Muktamar NU Dihadiri 30 Mufti Dunia

Sunday, March 21, 2010

SENIN, 22 MARET 2010 03:53

CetakPDF

Muktamar Nahdlatul Ulama ke-32 yang digelar di Makasar Propinsi Sulawesi Selatan 23 – 28 Maret 2010 merupakan muktamar yang istimewa dibanding muktamar sebelumnya. Ini terlihat antara lain pembukaan muktamar dihadiri sekitar 30 mufti/ulama dari sejumlah Negara. Kehadiran para mufti dan ulama dalam muktamar NU ini baru pertama kali dalam sejarah NU.

“Para mufti juga akan berdialog dengan tema Peran Ulam dalam Memajukan Dunia Islam, hari ini, Senin (22/3). Selain itu mereka juga akan menyaksikan pembukaan Muktamar pada hari Selasa (23/3), kata Ketua PBNU/Wakil Sekjen ICIS Masykuri Abdillah dalam siaran persnya.

Menurut Masykuri, para mufti juga akan berdialog dengan Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono sekitar pukul 12.00 WITA atau satu jam sebelum pembukaan Muktamar. "Kegiatan tersebut dilatarbelakang antara lain, sebagai organisasi massa Islam terbesar di dunia, sewajarnya NU mengajak para mufti/ulama dari berbagai negara untuk meningkatkan komunikasi, silaturrahmi diantara mereka," terang Masykuri.

Lebih lanjut Masykuri menjelaskan, dialog ini sangat bermanfaat untuk menunjukan perkembangan Islam di Indonesia, yang pada dasawarsa lalu masih belum banyak dikenal secara utuh oleh ulama-ulama Islam di Indonesia. Sehingga kadang-kadang muncul persepsi yang kurang baik tentang orisionalitas Islam di Indonesia. “Memang acara internasional ini sudah dilakukan oleh NU sejak tujuh tahun terakhir ini. Terutama International Conference of Islamic Scholars (ICIS) pertama tahun 2004, kedua tahun 2006 dan ketiga tahun 2008,” kata Masykuri.

Dikatakan, dalam dialog itu para mufti/ulama bersama-sama memahami dan mengatasi serta berbagi pengalaman (sharing) tentang persoalan-persoalan yang dihadapi umat Islam di dunia. Kondisi dunia Islam saat ini masih belum cukup maju, atau dalam banyak hal masih tertinggal dari negara-negara lain yang sudah maju, baik di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi dan politik (pemerintah). Warga negara di dunia Islam umumnya masih berpendikan rendah. Diantara mereka masih banyak yang dibelenggu oleh kemiskinan.

“Di sisi lain, pengembangan iptek pun secara umum masih jauh tertingagal dari negara-negara maju, yang notabene non-Muslim. Sementara pemerintahan dan penegakan hak-hak asasi manusia di negara-negara Muslim secara umum masih belum maksimal,” katanya.

Ditambahkan Masykuri, meski para ulama banyak berperan dalam meningkatkan peradaban Islam pada masa lalu (masa keemasan Islam), tetapi pada saat ini peran itu masih belum optimal. Karena itu, para ulam perlu mempunyai konsep baik secara strategis maupun operasional tentang peran mereka dalam meningkatkan peradaban Islam, terutama dengan pendekatn keagamaan. Optimalisasi peran ini sangat dimungkinkan, karena meskipun dunia ini semakin modern dan rasional, kebutuhan spiritualisme umat Islam masih tetap tinggi.

Di antara mufti/ulama yang sudah hadir antar lain dari Lebanon, Qatar, Oman, Syiria, Belanda, Malaysia, Arab Saudi, Sudan, Rusia, Mesir, Australia, Korea, Afghanistan, dan Marocco. (arm/muktamar.nu.or.id)

Read More...

Masdar: NU Harus Terlepas Dari Politik Praktis


Minggu, 21 Maret 2010, 13:50:38 WIB

Laporan: Zul Hidayat Siregar


Jakarta, RMOL.
Selama ini, NU sebagai Organisasi Kemasyarakatan hanya terhenti pada teori. Karena pada praktiknya, NU juga berpolitik praktis.

Untuk itu, Calon Ketua Umum PBNU Masdar Farid Masudi menegaskan bahwa dia akan mengakhiri segala cara kerja dan keterlibatan NU dalam politik praktis

“Agendanya, mengembalikan NU pada jalurnya sebagi ormas keagamaan baik secara pengakuan dan perilaku,” kata Masdar kepada Rakyat Merdeka Online sesaat lalu (Minggu, 21/3).

Masdar mengakui keterlibatan NU dalam politik selama ini karena adanya euphoria berdemokrasi, setelah kran kebebasan dibuka pada tahun 1998. NU, katanya, menjadi seperti lupa daratan setelah selama 30 tahun saluran untuk berpolitik tersebut tersumbat.

Untuk menjaga NU pada jalur sosial kegamaan dan tidak kembali pada politik praktis, Masdar mencanangkan bahwa semua pengurus NU di semua level pimpinan harus terbebas dengan politik.

“Ya tentu, pengurus NU semuanya tidak boleh merangkap jabatan di partai di semua tingkatan,” jelasnya.

Selain itu, tambahnya, ketika ada pimpinan NU, terutama top leaderdi semua level kepemimpinan, yang maju dalam pemilihan kepala daerah, pemiilhan presiden, dan juga calon legeslatif, harus mengundurkan diri.

“Dulu hanya non aktif, jadi ini maju selangkah. Harus mundur,” tegasnya.

Untuk itu, pada saat muktamar nanti, Masdar berharap seluruh peserta untuk tidak terpengaruh jika ada partai politik atau dari kekuasaan yang ingin mengarahkan pada salah satu calon.

“Kita tidak bisa menghalau angin, tapi kita berusaha untuk mengantisipasi agar tidak masuk angin,” katanya menganalogikan.

Akan tetapi, tambah Masdar, pada saat yang sama NU tetap harus menjadi payung bagi semua nahdhiyyin yang tersebar di berbagai partai politik. [zul]
Read More...

Tak Rela NU Dibuat Mainan

SURABAYA - SURYA- Sholeh Hayat bukan orang baru di kalangan warga Nahdlatul Ulama (NU). Dia adalah wakil ketua PWNU Jatim dan ketua tim komisi orgainsasi untuk memberikan rekomendasi ke Muktamar NU di Makassar.

Pria paruh baya ini bersama anggota komisi organisasi tak rela jika NU dibuat mainan untuk kepentingan politik pribadi. Meskipun itu dari kadernya sendiri.

Menjelang keberangkatannya ke muktamar, Sholeh menyiapkan beberapa rancangan rekomendasi. Di antaranya, bagi ketua rois dan tanfidz yang mencalonkan diri di jabatan politik, mereka otomatis berhenti. Dan bagi kader yang memiliki jabatan di bawahnya, jika ingin mencalonkan, mereka harus cuti. Jika gagal, mereka tidak boleh kembali duduk di jabatan semula. Selain itu, komisi organisasi mengusulkan jabatan rois dan ketua maksimal dua kali berturut-turut.

“Ini agar mereka berfikir sebelum mencalonkan diri. Biar mereka fokus untuk menjalankan salah satu jabatannya,” papar Sholeh kepada Surya di Surabaya, Minggu (21/3).

Jika draft rekomendasi ini disetujui di muktamar, maka Ketua Pengurus Cabang NU Gresik dan Jember terancam kena melepas jabatannya di NU karena mencalonkan diri pada pemilihan kepala daerah. niks

Read More...

Muktamar NU, Muktamar Bangsa

Tanpa bermaksud melebih-lebihkan positioning Nahdlatul Ulama (NU) dalam percaturan kehidupan berbangsa dan bernegara, kiranya cukup beralasan menggambarkan Muktamar Ke-32 NU di Makassar mulai hari ini sebagai ”muktamarnya bangsa Indonesia”. Dalam berbagai momentum kritis kebangsaan, organisasi sosial keagamaan terbesar di Tanah Air ini tampil dengan kekuatan sikap kebhinekaannya. Wajah klasik jam’iyyah nahdliyyah itu memang merepresentasikan potensi efektif spirit menjaga nilai-nilai tradisi bangsa.


Mengapa semangat pewacanaan yang berkembang menjelang muktamar kali ini berupa kehendak menjauhkan NU dari politik praktis, karena berbagai pengalaman sejarah menunjukkan NU lebih bertaji dalam posisi memberi jarak yang sama terhadap semua kekuatan politik. Sikap kembali ke khitah — seperti amanat Muktamar 1984 Situbondo — andai dilaksanakan dengan segala keistikamahan, kita yakini akan meneguhkan organisasi dibandingkan dengan keterlibatan-keterlibatan yang cenderung membatasi inklusivitasnya.

Di Muktamar Makassar, tarik-ulur faksi politik dan faksi kultural diperkirakan menemukan puncaknya, walaupun semua tentu tergantung pada suara muktamirin. NU pasca-Gus Dur juga membentangkan banyak pertanyaan, bagaimana pemikiran-pemikiran sang Guru Bangsa yang dalam banyak segi merepresentasikan wajah NU itu akan terimplementasikan dan dikembangkan. Baik semangat pluralitasnya, sebagai lokomotif demokrasi, maupun pencerahan pemikiran-pemikiran berkebangsaan yang berbasis religiositas.

Di tengah pertarungan dua faksi itu, banyak kepentingan jam’iyyah yang belum sepenuhnya dapat diwujudkan dalam sejarah kehidupan ormas ini sejak dilahirkan 84 tahun lalu. Kemandirian ekonomi warga NU merupakan salah satu di antara banyak tujuan organisasi yang belum bisa dikatakan tersentuh secara efektif. Padahal kita tahu, betapa berat tantangan di tengah globalisasi ekonomi sekarang. Pasar bebas ASEAN - China yang dimulai sejak awal tahun ini juga menuntut kesiapan. Lalu sejauh mana peran NU bagi anggotanya?

