk Gus Sholah.

“Beliau adik Gus Dur, darah biru. Tapi, kalau ditanya nawaitu-nya (niatnya-Red), duluan saya. Dulu (Muktamar di Solo), saya hanya kalah 35 suara dari KH Hasyim Muzadi,” ungkapnya.

Kebesaran NU
KH Said berjanji menjaga jarak dengan politik praktis. Sebab, sejarah keemasan NU selalu terjadi ketika NU bisa menjaga jarak dengan politik praktis sebagaimana pada masa Gus Dur. “Kebesaran NU itu kalau NU sudah tidak berpolitik praktis. Kalau NU terjun ke politik praktis, kesannya NU hanya akan menjadi barang dagangan,” katanya.

Atas dasar itulah, jika muktamirin memercayakan amanat PBNU lima tahun mendatang kepadanya, KH Said berjanji akan bersikap tegas mengawal NU dari dukung mendukung pemilihan pemimpin.

Sementara, KH Hasyim Muzadi menegaskan, isu sterilisasi NU dari politik menjelang muktamar patut diwaspadai.

“NU sudah jelas menganut politik kebangsaan, keumatan dan keagamaan, bukan politik kekuasaan,” katanya.

Karena itu, katanya, isu sterilisasi NU dari politik patut diwaspadai.

“Para calon ketua umum PBNU hendaknya berhati-hati menggunakan isu itu,karena setidaknya ada tiga kepentingan terkait isu, mulai dari kepentingan yang murni hingga kepentingan yang merugikan NU,” katanya.

Tiga kepentingan di balik itu adalah mereka yang ikhlas berbakti pada NU melalui mabadi khoiro ummah (civil society), serta mereka yang sudah mempunyai parpol dan tak ingin kehilangan suara dari NU.

Kepentingan lainnya, mereka yang ingin memotong jalur aspiratif nilai agama dengan pemerintahan atau negara.

Read More...

Peran Rais Aam Diperkuat di Muktamar NU

Jumat, 19 Maret 2010 07:33 WIB
JAKARTA--MI: Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-32 di Makassar mengagendakan penataan organisasi yang salah satu poin pentingnya adalah memperkuat dan lebih menonjolkan peran rais aam selaku pemimpin tertinggi NU yang berkedudukan di jajaran syuriah PBNU.

"Rais aam sebagai pemimpin tertinggi NU tidak diganggu gugat, cuma seperti apa penjelasannya akan lebih dipertegas," kata Ketua Panitia Muktamar NU ke-32 KH Hafidz Utsman saat memberikan keterangan pers di Jakarta, Kamis (18/3).

Hafidz mengemukakan hal itu terkait adanya tudingan bahwa muktamar mendatang justru akan mengurangi peran dan kewenangan rais aam dengan memosisikannya sejajar dengan ketua umum tanfidziyah PBNU. "Tidak ada dalam draf Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) yang mengebiri peran syuriah. Justru sekarang ditonjolkan penguatan syuriah," kata salah seorang rais syuriah PBNU itu.

Dalam NU, struktur kepengurusan dibagi dalam dua lembaga yakni syuriah selaku pengendali, pengarah, dan pengawas, serta lembaga tanfidziyah yang menjalankan roda organisasi sehari-hari. Namun, selama ini lembaga tanfidziyah dinilai justru lebih dominan dibanding syuriah.

Sementara itu terkait syarat calon ketua umum tanfidziyah PBNU, Sekretaris Panitia Muktamar Taufik R Abdullah menyatakan hal itu nanti akan ditentukan dalam tata tertib. Yang jelas, katanya, tidak ada pembatasan bahwa calon hanya boleh untuk kalangan yang pernah menjadi pengurus di PBNU atau pengurus wilayah NU.

"Memang usulan-usulan seperti itu ada, tetapi dalam draf resmi yang akan dibahas di muktamar nanti tidak ada yang seperti itu," katanya.

Menurut Taufik, belakangan ini memang beredar dokumen yang disebut-sebut sebagai draf yang akan dibahas di muktamar, termasuk terkait posisi rais aam dan persyaratan ketua umum tanfidziyah. Ia memastikan dokumen itu tidak resmi dan isinya berbeda dengan draf yang akan dibahas di muktamar nanti.

