Sipilis Kok Mau Masuk NU

Saturday, March 20, 2010

Meski ajarannya telah diharamkan berulangkali, kaum Sipilis masih mencoba peruntungan nasib untuk masuk struktur PBNU.


Setelah gagal masuk struktur PP Muhammadiyah, kini kaum Sipilis (sekularisme-pluralisme-liberalisme) berupaya merasuki NU. Ulil Abshar-Abdalla, tokoh pengasong Sipilis terkemuka, coba adu nasib merebut posisi PBNU dalam Muktamar NU ke-32 pada 22-27 Maret di Makassar. Di belakangnya, antri pula Masdar Farid Mas’udi, ikut adu keberuntungan. Keduanya akan berlaga melawan KH Sholahuddin Wahid, KH Ali Masschan Moesa, KH Ahmad Bagja, dan Slamet Effendy Yusuf.

Padahal, NU sudah tegas menolak Sipilis melalui Khittah Nahdlatul Ulama yang diputuskan di Muktamar Situbondo (1984) dan ditegaskan kembali dalam Muktamar Solo (2004).

Pada Juli 2005, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang juga terdiri unsur ulama NU, menetapkan 11 fatwa dalam Musyawarah Nasional ke-7 di Jakarta. Salah satunya fatwa haram Sipilis.

Hal itu diperkuat kembali dengan Kesimpulan Forum Kiai Muda (FKM) NU Jawa Timur pada 2009. Kesimpulan ini dibuat dalam Forum Tabayyun dan Dialog Terbuka dengan Jaringan Islam Liberal di PP Bumi Sholawat, Tulangan, Sidoarjo, Jawa Timur
Ahad, 11 Oktober 2009.

Kesimpulan FKM Jawa Timur antara lain bahwa Ulil Abshar-Abdalla dengan JIL-nya tidak memiliki landasan teori yang sistematis dan argumentasi yang kuat. Pemikiran mereka lebih banyak berupa kutipan-kutipan ide-ide yang dicomot dari sana-sini, dan terkesan hanya sebagai pemikiran asal-asalan belaka (plagiator), yang tergantung musim dan waktu (zhuruf), dan pesan sponsor yang tidak berakar dalam tradisi berpikir masyarakat bangsa ini.

Pada dasarnya, menurut FKM, pemikiran-pemikiran JIL bertujuan untuk membongkar kemapanan beragama dan bertradisi kaum Nahdliyin. Cara-cara membongkar kemapanan itu dilakukan dengan tiga cara: (1) Liberalisasi dalam bidang akidah; (2) Liberalisasi dalam bidang pemahaman al-Quran; dan, (3) Liberalisasi dalam bidang syariat dan akhlak.

FKM menyebutkan, liberalisasi dalam bidang akidah yang diajarkan JIL, misalnya bahwa semua agama sama, dan tentang pluralisme, bertentangan dengan akidah Islam Ahlussunnah Waljamaah. Warga NU meyakini agama Islam sebagai agama yang paling benar, dengan tidak menafikan hubungan yang baik dengan penganut agama lainnya yang memandang agama mereka juga benar menurut mereka. Sementara ajaran pluralisme yang dimaksud JIL berlainan dengan pandangan ukhuwah wathaniyah yang dipegang NU yang mengokohkan solidaritas dengan saudara-saudara sebangsa. NU juga tidak menaruh toleransi terhadap pandangan-pandangan imperialis neo-liberalisme Amerika yang berkedok “pluralisme dan toleransi agama”.

Liberalisasi dalam bidang pemahaman al-Quran yang diajarkan JIL, misalnya al-Quran adalah produk budaya dan keotentikannya diragukan, tentu berseberangan dengan pandangan mayoritas umat Islam yang meyakini al-Quran itu firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dan terjaga keasliannya.

Liberalisasi dalam bidang syari’ah dan akhlak di mana JIL mengatakan bahwa hukum Tuhan itu tidak ada, jelas bertolak belakang dengan ajaran Al Quran dan Sunnah yang mengandung ketentuan hukum bagi umat Islam. JIL juga mengabaikan sikap-sikap tawadhu’ dan akhlaqul karimah kepada para ulama dan kiai. JIL juga tidak menghargai tradisi pesantren sebagai modal sosial bangsa ini dalam mensejahterakan bangsa dan memperkuat Pancasila dan NKRI.

Ide-ide liberalisasi, kebebasan dan hak asasi manusia (HAM) yang diangkat oleh kelompok JIL dalam konteks NU dan pesantren tidak bisa dilepaskan dari Neo-Liberalisme yang berasal dari dunia kapitalisme, yang menghendaki agar para kiai dan komunitas pesantren tidak ikut campur dalam menggerakkan tradisinya sebagai kritik dan pembebasan dari penjajahan dan kerakusan kaum kapitalis yang menjarah sumber-sumber daya alam bangsa kita.

JIL, menurut FKM, cenderung membatalkan otoritas para ulama salaf dan menanamkan ketidakpercayaan kepada mereka, sementara di sisi lain mereka mengagumi pemikiran orientalis Barat dan murid-muridnya, seperti Huston Smith, John Shelby Spong, Nasr Hamid Abu Zaid, dan sebagainya.

Dalam akhir kesimpulannya FKM menyatakan, menghadapi pemikiran-pemikiran JIL tidak dilawan dengan amuk-amuk dan cara-cara kekerasan. Tapi harus melalui pendekatan yang strategis dan taktis, dengan dialog-dialog dan pencerahan.

Politik Ulama

Kandidat Ketua PBNU lainnya, menawarkan agar NU kembali ke Khittah sebagai ormas non-politik. Memang, di bawah kepemimpinan KH Hasyim Muzadi, NU berpolitik praktis. Misalnya, Ketua PBNU menjadi Cawapres Megawati pada Pilpres 2004. Lalu dalam Pilpres 2009, PBNU mendukung Capres Jusuf Kalla.

Menurut Sekjen Forum Umat Islam, Muhammad Al Khaththath, politik praktis memang bisa menjadi bumerang bagi ulama dan ummat. Sebab, riil politik dalam sistem demokrasi hanyalah sekadar seni mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. Orientasinya keduniawian.

‘’Tapi bukan berarti ulama haram berpolitik. Justru ulama wajib berpolitik, dengan politik Islami,’’ tandas Al Khaththath.

Ia menuturkan, politik Islam pada dasarnya adalah penyelenggaraan urusan ummat di dalam dan luar negeri, demi kepentingan ummat dan agamanya. Sedangkan ulama adalah warasah al-anbiyâ’ (pewaris para nabi). Merekalah yang mewarisi tugas para nabi dan rasul dalam menyampaikan dakwah dan melakukan amar makruf nahi mungkar. Di hadapan penguasa, ulama adalah barisan terdepan yang mengontrol, menjaga, memberikan kritik dan nasihat agar penguasa senantiasa menjalankan syariah-Nya. Ulama juga tempat penguasa bertanya dalam ragam kebijakan menyangkut urusan pemerintahan, politik, sosial ekonomi, pendidikan, dll.

Seperti diwasiatkan Nabi Muhammad SAW, ‘’Di tengah-tengah umat, ulama bagaikan lentera yang bersinar terang, membimbing dan menunjukkan jalan yang benar. Apabila ulama terbenam, maka jalan akan kabur’’ (HR Imam Ahmad). [nb]

0 comments:

Post a Comment

banner125125 d'famous_125x125 ads_box ads_box ads_box