Di bidang pendidikan, memang makin banyak tumbuh sekolah dan perguruan tinggi berlabel NU. Namun otokritik tetap dibutuhkan menyangkut ketertinggalan dari segi pengembangan dan kualitas administratifnya dibandingkan dengan lembaga pendidikan milik ormas Islam yang lain. Sama seperti persoalan kemandirian ekonomi nahdliyyin, bidang pendidikan juga dihadapkan pada tantangan untuk menjawab kebutuhan bersaing di pentas global ketika sekolah-sekolah sekarang berorientasi pada standar internasional.

Akankah muktamirin terjebak hanya pada pergulatan yang berorientasi kekuasaan, lewat manuver-manuver rivalitas faksi kultural dan faksi politik, yang terpantul dalam dukung-mendukung Rais Aam dan ketua Tanfidiziyah? Inilah saat-saat kemandirian warga NU diuji, seperti pada 1994 ketika NU mampu mengalahkan kekuatan yang mengintervensinya. Jumlah besar warga NU — sekitar 40 juta — seharusnya menyadarkan: lebih inklusif berada ”di mana-mana” ketimbang terjebak hanya sebagai kendaraan politik sekelompok orang.
Read More...

Peran Ideal NU

SENIN, 22 MARET 2010 | 21:08 WITA |
Oleh: Salahuddin Wahid, Pengasuh Pesantren Tebuireng

Muktamar ke 32 NU adalah saat tepat untuk menancapkan tonggak sejarah yang akan menentukan masa depan NU: apakah akan kembali menjadi ormas agama yang sesungguhnya, yang bermartabat dan kuat, atau menjadi ormas berparadigma orpol, yang tidak dihormati masyarakat luas dan fatwa poltiknya tidak dipatuhi warganya.

Perjalanan panjang telah ditempuh organisasi NU, yang tidak terlepas dari perjalanan kesejarahan bangsa dan negara Indonesia, bahkan sebelum bangsa dan negara Indonesia ada. Ajaran NU, Islam Ahlussunnah wal jama'ah (Aswaja) telah berabad-abad hidup di kalangan mayoritas umat Islam di wilayah Nusantara.

Para ulama penganut Aswaja itu telah berjasa mencerdaskan warga muslim di seluruh wilayah Nusantara. Pesantren yang mereka dirikan telah menjadi ujung tombak pendidikan bagi masyarakat luas, jauh sebelum pendidikan diselenggarakan oleh pemerintah Hindia Belanda (1901) untuk memenuhi usul van Deventer. Merekalah yang mendidik muslim di Nusantara menjadi muslim yang moderat dan toleran.

Setelah organisasi NU didirikan pada 1926 oleh KHM Hasyim Azyumardi, KHA Wahab Hasbullah, KH Bisri Syansuri dkk, hubungan dan kerja sama antar-pesantren semakin erat. Keterlibatan tokoh NU di dalam pergerakan kemerdekaan termasuk dalam Lasykar Hisbullah tidak membuat pendidikan di pesantren terabaikan.

KHA Wahid Hasyim dan tokoh NU lainnya terlibat aktif dalam BPUPKI dan PPKI. Saat “tujuh kata Piagam Jakarta” menjadi ganjalan bagi proses berdirinya NKRI, tokoh-tokoh Islam termasuk NU tanpa ragu mencoret tujuh kata itu dari Pembukaan UUD.

Menghadapi Belanda yang kembali ke Indonesia dengan memanfaatkan NICA, Rais Akbar PBNU KH Hasyim Asy’ari memfatwakan Resolusi Jihad (22-10-1945) yang mewajibkan para muslimin di dalam radius 90 km dari Surabaya untuk membantu TNI dalam perang melawan Belanda.

Menjadi Partai Politik

Tuntutan keadaan mendorong NU yang bergabung dalam Partai Masyumi pada 1945, untuk mengubah ormas NU menjadi Partai NU pada Muktamar 1952. Tanpa diduga oleh siapapun, NU keluar menjadi pemenang ketiga pemilu 1955. NU mendasarkan langkahnya dalam berpolitik pada kaidah ushul fiqh ahlus sunnah wal jama’ah, sehingga tidak dipahami oleh parpol lain dan dianggap oportunis.

Pasca dibubarkannya Masyumi oleh Bung Karno, NU menjadi kekuatan utama politik Islam, tetapi tidak cukup kuat untuk menghadapi pertarungan dengan PKI. Kerja sama TNI dengan unsur anti-PKI termasuk NU, mengakhiri era Orde Lama di mana PKI amat berperan. NU yang merupakan kekuatan politik yang masih perlu diperhitungkan, segera menjadi sasaran utama bagi pemerintah Orde Baru karena NU masih memperjuangkan Piagam Jakarta.

Para aktivis NU di birokrasi pemerintah (terutama Depag) harus memilih antara status PNS dengan posisi di NU. GUPPI menjadi ujung tombak dari Golkar untuk melemahkan organisasi NU. Pada awal 1970-an sejumlah tokoh NU mulai bergabung dengan Golkar. Proses pelemahan organisasi NU terjadi secara perlahan tetapi pasti. Kegiatan non-politik organisasi NU mulai surut. Saat bergabung dengan PPP, peranan tokoh NU juga dibatasi untuk tidak menjadi orang pertama di PPP.

Muktamar NU 1984 dan Munas Alim Ulama NU 1983 menerima dokumen Hubungan Islam dengan Pancasila, yang merupakan wujud konvergensi Islam dan Indonesia. Landasan pemikiran bagi NU untuk menerima Pancasila dirumuskan oleh para ulama dari pesantren, bukan oleh Prof Dr dari universitas. Dokumen karya tim di bawah pimpinan KH Ahmad Siddiq itu kemudian amat berpengaruh terhadap kehidupan kebangsaan warga NU dan umat Islam Indonesia.

Kembali ke Khittah 1926

Muktamar NU 1984 memutuskan NU kembali ke Khittah 1926. Khittah itu mencakup banyak hal, antara lain Dasar -dasar Paham Keagamaan NU; Sikap Kemasyarakatan NU; Perilaku yang Dibentuk Oleh Dasar dan Sikap tersebut di atas serta NU dan Kehidupan Berbangsa.

Tetapi dalam wacana tentang NU, biasanya yang dimaksud dengan kembali ke Khittah NU adalah lepasnya organisasi NU dari ikatan dengan parpol manapun. Sejak itu banyak politisi NU aktif di PPP dan Golkar. Gus Dur pernah menjadi anggota MPR dari FKP. Pada awal 1990-an Gus Dur mulai lantang mengkritik pemerintah Orde Baru. Dia muncul menjadi pemimpin utama masyarakat sipil di Indonesia.

Walaupun secara resmi NU sudah tidak terlibat dalam politik praktis, tetapi ternyata tidak mudah bagi NU untuk melakukannya. Saat dibuka kesempatan untuk mendirikan parpol baru pada Juli 1998, NU secara tidak langsung (melalui tokoh-tokoh utamanya) mendirikan PKB. Dalam Pemilu 1999, PKB mencapai urutan ketiga (di atas 12 persen jumlah suara). Posisi Gus Dur sebagai pemimpin utama masyarakat sipil membawanya menjadi Presiden RI.

Keberhasilan Gus Dur menjadi presiden saat menjabat Ketua Umum PBNU mendorong tokoh PBNU maju sebagai calon dalam pilpres dan ketua PWNU/PCNU menjadi calon dalam pilkada. Semua tokoh itu tidak mengundurkan diri dari kepengurusan NU. Tidak bisa dihindarkan, organisasi NU masuk ke dalam pusaran politik praktis. Keterlibatan itu menimbulkan minimal dua dampak negatif : a). NU tidak fokus pada kegiatan amal usaha sosial; b) disharmoni dalam kepengurusan.

Dalam pemilu legislatif, partai-partai yang selama ini dikenal sebagai penyalur aspirasi politik warga NU ternyata tidak berhasil mempertahankan posisinya. Banyak pihak menswear bahwa sudah saatnya organisasi NU menerapkan secara konsekuen khittah NU di bidang politik, dengan melepaskan diri sama sekali dari keterlibatan pada politik praktis. Tetapi Rois Syuriah PWNU Jatim dan sejumlah kiai berpengaruh di Jatim berpendapat sebaliknya.

Politik Kebangsaan

Tampaknya di masa depan amat sulit untuk mengharapkan bahwa warga (penganut paham keagamaan) NU akan menyalurkan suaranya pada partai yang punya hubungan historis dengan organisasi NU. Kita bisa berkaca pada fenomena Gus Dur. Modal sosial Gus Dur yang begitu besar tampak dari besarnya perhatian saat dan pasca wafatnya Gus Dur, tidak otomatis bisa dikonversi menjadi modal politik. Warga Tionghoa yang mendewakan Gus Dur ternyata tidak memilih PKB tetapi PDIP atau Golkar.

Dengan melepaskan diri sepenuhnya dari politik praktis, NU bisa berperan dalam politik kebangsaan atau politik untuk kemaslahatan umat. NU harus kembali berperan sebagai kekuatan utama masyarakat sipil seperti pada era kepemimpinan Gus Dur (awal sampai medio 1990-an).