"Memang banyak pendapat dan artikel yang mengkaji masalah-masalah ini dengan bersumber dari data yang salah, bukan draf resmi," katanya.

Bahkan, lanjut wakil sekretaris jenderal PBNU itu, akibat dari data yang salah itu panitia dikesankan terlibat dukung-mendukung kandidat dan mencoba menjegal orang-orang tertentu untuk mencalonkan diri.

"Panitia netral-netral saja, ibarat event organizer yang sekadar menyediakan panggung. Kita tidak mungkin mencegat pencalonan seseorang secara sistemik konsepsional," katanya. (Ant/OL-03)
Read More...

Selamat Bermuktamar


KH M.A. Sahal Mahfudh

Kajen, 17 Maret 2010/ KH M.A. Sahal Mahfudh, rais 'aam PB NU/[ Jum'at, 19 Maret 2010 ]

SEPERTI saya, dalam satu-dua hari ini, para calon utusan PW NU dan PC NU serta calon-calon peserta yang lain tentu disibukkan persiapan keberangkatan menuju arena Muktamar Ke-32 NU di Makassar. Pada saat-saat seperti ini, saya ingin -sebagai rais aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama- menyampaikan ucapan selamat kepada calon muktamirin, diiringi doa, semoga perlindungan Allah Subhanahu Wa Ta'ala senantiasa menyertai kita semua. Bukan hanya keselamatan lahir yang kita harapkan, tapi lebih-lebih lagi keselamatan batin, yakni terpeliharanya niat kita mencari rida Allah dalam segala ikhtiar memperjuangkan kemaslahatan umat, agama, dan bangsa, melalui jam'iyyah Nahdlatul Ulama.

Muktamar adalah hajat rutin jam'iyyah kita dan organisasi lainnya. Tapi, di balik rutinitas itu, setiap muktamar adalah tonggak penting yang menentukan perjalanan jam'iyyah selanjutnya. Beberapa muktamar bahkan melahirkan gaung sejarah yang jauh melampaui masa bakti kepengurusan yang dihasilkannya, seperti muktamar ke-11 tahun 1936 di Banjarmasin yang mengukuhkan wilayah Indonesia sebagai Darul Islam yang wajib dibela menurut syariat agama, muktamar ke-20 tahun 1954 di Surabaya yang menegaskan pengakuan terhadap kepala Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai Waliyyul Amri Adl Dlaruri bisy Syaukah, dan muktamar ke-27 tahun 1984 di Situbondo yang menghasilkan rumusan Khittah Nahdliyyah.

Dalam catatan kita, muktamar-muktamar bersejarah itu diliputi konteks historis berupa banyaknya kepentingan strategis yang berseliweran, bahkan tidak jarang saling berbenturan. Saya merasa muktamar ke-32 di Makassar nanti pun dilingkupi suasana yang kurang lebih serupa sehingga saya bertanya-tanya, akankah muktamar kita beberapa hari mendatang ini menjadi salah satu muktamar yang bersejarah pula?

Muktamar-muktamar bersejarah seperti yang saya contohkan di atas menjadi bersejarah karena menampilkan dua hal mendasar sekaligus, yakni meneguhkan prinsip-prinsip yang kita warisi dari tradisi keberagamaan kita dan pada saat yang sama memancangkan titik tolak bagi pembaruan yang strategis dalam mendudukkan peran jam'iyyah di tengah pergulatan bangsa.

Muktamar ke-11 di Banjarmasih mengukuhkan status syar'i dari wilayah Indonesia berdasar sejarah masa lalunya, sekaligus memantapkan pijakan untuk ikut serta menjadi bagian utama dari pergerakan nasional menuju kemerdekaan. Muktamar ke-20 di Surabaya mengukuhkan kedudukan ilmu-ilmu syariat warisan para ulama sebagai pegangan kita dalam menyikapi masalah-masalah kebangsaan, sekaligus mengukuhkan legitimasi kepemimpinan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia yang masih berusia muda.

