Praktik Politik Sekuler di NU

Saturday, March 20, 2010

PDFCetakE-mail
Senin, 23 November 2009 15:09

Tulisan saya di Jawa Pos berjudul Menjaga Tradisi Mulia di NU (18/Nop) mendapat respon dari berbagai pihak. Di bawah ini sebagian saya kutip respon tersebut:
”Saya sangat terpikat dan terpesona membaca tulisan panjenengan hari ini di Jawa Pos. Tulisannya sangat cantik jelita, hati saya mendadak ROMANTIS, terkenang kembali keluhuran dan kejayaan NU di masa lalu. congratulation ... !”
Ada juga yang merespon begini:
”Semoga Kapal besar itu memiliki Nahkoda dan awak kapal yang tangguh di tengah deru arus perubahan zaman...laksana Kapal Nuh yang selamatkan peradaban ...”
Juga ada respon seperti ini:
”Ketika kearifan tradisi NU diterjang oleh pragmatisme jabatan maka penyangga pilar religi muslim terbesar di Indonesia akan runtuh, kaum nahdliyin pun akan terpontang panting tak tau arah”
Respon lain seperti ini:
“Tulisan cerdas... dari orang yg cerdas ... mengajak umat cerdas....”
Banyak sekali respon dari pembaca yang tak mungkin saya kutip semua. Siapa mereka? Mereka warga NU yang sangat mencintai NU, meski posisi mereka di luar struktural NU.
Apa yang membuat mereka tergugah dengan tulisan itu? Sederhana saja. Karena saya mengingatkan pembaca tentang sikap tawaddlu’ kiai tempo dulu – terutama pendiri NU. Para kiai itu selain sangat tawaddlu’, juga faqih, zuhud dan punya muru’ah tinggi sehingga tak bersedia jadi pengurus NU jika tak dipaksa. Jadi tak ada ambisi sama sekali. Apalagi sampai membentuk tim sukses segala.
Sedemikian tawaddlu’ sampai posisi Rais Aam atau Rais Syuriah identik dengan ”kiai tak bersedia”. Jangankan Rais Aam, untuk jabatan Rais Syuriah PWNU saja dulu dijabat oleh kiai yang sangat tawaddlu’ dan bermuru’ah tinggi. Saya contohkan KH Mahrus Ali (almarhum) dari Pesantren Lirboyo. Ia menolak keras ketika KH Imron Hamzah (almarhum) sowan ke Lirboyo minta kesediaan Kiai Mahrus untuk jadi Rais Syuriah PWNU Jawa Timur. Bahkan Kiai Mahrus Ali langsung sakit dan mencret-mencret ketika mendengar Kiai Imron Hamzah sowan lagi ke Lirboyo setelah sowan pertama gagal membujuknya. Sedemikian tak bersedianya Kiai Mahrus Ali menduduki posisi Rais Syuriah sampai trauma mendengar Kiai Imron Hamzah. Namun Kiai Mahrus Ali tak bisa mengelak ketika para kiai dan peserta konferwil NU memaksa untuk menjabat Rais Syuriah PWNU Jawa Timur. Jadi begitu mulianya tradisi NU saat itu sehingga para kiai besar sekaliber Kiai Mahrus pun merasa tak pantas jadi pengurus NU di tingkat wilayah.
Karena itu dalam NU kemudian berkembang tradisi tawaddlu (rendah hati) yang sangat tinggi. Bahkan dalam salat jamaah pun sering kiai-kiai saling dorong untuk jadi imam salat. Mereka baru bersedia jadi imam setelah melalui proses saling dorong dan memaksa satu dengan yang lain.
Konsekuensinya, dalam tradisi NU sangat tabu minta jabatan, apalagi merebut dan pakai money politics. Sebab minta jabatan, merebut jabatan, apalagi pakai money politics adalah tradisi profan dan sekuler, sementara NU adalah domain sakral. Karena itu kadang saya tertawa dalam hati menyaksikan seseorang secara verbal (omongan) sangat anti hal-hal sekuler tapi ambisi terhadap jabatan dengan berbagai jargon demi menyelamatkan NU dan sebagainya. Ia tak sadar bahwa dirinya telah ”menyembah berhala sekuler” dan meninggalkan domain sakral yang menjadi tradisi atau kultur asli NU.
Kita harus sadar bahwa minta jabatan, merebut jabatan, membentuk tim sukses, apalagi money politics adalah tradisi partai politik yang sekuler dan profan. Karena itu kalau ada tokoh NU yang meraih jabatan di NU melalui cara-cara meminta, merebut, tim sukses dan pakai money politics, dengan dalih apapun, berarti ia telah mengimpor tradisi politik sekuler dan profan dipraktikkan dalam NU. Cara-cara inilah yang dulu pernah ”difatwakan” Machiavelli.
Saya mendengar info bahwa tokoh NU yang suka mempraktikkan money politics beralasan karena pengurus NU memang butuh uang. Ini tentu sangat ironis. Saya kira semua manusia yang masih hidup pasti butuh uang. Tapi bukan uang suap agar memilih orang atau tokoh tertentu sebagai ketua umum tanfidziyah, apalagi Rais Aam. Kalau seorang kandidat sudah punya pemikiran kotor seperti itu saya yakin haqqul yaqin bahwa dia bukan saja telah menjadi aktor perusak mental pengurus NU tapi juga perusak moralitas NU. Padahal NU adalah organisasi keagamaan yang sakral yang didirikan para kiai zuhud, faqih dan punya muru’ah tinggi. NU dilahirkan untuk memperbaiki moralitas umat dalam perspektif Aswaja, bukan untuk merusak mental dan moralitas umat.
Kita juga harus sadar bahwa tokoh perusak mentalitas dan moralitas NU akan terekam dalam sejarah secara sempurna. Apalagi sekarang teknologi informasi dan komunikasi sudah sedemikian canggih sehingga semua sejarah dan perilaku para tokoh – termasuk tokoh NU – akan terekam secara otomatis. Lihat saja misalnya google atau yahoo. Semua peristiwa yang terjadi di NU – termasuk tulisan - langsung terpateri secara otomatis. Jadi generasi NU akan datang kelak akan dengan mudah mengakses perilaku tokoh NU sekarang. Semoga saja kita tak termasuk bagian dari generasi hitam. Wallahu a’lam bisshawab.


Oleh: M Mas’ud Adnan

Pemimpin Redaksi HARIAN BANGSA

0 comments:

Post a Comment

banner125125 d'famous_125x125 ads_box ads_box ads_box