Kalau dulu NU dibawah Gus Dur berjuang untuk demokrasi politik, kini NU berjuang untuk demokrasi ekonomi. Kalau dulu melawan Pemerintah yang otoriter, kini NU bisa menjadi mitra pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan sosial. NU harus tetap kritis kepada Pemerintah, tetapi kritik itu tidak harus dibuka kepada publik.

Uraian di atas sejalan dengan butir 2 dari Pedoman Berpolitik Warga NU berbunyi: “Politik bagi NU adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integritas bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama yaitu terwujudnya masyarakat adil dan makmur.”

Selanjutnya organisasi NU harus fokus pada amal usaha sosial, yang paling tidak meliputi pendidikan, kesehatan, dakwah, kegiatan ekonomi, lingkungan, pembinaan generasi muda, kaderdisasi dengan pemihakan terhadap mereka yang dizalimi. NU perlu meneruskan penyebarluasan ajaran Islam rahmatan lil alamin dan tetap harus menjadi pelindung kelompok minoritas. (**)
Read More...

Jateng Setuju Periodisasi Pengurus Dibatasi

Senin, 22 Maret 2010
SEMARANG (Suara Karya): Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah, mendukung wacana pembatasan periodesasi kepengurusan di NU. Masalah ini akan mereka perjuangkan dalam Muktamar ke-32 di Makassar 23-27 Maret.

Menurut Wakil Ketua PWNU Jateng Najahan Musyafak, di Semarang, Jawa Tengah, kemarin, dengan pembatasan periodesasi kepengurusan, maka langkah kaderisasi di organisasi ini akan berjalan lebih. "Kita harapkan, wacana tersebut dapat digolkan dalam Muktamar, dan menjadi AD/ART organisasi," katanya.

Najahan mengemukakan, wacana pembatasan periodesasi adalah untuk jabatan rais am maupun ketua tanfidz di mana hanya dibatasi maksimal dua periode. Dengan adanya aturan seperti itu, organisasi akan berjalan lebih sehat. "Sikap ini juga untuk mendukung usulan sejumlah cabang," ujarnya.

Tapi, ketika ditanya apakah wacana ini dimaksudkan untuk menghalang-halangi seseorang dipilih sebagai rais am, seperti halnya KH Sahal Mahfudz yang sudah menjadi rais am selama dua periode, Najahan menegaskan, tak ada tujuan seperti itu. "Semua ini hanya untuk kemajuan organisasi. Tak ada maksud menghalang-halangi atau menyingkirkan seseorang," ujarnya.

Dia menegaskan, selama ini pihaknya tidak membicarakan person, melainkan sistem. Atas dasar itu, PWNU Jateng juga tak pernah menggiring para pengurus di bawahnya untuk memilih calon tertentu dalam Muktamar nanti.

Menurut dia, siapa pun yang terpilih dalam Muktamar nanti harus dihormati semua pihak. "Perkara beda pendapat wajar. Namun semua harus bisa saling menghargai," ujarnya.

Menjelang muktamar, ucap Najahan, pihaknya sudah melakukaan koordinasi dengan pengurus cabang sebanyak tiga kali. Dari koordinasi itu, juga tidak dimunculkan nama-nama yang diproyeksikan memimpin NU untuk lima tahun ke depan. (Pudyo Saptono)
Read More...

Kiai Sahal: Jangan Tersedot soal Kandidat

SENIN, 22 MARET 2010 | 09:41 WITA | 793 HITS

Muktamar Ke-32 NU Dibuka di Makassar Besok
JAKARTA -- Rais Am PB NU KH Sahal Mahfudz mengingatkan agar perhatian muktamar yang akan dimulai besok (22/3) tidak tersedot pada persoalan kandidat semata. Termasuk soal pencalonan kembali dirinya sebagai rais am, pemimpin Pondok Pesantren Maslakul Huda, Pati, itu belum mau berbicara banyak.

"Yang penting, muktamarnya bisa sukses dulu,? kata Kiai Sahal di sela acara launching buku Keluarga Maslahah Terapan Fikih Sosial Kiai Sahal di Hotel Mulia, Jakarta, Sabtu (20/3). Menurut dia, persoalan kandidat dan semacamnya hanya bagian kecil dari muktamar.

Menurut dia, ada persoalan mendasar di NU yang harus diutamakan. "Yang paling mendasar bagi NU itu apa sekarang" Kalau itu sudah digolkan dalam keputusan muktamar, itu baru sukses,? ujar Kiai Sahal.

Meski demikian, dia tidak mau merinci persoalan di NU yang harus menjadi perhatian di muktamar tersebut. "Intinya, sukses muktamar itu bukan siapa dan siapa," katanya. Sejumlah pihak mendorong agar Kiai Sahal bersedia kembali memimpin NU sebagai rais am.

Jika bersedia dicalonkan, nama Kiai Sahal diperkirakan bersaing ketat dengan Ketua Umum Tanfidziah PB NU saat ini Hasyim Muzadi. Hasyim diperkirakan juga banyak mendapat dukungan untuk menduduki posisi rais am. Nama lain yang juga santer disebut-sebut layak menempati posisi tertinggi di NU itu adalah Wakil Rais Am KH Tholchah Hasan.

Perang Spanduk Bakal Kandidat

Sementara itu, suhu persaingan kandidat ketua umum PB NU sangat terasa di sepanjang perjalanan menuju arena muktamar di Asrama Haji Sudiang, Makassar. Hal tersebut setidaknya terlihat dari spanduk dan baliho yang dipasang pendukung masing-masing kandidat. Atribut itu terpasang di banyak jalur protokol kota asal mantan Wapres Jusuf Kalla tersebut. Terutama mulai dari Bandara Hasanuddin menuju lokasi muktamar.

Beberapa spanduk bakal calon yang cukup mendominasi, antara lain, bergambar KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah), Said Aqil Siradj, dan Slamet Effendy Yusuf. Isi spanduk mereka rata-rata mengucapkan selamat atas pelaksanaan Muktamar Ke-32 NU di Makassar. Namun, gambar para kandidat itu mencolok. "Wah, sudah perang spanduk seperti mau pemilihan kepala daerah saja," kata Munawar, salah seorang peserta muktamar dari Surabaya.

Jika kandidat ketua umum tanfidz menyebar di jalur-jalur protokol, tidak demikian bakal calon rais am. Praktis gambar bakal calon rais am tidak tampak. Tidak terlihat poster Kiai Sahal atau Hasyim Muzadi. Begitu juga poster dari KH Tolchah Hasan yang disebut-sebut bisa menjadi kuda hitam dalam perebutan kursi rais am itu.

Seperti diberitakan sebelumnya, nama Kiai Sahal dan Hasyim bakal bersaing ketat. Kiai Sahal, misalnya, mendapatkan dukungan dari sejumlah rais syuriah. Terutama dari Jawa Tengah dan luar Jawa. Untuk Hasyim, agaknya, barisan utama pendukungnya berasal dari Jawa Timur. Keputusan untuk mengusung nama Hasyim itu juga sudah disepakati dalam muskwerwil di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya. (dyn/hud/jpnn/c6/tof)
Read More...

Jelang Muktamar NU, Hotel di Makassar Penuh


Suriani

(istimewa)

INILAH.COM, Makassar - Menjelang kegiatan muktamar Nahdlatul Ulama (NU) di Makassar, pesanan kamar meningkat. Hal ini membuat para pengelola hotel keteteran melayani permintaan. Pasalnya, semua kamar yang ada sudah dipesan.

Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran (PHRI) Sulsel, Anggiat Sinaga kepadaINILAH.COM mengatakan, hunian hotel yang penuh bukan hanya di hotel bintang, tetapi non-bintang sebanyak 4.235 kamar juga rata-rata sudah terpesan.

"Saat ini bukan hanya kegiatan NU yang digelar di Makassar ada kegiatan lainnya yang skala nasional seperti kegiatan notaris se-Indonesia, Deptan/pertanian, Depkes dan Diknas," ujarnya, Jumat (19/3).

Hunian hotel fully booked di Makassar saat ini bukan berarti menjadi barometer bahwa setiap hari semua kamar hotel sudah penuh di Makassar. Hanya karena secara kebetulan beberapa kegiatan nasional digelar pada periode yang bersamaan.

Anggota panitia penyelanggara muktamar, Mulyadi M.pd saat dihubungi menuturkan, panitia kewalahan mencari hotel dan wisma memadai untuk peserta. Sebab, hampir semua hotel sudah dipesan.

Panitia juga sudah berusaha mencari dengan memesan kamar yang tersisa di beberapa hotel. "Benar-benar kewalahan, saya turun langsung memesan kamar, semua pejabat orang NU mulai dari Sumatera, Kalimantan, Jawa semua meminta saya untuk pesan kamar," jelasnya.

Bahkan, menurutnya hingga hari ini ia belum sanggup memesankan kamar untuk rombongan Gubernur Jawa Timur Syaifullah Yusuf.

Adapun tempat-tempat yang telah dipesan oleh panitia di antaranya asrama haji Sudiang, pondok Madina, pondok Darussalam, hotel Losari Metro seluruh kamar, Makassar Golden Hotel, Clarion, dan wisma-wisma. [bar]

Read More...

PKB di Mata NU Lebih Busuk?


INILAH.COM, Surabaya - DPW Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jatimmencak-mencak menanggapi pernyataan pedas dari Rois Syuriah PWNU Jatim KH Miftachul Akhyar dan Sekretaris PWNU Jatim Mashudi Muchtar.

Pasalnya, para kiai NU kecewa terhadap eksistensi PKB dan diwacanakan akan dilepas dari sayap politik NU saat muktamar NU ke-32 di Makassar, 22-27 Maret 2010 mendatang.