Selanjutnya, muktamar ke-27 di Situbondo menegaskan kembali khittah nahdliyyah yang digariskan para muassis jam'iyyah sekaligus menguak cakrawala baru yang luar biasa luas bagi pengembangan jam'iyyah menuju masa depannya. Semua itu sesuai dengan qa'idah yang kita pegangi bersama, yaitu al muhaafadhatu 'alal qadiimish shaalih wal akhdzu bil jadiidil ashlah.

Ke mana pergulatan jam'iyyah nanti adalah wewenang muktamar untuk menetapkan. Tetapi, sebagai rais aam, sejumlah hal mendasar merupakan tanggung jawab saya. Di antaranya adalah kewajiban untuk mengingatkan kembali kepada segenap warga NU, khususnya muktamirin yang akan membuat keputusan-keputusan penting di Makassar nanti, tentang prinsip-prinsip yang secara mutlak harus kita pegangi dalam setiap gerak langkah dan pertimbangan-pertimbangan kita menyangkut jam'iyyah.

Khittah Nahdliyyah sebenarnya telah tercakup dalam nama jam'iyyah itu sendiri, yaitu Nahdlatul Ulama. Nama itu terdiri atas dua patah kata, nahdlah dan al ulama, yang mewakili unsur-unsur yang tak boleh dipisahkan satu dengan lainnya. Nahdlah berarti gerakan yang terus-menerus dan tak henti-hentinya untuk mencapai tujuan. Al ulama adalah para pengemban ilmu-ilmu agama dan syari'at. Maka, Nahdlatul Ulama berarti pergerakan terus-menerus yang merupakan keharusan berdasar ilmu ulama dan dilaksanakan di bawah sinaran ilmu ulama. Pergerakan tanpa dasar ilmu ulama bukan NU. Sebaliknya, ulama yang tidak bergerak juga bukan NU.

Sekali lagi, kedua unsur itu tak boleh dipisahkan sama sekali, atau NU akan kehilangan jati dirinya. Jangan sampai NU menjadi sekadar jamaa'atul ulama (kumpulan ulama) saja, apalagi menjadi nahdlatul juhala (kebangkitan orang-orang bodoh). Wal 'iyaadzu billah.

Kepentingan dan pandangan adalah hak bahwa semua warga NU setara. Oleh karena itu, sebanyak apa pun kepentingan dan pandangan yang saling berbeda dan sehebat apa pun perbenturan yang terjadi adalah normal. Namun, kita harus sungguh-sungguh bertekad bahwa dalam mempergaulkan berbagai kepentingan dan pandangan yang berbeda-beda itu kita senantiasa tunduk kepada rambu-rambu alakhlaaqul kariimah. Itu harus menjadi watak jam'iyyah dan segenap warganya, terlebih lagi para pemimpinnya.

Yang ingin saya ingatkan kembali adalah ahlaqul karimah itu tidak hanya mengenai ukuran-ukuran tingkah-laku lahiriah saja, tapi juga sikap batin. Segala yang kita lakukan akan kita pertanggungjawabkan tidak hanya di hadapan manusia, tapi terlebih lagi di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Selanjutnya, tidak ada arah penyelesaian dari segala perbedaan yang ada selain harus dikembalikan kepada al haqq, kebenaran. Ketika kebenaran telah tampak, semua pihak harus tunduk kepadanya.

Dari manakah kita memperoleh pencerahan tentang akhlakul kariimah dan al haqq itu? Tentu saja dari ilmu para ulama juga. Selamat bermuktamar.
Read More...

Jelang Muktamar NU: Mau Dibawa ke Mana NU?

KH Salahuddin Wahid

JUDUL di atas adalah pertanyaan yang sering diajukan kepada para bakal calon ketua umum PB NU, termasuk saya. Pertanyaan itu sebenarnya harus ditujukan tidak hanya kepada calon ketua umum PB NU, tetapi juga kepada calon rais aam, bahkan para muktamirin.

Untuk menjawab pertanyaan itu, saya mengajukan pertanyaan balik. Apa yang dimaksud dengan NU? Menurut saya, ada empat pengertian tentang NU. Pertama, ajaran Islam ahlussunnah wal jamaah (aswaja). Kedua, warga NU; ketiga, ulama dan pesantren, dan keempat adalah organisasi.