"Melihat pemberitaan media akhir-akhir ini, penting kiranya saya memberi tanggapan atas kemarahan dan kejengkelan Kiai Miftachul Akhyar, KH Mashudi Muchtar, KH Ahmad Bagdja dan KH Mutawakil Alallah. Tanggapan ini saya murni karena desakan dari kiai PKB, aktivis PKB dan warga NU lainnya yang merasa tersinggung dengan statement beliau-beliau itu," kata Ketua DPW PKB Jatim Imam Nahrawi, Jumat (19/3).

Menurut Imam, dia pernah melakukan audiensi dengan PWNU Jatim bersama seluruh anggota Fraksi PKB DPRD Jatim pada 27 Februari 2010 lalu. Ketika itu, dilaporkan semua program PKB, kerja politik anggaran fraksi DPRD Jatim, penyerahan aset PKB kepada NU, pilkada di Jatim dan pengembalian aset gedung Astranawa kepada PWNU yang sekarang dikuasai Choirul Anam yang juga ketua umum DPP PKNU.

Dalam audiensi itu, lanjut dia, dijelaskan bahwa tak ada satupun pengurus PKB yang non-NU di Jatim ini. Tak ada satupun program PKB yang keluar dari lembaga NU, bukan perorangan. Termasuk pondoknya Kiai Miftah dapat bantuan program yang diperjuangkan PKB.

"Tentang pilkada, selagi ada pengajuan calon dari PCNU, maka PKB pasti prioritaskan, seperti di Gresik, Sidoarjo, Kediri, Mojokerto, Banyuwangi, Sumenep dan daerah lainnya. Padahal, semua tahu NU bukan orpol, tapi ormas keagamaan," imbuhnya.

Imam yang saat ini menjadi anggota DPR RI ini menegaskan, pihaknya sepakat untuk menyelesaikan masalah PKB bersama PWNU lewat jalur kekeluargaan dan tidak perlu berpolemik di media massa. Dia merasakan saat ini seakan-akan PKB di mata para kiai NU itu dianggap lebih busuk daripada partai-partai lainnya.

"Mestinya kalau ada masalah, kami siap dipanggil untuk saling tabayyun (klarifikasi). Kita sesama manusia tentu tak ada yang suci dari salah dan masalah. Kita juga tahu pada pemilu 2009, PBNU dan PWNU tak pernah secara formal mendukung PKB, malah suara NU ditransaksikan ke parpol lain. Mengapa sekarang NU seakan-akan memiliki hak penuh atas PKB?" tegasnya.

Untuk diketahui, PWNU Jatim melalui Rois Syuriah KH Miftachul Akhyar menyatakan, watak dan watuknya PKB sudah tidak seperti NU lagi. Nilai-nilai yang diterapkan pun jauh dari nilai NU. Kini partai pimpinan Muhaimin Iskandar itu berjalan sendiri tanpa menghiraukan NU. Visi yang dilakukan pun lebih banyak pada pragmatisme politik daripada untuk kemaslahatan umat.

Pragmastime tersebut ditunjukkan seperti ketika menjelang pemilihan kepala daerah. PKB tidak pernah mengajak komunikasi NU. Siapa calon yang bisa melindungi dan bisa memperjuangkan warga NU.

"Mereka (politisi PKB) sudah menjadi juragan. Hanya dengan memberi bantuan saja, mereka menganggap perjuangan sudah selesai. Seharusnya NU yang mengatur mereka, karena NU-lah yang memiliki saham terbesar sebagai induk PKB," tutur Kiai Miftah beberapa waktu lalu. [beritajatim.com/bar]

Read More...

Berharap Kejutan Makassar

‘Sepinya’ pemberitaan Muktamar ke-32 Nahdlatul Ulama di Makassar, semoga bukan pertanda apatisme publik terhadap organisasi Islam, konon, terbesar di dunia itu. Sebagian menganggap tak seru, sebab Gus Dur tak lagi berada di tengah-tengah muktamar, yang 25 tahun selalu riuh, bahkan nyrempet-nyrempet ricuh.

Saya berharap, NU sepeninggal Gus Dur justru akan lebih mapan, sanggup mengawal dinamika politik Indonesia dan menurun kadar tarik-ulur kepentingan sebagian elitnya.

Yang saya maksud menjadi ‘lebih mapan’ sepeninggal KH Abdurrahman Wahid, tentu bukan karena meremehkan almarhum. Justru sebaliknya, ‘ketidakhadiran’ beliau secara fisik justru membangkitkan ingatan para kiai, bahwa kontroversi yang selama ini sengaja dimunculkan Gus Dur semata-mata merupakan strategi pendewasaan kaum nahdliyyin secara ‘alamiah’.

Tanpa kontroversi, baik kiai, pengurus dan warga NU bisa jadi terlena dengan kebesaran kwantitatifnya, sementara secara kwalitatif tak banyak kontribusinya terhadap ke-Indonesia-an seperti diangankan Gus Dur. Islam yang menjadi rahmat bagi seluruh alam, tanpa membeda-bedakan suku, ras, agama dan keyakinan.

Mungkin banyak yang tidak tahu, bahwa sebagai organisasi keagamaan, NU merupakan satu-satunya organisasi Islam yang tidak terkontaminasi paham khilafah yang diperjuangkan ‘evangelis’ Wahabi. Hingga detik ini dan seterusnya, sikap NU terhadap bentuk negara Indonesia sudah final.

Haram hukumnya bagi warga NU, memberontak sebuah pemerintahan yang menjamin umat Islam menjalankan syariat agamanya, yakni rukun Islam yang lima. Selebihnya, termasuk di dalamnya hukum tata negara, hanya merupakan alat, siasat. Mungkin, itu yang dimaksud dengan pengertian fiqh siyasah.

Ketika menginisiasi berdirinya Partai Kebangkitan Bangsa, dugaan saya, itu semata-mata sebagai bentuk kanalisasi atas tingginya hasrat (ghiroh) politik warganya. Tanpa penyaluran yang benar, mustahil bisa diperoleh hasil yang besar, terutama menjadikan Indonesia Raya yang tenar, yang diperhitungkan perannya oleh negara-negara besar.

Yakin hasrat politik belum sebanding dengan kedewasaan bernegara, Gus Dur mengambil risiko besar. Membentuk struktur organisasi dengan dewan syuro sebagai posisi tertinggi yang diketuainya sendiri, sekilas tampak feodal, otoriter dan antidemokrasi. Saya yakin, Gus Dur sangat paham itu. Apalagi, di kemudian hari terbukti, PKB tak punya bargaining position yang berarti setelah perannya sebagai pemimpin tertinggi dilucuti secara sistematis lewat konspirasi tingkat tinggi.

Bahwa Gus Dur ingin selalu bisa mengontrol PKB, menurut saya, YA! Dalam angan idealnya, PKB ‘hanya’ merupakan alat untuk memperjuangkan kepentingan NU. Dan, kepentingan NU menurut Gus Dur, ya NU yang bukan sebatas jumlah warganya semata, namun lebih dari itu NU dalam konteks mengawal NKRI, yang terdiri bukan cuma segolongan saja. Bagi NU, terlalu banyak umat Kristen yang turut memanggul senjata memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, sehingga anak-cucu mereka berhak menuai perjuangan leluhurnya. Begitu pula kaum peranakan Cina, India, Arab, bahkan orang Belanda seperti Douwes Dekker alias Multatuli.

Islam bagi NU dan Gus Dur bukanlah yang mau menang-menangan dan merasa sebagai satu-satunya pemilik sah sebuah negara bernama Indonesia. Kata ‘Kristen’ tak bisa dipersepsikan sebagai ‘budaya’ penjajah. Sama halnya ketika warga peranakan Cina yang diberi tempat istimewa oleh Belanda demi memecah belah bangsa lantas dicap sebagai ‘antek’ mereka, sehingga harus dimusuhi.

Memang, pada tataran persepsi terhadap negara, bagi NU sudah selesai. Yang menjadi soal justru ketika sebagian elit NU melibatkan diri dalam kancah politik tanpa ketegasan sikap, maka yang dirugikan adalah umat. Politisi berlatar nahdliyyin yang tersebar di semua partai masih enggan tulus berkhidmad. Yang di PKB ingin menyeret NU ke PKB, begitu pula yang berada di Partai Golkar, PPP, dan partai-partai lainnya.

Mereka berharap NU membesarkan partai-partai mereka, bukan sebaliknya, bagaimana dari dalam partai-partai itu, mereka menyuarakan politik keumatan, sambil membesarkan NU dengan cara membiarkannya tetap netral, berdiri di atas semua golongan.

Satu pertanyaan saja yang perlu dijawab dengan sikap dan tindakan oleh para peserta muktamar: sanggupkah mereka memilih pimpinan NU yang bisa dimiliki pula oleh umat dari berbagai agama dan etnis seperti halnya ditunjukkan mereka terhadap Gus Dur?

Sejatinya, saya berharap pada KH A. Mustofa Bisri bersedia dicalonkan sebagai Ketua Tanfidziah NU, dengan KH A. Sahal Mahfudz sebagai pemimpin tertinggi syuriah. Terbukti, beliau belum pernah terkotori oleh noda-noda politik, dan memiliki moralitas yang sangat baik, seperti ditunjukkan keengganannya dicalonkan (apalagi mencalonkan diri) menjadi Ketua Tanfidziah atau Ketua Umum PBNU, setidaknya yang saya ikuti sejak Muktamar Lirboyo pada 1999.

Dengan dipimpin kiai tanpa noda politik, NU akan mampu menjaga jarak yang sama terhadap semua partai politik, kekuasaan, juga semua golongan. Dalam keyakinan saya, mungkin kali ini Gus Mus akan kersa, ketika figur perekat antarakiai nyaris tinggal sedikit jumlahnya, dan masa depan Indonesia sudah di ambang bahaya, ketika gerakan-gerakan khilafah terus menjamur di seluruh penjuru Indonesia.

Sejatinya, keyakinan saya juga dilatari curiga. Bukan tak mungkin, kunjungan Gus Dur ke kediaman Gus Mus, beberapa hari menjelang wafatnya, telah menitipkan pesan atau wasiat kepada Kiai Mustofa Bisri. Sebuah pesan, agar beliau bersedia ‘turun gunung’ untuk memimpin NU, untuk mewujudkan cita-cita ke-Indonesia-an yang digagas para pendirinya, dan telah lama diperjuangkan Gus Dur, setidaknya dalam tiga dasawarsa terakhir.

Semoga, ada kejutan dari Makassar, demi Indonesia Raya yang bhinneka.

Read More...

NU dalam Telikung Kekuasaan

Rahmad M.arsyad
| 22 Maret 2010 | 07:30
24
0
Belum ada nilai.

Tinggal menghitung jam untuk menyaksikan perhelatan akbar warga Nahdatul Ulama seluruh Indonesia di Kota Makassar. Berbagai persiapan telah digelar, beberapa tokoh penting NU juga sudah berdatangan, para petinggi politik seperti ketua DPR RI dan beberapa elit politik lainya dikabarkan sudah tiba di Kota Angin Mamiri, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudohoyono juga sudah dijadwalkan membuka muktamar organisasi Islam terbesar di Indonesia ini.

Di balik gegap gempitanya kondisi jelang Muktamar NU, berbagai wacana seputar agenda dan capaian muktamar mulai ramai didiskusikan. Mulai dari persoalan kontribusi NU dalam pemberdayaaan keumatan, kaderisasi, hingga regenerasi kepemimpinan NU di masa kini. Menyangkut hal yang terakhir yakni regenerasi kepemimpinan NU menjadi hal yang selalu saja menarik untuk dikaji karena Nahdatul Ulama sebagai sebuah organisasi massa islam yang besar menjadi ruang strategis bagi kepentingan politik dan kekuasaan.

Tak dapat dipungkiri pula, bahwa selama ini NU senantiasa terjebak pada poros kekuasaan. Walaupun hal ini terus dibantah oleh para elit NU dengan mengembalikan NU sesuai khittah 1926 yaitu jauh dari ruang politik praktis kekuasaan. Namun, seperti yang diungkapkan oleh Fredric Jameson, “Di dalam negara dunia ketiga para intelektual selalu saja merupakan intelektual politis”. Bahwa kesadaran NU sebagai sebuah organisasi massa yang memiliki basis pendukung tradisional pesantren hingga mereka para lulusan universitas luar negeri menjadi sebuah kekuatan potensial tersendiri. Apalagi NU adalah organisasi yang cenderung terbuka dan mampu melakukan transformasi dan dinamisasi kadernya.

Melihat dinamisasi yang terjadi ditubuh NU dan corak kebangkitan intelektual muda di dalam organisasi tersebut telah melahirkan rasa optimisme tersendiri bagi sebahagian kalangan. Namun juga ikut menghawatirkan ketika NU justru terlalu asyik masuk ke dalam dunia politik praktis dalam melupakan tangung jawab keumatan dan dakwah yang menjadi arah dan perjuangan Nahdatul Ulama dengan basis pesantrennya.

Mayoritas dengan Prilaku Minoritas

Yudi Latif dalam disertasinya yang berjudul “Intelegensia Muslim” dan kuasa mengutip W.F.Wertheim tentang politisasi simbol Islam sebagai sindrom mayoritas dengan mental minoritas. Mayoritas orang indonesia menganut agama Islam. Dari sudut pandang kuantitatif, Indonesia bisa diangap sebagai negara Islam terbesar di dunia. Namun sikap mental dari umat Islam di negeri tersebut menunjukan sikap-sikap yang khas dari sebuah kelompok minoritas. Hal ini terutama disebabkan oleh fakta bahwa dalam medan politik, sepanjang sejarah abad-abad yang lalu, para wakil umat Islam secara konsisten lebih diposisikan orang luar.

Dengan mengunakan logika yang sama, kita dapat melihat NU sebagai sebuah Representasi dari kekuatan politik yang besar dan sterategis selama ini lebih sering dipolitisasi oleh sejumlah kalangan ketimbang memberikan sikap politiknya yang jelas. Hal ini tampak ketika beberapa hari yang lalu salah seorang Calon Ketua Nahdatul Ulama mengelar jumpa persnya yang terkesan datang meminta dukungan kepada Presiden SBY. Politisasi seperti inilah yang kadang membuat NU cenderung mengikuti arus kekuasaan dan tidak berani bersikap dalam menentukan pilihan politiknya sendiri. Mental minoritas selalu saja menjadikan NU dan kader-kadernya terkesan lebih senang untuk ikut pada pusaran kekuasaan dari pada tampil menjadi pengendali dari kekuasaan itu sendiri.

Memilih jauh dari arus politik secara organisasional juga tidak banyak memberikan pengaruh yang besar bagi NU, karena toh kader-kader NU dengan kesadaran intelektual dan politiknya mesti tetap terlibat,sebagai tangung jawab sosial yang dimiliki. Paradigma pesantren yang selama ini menjadi identitas dan penanda sosial dari NU adalah hal yang besifat permukaan yang oleh Roland Barthes diungkapkan sebagai denotasi.

Ada hal yang cenderung tersebunyi di balik penanda yakni konotasi yaitu petanda. Pada level konotasi NU sebaiknya tidak lagi membendung kesadaran politik generasi dan tangung jawab sejarah yang mesti diambil dengan semakin carut-marutnya dimensi politik negeri ini. Fakta bahwa Islam lebih dari sekedar sebagai agama formal tapi juga risalah bagi transformasi sosial juga mesti dilihat sebagai sebuah hal yang esensial. Membumikan ajaran Islam yang mulia tidak hanya cukup dengan membangun gerakan kultural ataupun ibadah namun Islam juga mesti mempengaruhi polarisasi kekuatan sosial politik.

Pertarungan Mustadaafin dan Mustakbirin

Dengan beragam fenomena sosial yang terjadi sebagai buah dari kebijakan politik yang menguasai kepemimpinan negeri ini, begitu menyedihkan jika NU sekedar kembalimerumuskan perbaikan jalan menuju pesantren. Islam sebagai sebuah agama yang berbasis tauhid yang direfleksikan sebagai kesadaran religiusitas yang paling agung adalah perwujudan visi kerakyatan tanpa kelas.

Apakah para ulama tidak tercederai rasa keadilannya ketika sejumlah orang tertentu mendapatkan dana yang berlipat atas nama negara, sementara ada bayi yang mesti menemui ajalnya karena orang tuanya tidak dapat membayar ongkos rumah sakit. Apakah umat ini akan menjadi rahib ketika korupsi dan prilaku kolutif dipertontonkan di depan mata oleh para aparat kepolisian yang membuka boroknya masing-masing, ataukah kita sebagai umat islam semakin buta dengan fenomena penjarahan alam negeri ini oleh perusahaan-perusahaan tambang multinasional dengan berbagai paket neolibralismenya.

Sudah masanya NU sebagai sebuah wajah islam mesti kembali pada khittah Islam itu sendiri. Khittah pertarungan antara mustadafin dan kaum mustakbirin yang kini berada di pentas kekuasaan negeri ini. Tentunya bukan atas nama pemaksaan agama seperti prilaku para teroris namun atas nama kaum miskin yang dijarah rasa keadilannya. Para ulama dan intelektual muslim di Nahdatul Ulama mesti mengambil peran politik yang dikusai oleh para mustakbirin yang mengelola Negeri Islam ini.

Bukankah Allah berfirman didalam Al-Quraan surah al-Qashas 28;5; Dan kami hendak memberikan karunia bagi orang-orang yang tertindas di bumi itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi bumi.

Dari perintah Tuhan tersebut, amat disayangkan jika ulama dan para cendekiawan yang berada dibawah payung NU justru menjadi pendukung utama kemapanan penguasa yang eksploitatif dan senantiasa menjadi pengabdi yang taat.

Semoga…

Read More...

Perang' Baliho di Arena Muktamar NU

Suriani

INILAH.COM, Makassar - Jelang Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-32 di Makassar, sejumlah baliho dan spanduk dari para calon ketua umum mulai terpasang di area Muktamar. Dari tujuh nama calon, tiga di antaranya sudah memasang baliho dan spanduknya.

Pantauan INILAH.COM, Minggu (21/3), di Asrama Haji Sudiang, tiga nama itu adalah Slamet Effendy Yusuf, Said Agil Siraj, serta dan adik kandung Gus Dur, KH Salahuddin Wahid.

Baliho maupun spanduk yang terpasang, bermacam-macam tulisan dan gambar di dalamnya. Lengkap dengan ucapan dari pendukungnya. Ada pula dengan gambar dan tulisan seragam.

Slamet Effendy misalnya, dari pintu gerbang menuju Asrama Haji, terlihat spanduknya berukuran seragam dengan jumlah tak kurang dari selusin.

Balihonya lebih sedikit dengan tulisan 'Kongkritkan Amal NU' dan tulisan 'Mari jadikan NU lebih besar, berwibawa dan bermartabat' juga terpampang pada spanduk berukuran 0,5x4 meter itu.

Selain itu, ada juga sembilan baliho bergambar Said Agil Siraj yang baru terpasang petang tadi. Salah satu baliho sepanjang 5x3 meter terpasang gambar besar dirinya dengan tulisan kecil 'Dari Pesantren Untuk Indonesia'.