Ajaran Aswaja

Secara ringkas dan sederhana, Islam aswaja itu terdiri atas aspek fikih yang mengikuti imam empat Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali; akidah yang mengikuti Imam Asy'ari dan Imam Maturidi; tasawuf yang mengikuti Imam Ghazali dan Imam Junaidi al Baghdadi.

Selain itu, terdapat beberapa pedoman di dalam organisasi NU. Pertama, Qanun Asasi yang disusun pendiri NU KH M. Hasyim Asy'ari, yang menjadi semacam pembukaan UUD. Kedua, Khitah NU 1926 yang memuat, antara lain, Dasar-dasar paham keagamaan NU; Sikap kemasyarakatan NU; Perilaku yang dibentuk oleh dasar dan sikap tersebut di atas, serta NU dan kehidupan berbangsa. Juga terdapat pedoman berpolitik warga NU.

Selain ajaran dalam aspek fikih, akidah, dan tasawuf itu, NU telah mempunyai ajaran aswaja dalam bidang politik yang tertuang dalam dokumen tentang Hubungan Islam dan Pancasila yang merupakan produk Munas Ulama NU 1983 dan diperkuat dalam Muktamar NU 1984. NU adalah ormas Islam pertama yang menerima Pancasila.

Menurut saya, kalau sudah ada ajaran aswaja dalam bidang politik seperti diuraikan di atas, wajar kalau ada ajaran aswaja dalam bidang ekonomi. Bagi saya, sistem ekonomi seperti yang dirumuskan dalam UUD 1945 yang asli mendekati sistem ekonomi aswaja. Itu lebih memungkinkan untuk bisa mewujudkan sila keadilan sosial.

Warga NU

Pengertian NU yang kedua adalah warganya. Menurut survei PPIM UIN Ciputat (2002), jumlah umat Islam yang mengaku dari komunitas NU mencapai 42 persen. Menurut survei LSI Saiful Mujani (2009), jumlah tersebut adalah 38 persen. Kalau kita anggap bahwa warga komunitas NU adalah 40 persen, jumlahnya mencapai sekitar 86 juta.

Jumlah penduduk sebanyak itu adalah warga NU kultural, yang menjalankan ritual ala NU. Jumlah warga sebesar itu tidak semuanya menjadi anggota organisasi NU. Warga dalam jumlah besar itu, sebagian besar adalah mereka yang belum sejahtera, yang tingkat pendidikannya rendah. Dan, harus diakui, organisasi NU belum berbuat banyak untuk mereka.

Jumlah penduduk sebesar itu tentu menggiurkan bagi partai politik. Karena itu, tokoh NU selalu didekati oleh partai dan calon peserta pilkada dan pilpres. Tetapi, ternyata tidak semua warga komunitas NU yang memilih partai yang berkaitan dengan organisasi NU.

Ulama dan Pesantren

NU juga mengandung pengertian ulama dan pesantren. Melalui pesantren, selama berabad-abad ulama berjuang mendidik rakyat sebelum ada pendidikan oleh pemerintah Hindia Belanda dan oleh lembaga swasta dan pemerintah RI.

Ulama dan pesantren telah mampu menanamkan sikap moderat ke dalam diri umat Islam di seluruh Nusantara. Salah satu buahnya adalah kesediaan para tokoh umat Islam mencoret "tujuh kata Piagam Jakarta" saat sejumlah tokoh non-Islam dari Indonesia Timur menolaknya. Penerimaan Pancasila oleh umat Islam Indonesia adalah juga hasil pemikiran ulama pesantren.

Namun, tampaknya bangsa Indonesia, termasuk para pemimpinnya, tidak menyadari bahwa bangsa Indonesia belum memberikan penghargaan yang sepantasnya terhadap pesantren. Pemerintah belum berbuat banyak untuk membantu peningkatan mutu pengajaran ilmu nonagama di madrasah dan pesantren.

Organisasi NU

Organisasi umumnya didirikan untuk menggali potensi yang ada, guna mencapai tujuan. Dalam hal NU, adalah untuk menyebarluaskan ajaran NU dan mewujudkannya dalam kehidupan nyata melalui program. Juga untuk melindungi dan membantu warganya serta membantu pesantren dan ulama.