Sementara Gus Sholah, sapaan akrab KH Salahudin Wahid, memiliki paling banyak spanduk dan baliho di antara calon lainnya. Dari gerbang jalan menuju Asrama Haji, ada 30 spanduk dengan ukuran 1x6 meter, dengan berbagai tulisan lengkap dengan kiyai pendukungnya.

Di dalam salah satu spanduknya, seorang kiai bernama Mbah Liem berkata 'Gus Sholah cocok, cucunya pendiri NU, lurus-tembus dengan Mbah Hasyim'. Di pojok kirinya ada gambar KH Salahudin Wahid dan di pojok kanan foto Mbah Liem. [mut]

Read More...

Ulama NU Ngumpul di Baji Bicara Makassar

Laporan: Adin Syekhudin. tribuntimurcom@yahoo.com
SENIN, 22 MARET 2010 | 10:55 WITA

MAKASSAR, TRIBUN-TIMUR.COM - Kiai Peserta Muktamar NU berkumpul di rumah Puang Makka di Jalan Baji Bicara Makassar Senin (21/3/2010).

Pertemuan ulama thariqoh tersebut untuk melakukan tabayyun (klarifikasi) terkait pernyataan Thariqoh Syekh Habib Puthfi Bin Yahya di media yang menyatakan ulama thariqoh akan menarik diri dari NU jika Hasyim Muzadi menjadi Rais AM Lembaga Syura.

Menurut Puang Makka, lembaga syura adalah nyawanya NU. "NU hanya gelas kosong tanpa ulama thariqoh," katanya.(*)

Read More...