Tanpa bermaksud menyalahkan siapa pun, harus diakui bahwa organisasi NU belum maksimal dalam mencapai tujuannya. NU kultural tumbuh sendiri, tanpa bantuan organisasi NU. Pesantren dan ulama juga tumbuh sendiri tanpa sentuhan organisasi NU. Bidang kegiatan yang belum tergarap oleh pesantren, seperti universitas yang bermutu, rumah sakit, dan lain-lain juga belum banyak tersentuh oleh organisasi NU. Ketertarikan dan keterlibatan tokoh struktural NU terhadap politik praktis menambah parah masalah.

Untuk itu, ke depan NU harus dibawa menuju tujuan didirikannya organisasi NU. Organisasi NU harus mampu memberikan manfaat nyata kepada warganya, terutama yang tertinggal. Amal usaha sosial organisasi NU dalam bidang pendidikan, kesehatan, dakwah, dan ekonomi, harus ditingkatkan. Politik kebangsaan harus diutamakan di atas politik praktis.

Untuk itu diperlukan pimpinan (rais aam, ketua umum, dll) yang bukan politikus, yang fokus pada upaya perbaikan organisasi dan amal usaha sosial. Pimpinan puncak organisasi NU (rais aam dan ketua umum PB NU) seharusnya bukan tokoh yang cenderung akan memanfaatkan posisi di dalam NU untuk tujuan politik atau tujuan pribadi yang lain, melainkan tokoh yang niatnya murni berkhidmat untuk kepentingan NU. (*)

KH Salahuddin Wahid, pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang. Opini_JP_ ( Rabu, 17 Maret 2010 ]
Muk-NU-di Makassar, 22-27 Maret 2010
Read More...

Kiai Sepuh Desak Muktamar NU Jewer Politikus PKB

JUM'AT, 19 MARET 2010 | 16:30 WI

TEMPO Interaktif, Kediri - Pengasuh Pondok Pesantren As`saidiyah Jamsaren Kediri Kiai Anwar Iskandar mendesak Muktamar Nahdlatul Ulama di Makassar membahas perilaku politikus Partai Kebangkitan Bangsa yang menyimpang. Mereka dinilai kerap memanfaatkan NU untuk kepentingan politik tanpa memberikan kontribusi apapun.

Menurut Kiai Anwar yang juga juru bicara Forum Pengasuh Pondok Pesantren dan Habaib se-Jawa Timur dan Jawa Tengah ini, forum Muktamar NU sangat strategis untuk mengembalikan khitah PKB pada jalurnya. Sebagai organisasi politik yang melahirkan PKB, NU memiliki kewenangan untuk menjewer PKB. “Mereka sudah melenceng jauh dari kepentingan NU,” kata kiai sepuh ini kepada Tempo, Jumat (19/3).

Di mata Kiai Anwar, orang-orang yang menakhodai PKB tak ubahnya angkutan umum yang melupakan terminal. Setelah diberi keleluasaan untuk berkendara, sang nakhoda justru keasyikan sendiri dan tidak kembali ke terminal. “Ini sama persis dengan para politikus PKB yang memanfaatkan warga NU untuk kampanye, setelah itu dibuang,” kata kiai yang sering disapa Gus War.

Namun demikian, dia mengatakan tidak sependapat terhadap usulan sejumlah perwakilan Pengurus Cabang NU yang meminta forum Muktamar melepas PKB dari NU. Sebab bagaimanapun ada hubungan sejarah yang sangat kuat antara PKB dan NU yang tidak bisa dipisahkan.

Sebelumnya Kiai Anwar memotori berdirinya Forum Pengasuh Pondok Pesantren dan Habaib se-Jawa Timur dan Jawa Tengah yang mendukung pencalonan Hasyim Muzadi sebagai Rois Am Syuriah dan Salahuddin Wahid sebagai Ketua Umum NU. Forum yang terdiri dari 50 kiai sepuh ini berkumpul di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri untuk membahas rekomendasi Muktamar yang akan diikuti oleh seluruh perwakilan PCNU di Indonesia.

HARI TRI WASONO

Read More...
banner125125 d'famous_125x125 ads_box ads_box ads_box