Muktamar NU: Pertarungan Kubu Ulama dan Politisi

Jakarta (SIB)
Muktamar NU akan digelar mulai hari ini hingga 27 Maret 2010 di Makassar. Ada dua kubu besar yang akan bertarung memperebutkan posisi strategis di organisasi sosial kemasyarakatan terbesar di Indonesia itu. Dua kelompok itu adalah kelompok ulama dan politisi.
“Ada pertarungan dua kelompok. Yang satu politisi dan yang satu lainnya kelompok idealis yang betul-betul ulama, bukan politisi,” kata Ketua DPP PKB Marwan Ja’far usai peluncuran bukunya yang berjudul ‘Ahlussunnah Wal Jama’ah’ di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (19/3).
Dalam pandangan Marwan, dua kelompok ini yang akan memperebutan posisi tanfidizyah dan syuriah PBNU periode 2010-2015 mendatang. Sayangnya, Marwan tidak menyebut secara pasti dan detail siapa-siapa yang disebut kelompok ulama dan kelompok politisi.
“NU sebaiknya dipimpin oleh ulama bukan politisi. Karakter politisi dikhawatirkan akan meruntuhkan NU. Ini pertaruhan bagi NU. Kalau memang dipimpin politisi bukan ulama, ya tunggu saatnya untuk hancur,” jelas Marwan.
Marwan melihat pertarungan kedua kelompok ini kian memanas. Karena itu, ketua FPKB DPR ini berharap kader NU jernih melihat persoalan ini dan berani membuat pilihan dalam Muktamar NU yang lebih mementingkan maslahat bagi NU.
“Semoga para muktamirin berpikir jernih. Kalau kelompok politisi yang menang, NU akan mengalami degradasi,” pungkas Marwan.
Didukung 50 Persen Lebih Cabang, Said Aqil Siap Pimpin PBNU
Kesiapan Said Aqil Siradj memimpin organisasi massa Islam terbesar di Indonesia, PBNU, tidak diragukan lagi. Dengan bekal dukungan 50 persen lebih pengurus PCNU dan PWNU, Said berjanji akan mengawal NU dari bermain politik praktis.
“Insyaallah semampu saya, saya siap (memimpin). Insyaallah (dukungan) sudah 50 persen lebih. Komitmen saya, akan membersihkan NU dari bermain politik praktis,” kata Said kepada detikcom, Jumat (19/3).
Menurut mantan orang dekat Gus Dur ini, jika peserta muktamar mempercayai dirinya mengemban amanat kepengurusan PBNU 5 tahun mendatang, program utama yang akan digarap adalah soal pendidikan. Selain itu, Said akan kembali menghidupkan spirit NU yang berpihak kepada kaum lemah sebagaimana saat PBNU dipimpin Gus Dur.
“Karena NU ini kepanjangan tangan dari visi-misi pesantren, maka pendidikan akan menjadi program utama kami selain soal sosial kemasyarakatan. Kami juga akan melanjutkan kerja Gus Dur yang menjadikan NU sebagai wadah yang memperjuangan kelompok tertindas dan minoritas,” terang Doktor lulusan Arab Saudi ini.
Saat ditanya soal siapa yang akan didukung sebagai Rais Am PBNU jika terpilih sebagai ketua PBNU, Said dengan tegas tidak mau ikut campur soal urusan Rais Am. Dia siap disandingkan dengan siapa pun yang terpilih.
“Saya tidak mau ikut campur soal Rais Am. Itu ada wilayahnya sendiri. Yang pasti, saya siap dengan siapa pun yang disetujui dan dipilih oleh muktamirin,” terang Said.
Sementara itu, salah satu pendukung Said, Dedi Wahidi menilai sosok Said yang paling pas memimpin NU 5 tahun mendatang. Alasannya, selain memiliki track record ke-NU-an dan kapasitasnya dalam ilmu agama, Said juga pernah bersama-sama Gus Dur melakukan gerakan sosial pada saat Gus Dur menjadi ketua umum PBNU.
“Kita memilih Pak Said karena beliau yang paling pas dan layak dibanding calon lain. Beliau bisa ngaji, NU nya jelas dan penerus perjunagan Gus Dur,” kata Ketua PWNU Jawa Barat ini.
Demo Penolakan Hasyim Muzadi Sebagai Rais Aam Dianggap Tak Etis
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi didemo sejumlah massa yang menolak pencalonannya sebagai Rais Am. Namun, demo itu dianggap tidak etis, apalagi yang bersangkutan belum secara resmi mencalonkan diri sebagai Rais Am pada muktamar mendatang.
“Adalah tidak etis menghadang seseorang atau ulama yang akan dicalonkan oleh muktamirin sebagai Rais Aam pada periode mendatang pada Muktamar NU di Makassar. Lagi pula, Pak Hasyim sampai sekarang secara resmi atau tak resmi belum pernah mengumumkan untuk mencalonkan diri sebagai Rais Aam,” kata H Masduki Baidlowi, mantan Wakil Sekjen PBNU periode 1999-2004 kepada wartawan di Jakarta, Jum’at (19/3).
Menurut Baidlowi, tak ada satu pun pemberitaan di media massa yang menyatakan Hasyim mencalonkan diri sebagai Rais Aam.
Diakui Baidlowi, mencalonkan atau tidak adalah hak seseorang atu individu yang dijamin negara. Selain itu, walau tidak mencalonkan diri, banyak kalangan pengurus syuriyah di Jawa dan luar Jawa yang ingin mencalonkan Hasyim Muzadi sebagai Rais Aam. Alasannya, sebagai Ketum PBNU, Hasyim telah bekerja keras untuk membangun organisasi NU yang kuat dan upaya nyata lainnya.
“Kondisi inilah yang dikhawatirkan sejumlah pihak yang apabila Pak Hasyim terpilih, hidden agendanya akan terhadang. Makanya, kelompok ini akan berupaya keras menghadang Pak Hasyim dengan berbagai cara, termasuk dengan demo-demo,” tegasnya.
Baidlowi mengatakan, dalam konteks saat ini dan tantangan di era global, tentunya kriteria seorang Rais Aam tidak sama dengan dulu. Dimana di masa lalu muncul Rais Aam sekaliber KH Hasyim Asy’ari, Mbah Wahab dan KH Cholil Bisri.
“Oleh karena itu kepemimpinan di tingkat syuriyah dan musytasyar harus bersifat koligial di bawah seorang Rais Aam yang punya kemampuan menejerial yang kuat di samping harus punya hubungan-hubungan internasional yang kuat pula,” ujarnya.
Ditegaskan kembali Baidlowi, di balik aksi demo siang tadi di PBNU jelas menunjukan adanya pihak eksternal yang bermain. “Mereka sengaja memancing di air keruh, karena ingin memasang jago-jagonya di pengurus PBNU yang akan datang. Tujuannya jelas, untuk kepentingan partai-partai politik atau lembaganya agar NU tidak kuat, tidak solid, gampang disetir dan diobok-obok,” pungkasnya.
IPNU Tolak Pencalonan Hasyim Sebagai Rais Am
Pencalonan KH Hasyim Muzadi sebagai Rais Am NU mendapat penolakan. Selama menjadi Ketua Umum PBNU, Hasyim dinilai membawa NU dalam politik praktis.
Penolakan atas Hasyim dilakukan belasan pelajar Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dengan berdemo di PBNU, Jl Kramat Raya, Jakarta, Jumat (19/3).
Para pelajar itu mengenakan baju koko putih. Mereka berusaha masuk ke dalam halaman Gedung PBNU, namun dihalau satpam. Akhirnya para pelajar itu menggelar demo di depan gerbang jalan PBNU. Mereka membawa bendera NU dan bendera IPNU.
Koordinator demo Anas Syarifudin menyatakan, Hasyim telah membawa NU masuk ke dalam politik praktis. Hal ini menurunkan kepercayaan dari warganya. “Kami dari kaum muda minta agar Hasyim tidak dicalonkan lagi,” kata Anas.
Anas menyatakan, keterlibatan NU dalam politik praktis merupakan sandungan dan pengingkaran dari muktamar NU pada tahun 1984. “Agenda muktamar tidak layak dicampuri politik,” katanya.
Himpunan Profesional Muda NU Dukung Gus Sholah
Menjelang Muktamar Nahdlatul Ulama (NU), banyak elemen masyarakat yang saling memberikan dukungan kepada kandidat Ketua Umum PBNU.
Seperti kelompok dari Himpunan Profesional Muda NU (HPMNU) yang memberikan support ke Gus Sholah, salah satu kandidat Ketua Tanfidz PBNU.
Koordinator HPMNU Pusat, Ipung S Bahri mengatakan, meskipun tidak memiliki suara dalam muktamar NU di Makassar, pihaknya mendukung Pengasuh Pondok Pesantren (ponpes) Tebu Ireng Jombang itu untuk menjadi Ketua Tanfidz PBNU. Alasannya, Gus Sholah dinilai bisa merangkul semua kelompok masyarakat.
“Selain dari keturunan pendiri NU hadratus syaikh KH Hasyim Asyari, Gus Sholah juga figur yang tepat untuk memimpin NU. Beliau bisa diterima semua kalangan, mulai dari kelompok merah, hijau, putih biru dan kelompk lainnya, bisa dengan Gus Sholah,” kata Ipung saat bincang-bincang dengan detikcom melalui telepon, Sabtu (20/3).
Ipung mengatakan, HPMNU merupakan lembaga nonstruktural organisasi NU. Namun, kiprah profesional muda yang terdiri dari pengacara, jurnalis, tokoh pemuda hingga pengusaha itu, tidak diragukan lagi dalam berjuang membesarkan organisasi kaum nahdhiyin dari luar struktur organisasi, sejak zaman kepemimpinan Gus Dur di PBNU.
“Gus Sholah sudah paham tentang ‘jeroan’ NU. Kami yakni Gus Sholah mampu membawa NU ke arah yang lebih baik demi kemaslahatan umat,” jelasnya.
Sementara itu, Gus Sholah mengaku senang dan menghargai semua elemen masyarakat yang memberikan dukungannya dalam Muktamar NU di Makassar yang akan berlangsung beberapa hari lagi.
“Walaupun mereka tidak mempunyai suara di muktamar, saya senang kalau ada orang-orang baik warga NU yang mau bergabung. Kita akan menerimanya. Dan saya mengucapkan terima kasih atas dukungannya,” kata Gus Sholah.
Said Aqil: Kebesaran NU Terwujud Kalau Tidak Berpolitik Praktis
Tekad calon ketua umum PBNU Said Aqil Siradj untuk menjaga jarak dengan politik praktis tidak diragukan lagi. Sebab, sejarah keemasan NU selalu terjadi ketika NU bisa menjaga jarak dengan politik praktis sebagaimana pada masa Gus Dur.
“Kebesaran NU itu kalau NU sudah tidak berpolitik praktis. Kalau NU terjun ke politik praktis, kesannya NU hanya akan menjadi barang dagangan,” kata Said.
Atas dasar itulah, jika muktamirin mempercayakan amanat PBNU 5 tahun mendatang kepada Said, dia berjanji akan bersikap keras mengawal NU dari dukung mendukung pilpres atau pilkada. Hal ini untuk mununjukkan komitmennya agar kebesaran dan masa keemasan NU bisa kembali diraih.
“Kalau saya diberi amanat dan jadi, Insya Allah NU akan jauh dari dukung mendukung capres atau cabup NU akan tetap konsisten di garis organisasi sosial kemasyarakatan. Kalau semua berpolitik, siapa yang menjadi pemersatu bangsa ini,” paparnya.
Terkait visi misinya jika terpilih menjadi ketua umum PBNU, Said dengan tegas akan melanjutkan semangat pendidikan pesantren yang dibalut dengan pendidikan profesional. Selain itu, PBNU akan bersama dengan semua kekuatan untuk mewujudkan Indonesia yang bebas dari kemiskinan dan terorisme.
Saat ditanya soal dukungan yang sudah diperolehnya, Said kembali berkilah,”Insya Allah ada dari Jabar, Banten, Jateng, DIY, Jatim, Lampung dan seterusnya. Insya Allah-lah, kita optimis, meski semua pada akhirnya kita serahkan kepada Allah SWT,” jawabnya.
Sementara itu, tim sukses Said, Adenan Anwar menilai ada 3 kekuatan Said yang tidak dimiliki oleh kandidat lain. 3 hal itu adalah kemampuan intelektual yang berbasis tradisi, pengalaman menjadi pengurus NU dan pernah bersama-sama Gus Dur terjun langsung ke lapangan untuk membela kelompok tertindas dan terpinggirkan.
“Pak Said tidak diragukan lagi tradisi keilmuannya, khususnya yang terkait tradisi NU. Beliau profesor lulusan Ummul Quro. Kedua, beliau telah dilirik Gus Dur saat kuliah di Arab. Setelah pulang, langsung dipercaya menjadi Katib Am dari hasil muktamar Cipasung,” paparnya.
“Ketiga beliau pernah bersama-sama Gus Dur terjun langsung menjadi anggota tim dalam kasus kerusuhan Banyuwangi, Sambas, Malino dan lainnya. Ini bukti beliau bisa bekerja praksis,” imbuhnya.
HASYIM MUZADI TEGASKAN NU ANUT POLITIK KEBANGSAAN
Ketua Umum PBNU KHA Hasyim Muzadi menegaskan bahwa NU menganut politik kebangsaan, karena itu isu “sterilisasi” NU dari politik menjelang muktamar patut diwaspadai.
“NU sudah jelas menganut politik kebangsaan, keumatan dan keagamaan, bukan politik kekuasaan,” katanya dalam surat elektronik yang diterima ANTARA di Surabaya, Sabtu.
Oleh karena itu, kata pengasuh Pesantren Mahasiswa Al Hikam Malang itu, munculnya isu NU bebas politik atau sterilisasi NU dari politik itu patut diwaspadai terkait kepentingan di balik isu tersebut.
“Para calon ketua umum PBNU hendaknya berhati-hati menggunakan isu itu, karena setidaknya ada tiga kepentingan terkait isu, mulai dari kepentingan yang murni hingga kepentingan yang merugikan NU,” katanya.
Tiga kepentingan di balik itu adalah mereka yang ihlas berbakti pada NU melalui “mabadi khoiro ummah” (civil society), serta mereka yang sudah mempunyai parpol dan tak ingin kehilangan suara dari NU.
Kepentingan lainnya, mereka yang ingin memotong jalur aspiratif nilai agama dengan pemerintahan atau negara.
“Kelompok dengan kepentingan pertama (mabadi khoiro ummah/masyarakat sipil) itu bagus, tapi kelompok dengan kepentingan kedua bersifat deparpolisasi NU justru para politikus untuk tujuan politis,” katanya.
Sementara itu, kelompok ketiga dengan kepentingan memisahkan agama dengan negara itu justru menargetkan sekulerisasi negara.
“Kelompok ketiga itu sering meneriakkan bubarkan Depag, bubarkan MUI, NU tak perlu membuat kompilasi hukum Islam, hilangkan bahsul masail, hapus fatwa, dan tiadakan tausiah,” katanya.
Menurut dia, kepentingan dari kelompok ketiga yang merujuk pada liberalisasi agama itu melarang agama menyentuh negara dan sebaliknya seperti terjadi di Amerika dan Eropa, sehingga agama mayoritas seperti Kristen dan Katolik pun dirusak olehnya.
“Itu bertentangan dengan ideologi Negara Pancasila yang bukan negara agama dan bukan negara sekuler, sedangkan NU sudah menganut politik kebangsaan, keumatan, dan keagamaan, bukan politik kekuasaan,” katanya.
Oleh karena itu, katanya, NU sudah lama mengembangkan pemikiran moderat dan menyumbangkan sejumlah nilai-nilai agama untuk bangsa dan negara tanpa mengganggu agama lain dan bahkan mempersatukannya.
“Dengan pemikiran dan sumbangan itu, Indonesia tetap menjadi Nagara Pancasila, bukan negara agama dan bukan negara sekuler,” katanya.
Ia menambahkan NU dalam kaitan politik praktis mengatur tidak boleh ada rangkap jabatan antara NU dengan parpol serta tidak menafikan hak politik warga negara.
“Kalau ingin tahu NU, bacalah ketentuan dalam NU sebaik mungkin,” katanya.
Jelang Muktamar NU, SBY Ajak KH Said Aqil Sarapan di Cikeas
Ternyata tidak hanya Gus Sholah (KH Sholahudin Wahid) yang bertemu SBY menjelang pembukaan Muktamar NU di Makasar. SBY malah secara khusus mengundang calon Ketua PBNU KH Said Aqil Siradj untuk sarapan pagi bersama di Cikeas.
“Jumat sore, saya mendapat telepon dari seseorang yang meminta saya datang ke Cikeas. Pagi (Sabtu) sekitar pukul 6.30 WIB saya diminta datang (ke Cikeas) dan saya memenuhi undangan itu,” kata Said.
Menurut guru besar UIN Jakarta ini, pertemuannya dengan SBY tidak terkait dengan dukung-mendukung dalam Muktamar NU. Sarapan bareng ini untuk berdiskusi soal politik kebangsaan dan peran strategis NU ke depan pasca muktamar di Makassar. Said mengaku kenal SBY sudah sangat lama, sejak SBY masih aktif di TNI
“Saya kenal dengan Pak SBY sudah lama, sejak beliau di Mabes TNI, saat menjadi Kaster. Ketika era Presiden Gus Dur, kami juga sempat bersama meski tidak lama. Jadi pertemuan kami dengan beliau hanya kangen-kangenan. Karena dalam suasana santai sambil sarapan pagi,” paparnya.
Said yang pernah menjadi Katib Am di PBNU era Gus Dur menjelaskan, diskusi dengan SBY dalam pertemuan pagi tadi untuk mencari titik temu antara NU dan negara. Butuh kerja sama berbagai elemen untuk menjawab tantangan bangsa.
“Beliau mengatakan kontribusi NU pada bangsa ini tidak perlu diragukan lagi. Karena itu, komitmen NU untuk selalu menjaga NKRI, demokrasi dan pluralisme dalam bingkai Bhinneka Tunggal Eka harus selalu dijaga. Dan yang paling banyak berbicara soal ini sampeyan Pak Kiai. Jadi saya cukup paham dengan pemikiran sampeyan,” terang Said.
SBY juga berharap, peran internasional NU juga bisa membawa nama Indonesia. NU adalah organisasi Islam terbesar di Indonesia yang mengedepankan sikap inklusif dan toleran. Isu pendidikan, ekonomi dan pemberantasan terorisme juga ikut dibahas dalam sarapan pagi dengan SBY.
Secara umum, Said dan SBY sepakat NU bergandengan tangan dengan pemerintah dalam meningkatkan pendidikan dan ekonomi rakyat. Apalagi, mayoritas rakyat Indonesia yang butuh peningkatan pendidikan dan kesejahteraan ekonomi itu adalah warga Nahdliyin.
“Karena mayoritas rakyat Indonesia ini Nahdliyin, kerjasama untuk meningkatkan kesejahteraan melalui pendidikan dan ekonomi harus dilakukan. Tanpa saling mengintervensi, tapi bersinergi,” terangnya.
Apakah ada dukungan SBY untuk Said menjelang Muktamar NU? Said menjawab diplomatis. “Kita tidak bicara dukung-mendukung. Kita berdiskusi santai karena lama tidak bertemu, selain dalam acara formal saat saya menjadi penceramah. Intinya kita hanya berdiskusi dan tidak ada intervensi apapun,” pungkasnya.
Gus Sholah Juga Diterima SBY
Menjelang pembukaan Muktamar NU pada 23 Maret mendatang, calon ketua umum PBNU KH Sholahudin Wahid juga diterima Presiden SBY di Kediamannya di Cikeas, Jumat (19/3) malam. SBY berharap NU bisa bekerja sama dengan pemerintah untuk mensukseskan program-program kerakyatan.
“Saya tadi sudah bersilaturahim dengan Presiden SBY di Cikeas. Saya mengucapkan terima kasih atas nama keluarga Tebuireng dan Gus Dur atas perhatian pemerintah dan Presiden SBY atas perhatiannya kepada Gus Dur baik selama sakit maupun setelah wafat,” kata Gus Sholah.
Dalam pertemuan tersebut, Gus Sholah juga mengakui adanya pembicaraan soal muktamar NU. Namun pembicaraan soal muktamar tidak sampai pada soal dukung mendukung. Termasuk adanya dukungan kepada Gus Sholah sendiri.
“Memang setelah itu, kami bersama presiden berbicara soal muktamar NU. Kami sepakat NU ke depan bisa bersama-sama pemerintah untuk melakukan tugas-tugas pendidikan, kesehatan, peningkatan kesejahteraan rakyat dan menangkal gerakan radikalisasi Islam,” papar Gus Sholah.
“Namun memang di sana tidak dibicarakan soal dukung mendukung. Karena pertemuannya memang silaturahim yang sudah dijadwalkan sejak lama.” papar adik kandung Gus Dur ini.
Saat ditaanya apa ada pesan SBY dalam pertemuan tersebut, Gus Sholah kembali membantah adanya pembicaraan soal dukungan. “Kalau soal dukungan, yang pasti saya didukung oleh para kiai dan pengurus Cabang dan Wilayah NU. Ya Insya Allah bisa lolos lah untuk maju ke tahap pencalonan,” pungkasnya.
Kiai Ma’ruf: Pihak Luar Jangan Acak-acak NU
Rois Syuriah PB Nahdlatul Ulama (NU) KH Ma’ruf Amin mengingatkan pihak luar tidak mengacak-acak NU. Dia meminta, NU mandiri menyelesaikan masalah internalnya dalam muktamar pekan depan.
“Biarlah NU menyelesaikan masalah internalnya sendiri, jangan kemudian pihak luar tiba-tiba masuk dan mengacak-acak NU,” kata Kiai Ma’ruf Amin dalam rilis yang diterima detikcom, Jum’at (19/3).
Kiai Ma’ruf menegaskan NU telah menjadi pilar bangsa. Namun bila kemudian ada pihak di luar NU yang membawa kepentingan tertentu mendadak masuk dalam Muktamar ke-32 NU pekan depan, maka berpotensi merusak NU dan artinya mengorbankan bangsa Indonesia.
“Jika kemudian NU diacak-acak, sama dengan mengorbankan bangsa ini. Kami ingatkan itu!” tegasnya.
Kepada para kandidat Ketua Umum PBNU, Kiai Ma’ruf ingatkan untuk berkompetisi secara elegan. Yaitu dengan tidak saling menjelek-jelekan, menjatuhkan kredibilitas apalagi politik uang.
“Janganlah di kemudian hari terjadi perseteruan, apalagi itu antar kiai. Bermainlah yang cantik dan elegan, jangan lakukan yang tidak layak,” pungkasnya.
Muktamirin Diminta Waspadai Praktek Money Politics
Dugaan praktek money politics rupanya tidak hanya terjadi di lingkungan partai politik. Muktamar NU yang seharusnya steril dari praktek kotor ini disinyalir tidak akan lepas dari praktek ini. Untuk menjaga semangat khittah nahdliyyah, peserta muktamar diminta mewaspadai praktek money politics.
“Pemilihan Rais Am dan Ketua PBNU harus fair, jangan ada praktek money politics. Jika praktek kotor itu dilakukan oleh salah satu kandidat, hal itu hanya akan membawa NU pada kehancuran,” kata ketua GPNU (Gerakan Penyelamat Nahdlatul Ulama) Khoirul Rijal.
Menurut Khoirul, banyaknya pengurus cabang dan wilayah yang berasal dari daerah terpencil berpotensi penggunaan money politics. Bentuknya bisa dalam hal pembiayaan transportasi pulang pergi dan fasilitas akomodasi selain uang saku.
“Pengurus cabang yang ada di pulau terpencil dan daerah-daerah kan harus mencari dana untuk transportasi. Kalau ada yang mengusahakan untuk menjamin transportasi dan akomodasi, tetapi dengan komitmen memilih calon tertentu, saya kira bisa disebut money politic,” tegasnya.
Siapa yang diduga akan melakukan prakter kotor ini, Syaiful mengaku belum tahu karena belum menemukan bukti. Namun pihaknya akan berupaya melakukan pengawasan dengan membentuk tim pengawas ke Makassar.
“Kalau orang-orangnya, saya tidak tahu. Ini hanya imbauan dan warning. Agar kita semua menjunjung tinggi moralitas dalam meraih tujuan. Apalagi ini organisasi para ulama,” katanya.
Rais Am PBNU Jatah Kiai Sepuh, Hasyim Muzadi Diminta Legowo
Posisi Rais Aam Nahdlatul Ulama (NU) selama ini diisi oleh kiai sepuh yang jauh dari kepentingan politik praktis. Oleh karena itu, KH Hasyim Muzadi yang relatif muda, didesak mengurungkan niatnya menjadi Rais Aam PBNU dalam Muktamar di Makassar mendatang.
“Kita minta Pak Hasyim mengurungkan niatnya untuk mengincar posisi Rais Am. Lembaga syuriyah bukan untuk diperebutkan. Pak Hasyim tergolong masih muda, jadi mengalah dulu lah,” kata Katib Syuriah PCNU Klaten Jazuli A Kasmani dalam rilis yang diterima detikcom, Kamis (18/3).
Menurut Jazuli, sejumlah pengurus NU di berbagai daerah menilai Hasyim tidak tepat mencalonkan diri sebagai Rais Aam. Sebagai simbol supremasi tertinggi kepemimpinan di NU, Rais Aam haruslah dipimpin oleh ulama alim dan menjaga perilakunya dari politik praktis.
“Ini bukan soal saya bisa dan punya pendukung, tetapi soal antrian dan tahu diri. Serta soal historis dan maqom. Kalau nggak mau ikut aturan itu, namanya ya bukan NU lagi,” paparnya.
Menurut pengasuh pesantren di Klaten ini, desakan Hasyim agar mengurungkan niatnya menjadi Rais Am PBNU juga disampaikan oleh pengurus wilayah dan cabang di berbagai daerah di Indonesia. “Kita minta Kiai Hasyim antri dulu lah. Untuk apa sih di memaksakan duduk di Rais Am PBNU? kan bisa jadi anggota Syuriah dulu,” pintanya.
“Kalau memaksakan kehendak, kita khawatir kiai sepuh nggalih (marah). Kan pernah ada sejarah Kiai As’ad Syamsul Arifin mufaroqoh. Pak Hasyim taulah soal itu. Jadi gantian saja seperti saat Kiai Ilyas Ruchiyat dan Mbah Sahal,” pungkasnya.
Muktamar NU akan Bahas Batas Usia Nikah & Hukum Penyadapan
Muktamar Nahdatul Ulama (NU) pada 23 Maret 2010 mendatang memiliki beberapa agenda penting. Salah satunya adalah pembahasan soal hukum fiqih persoalan yang terjadi di masyarakat. Di antaranya soal batas usia nikah seseorang dan hukum penyadapan.
Menurut Sekretaris Panitia Pelaksana Muktamar, Taufiq R Abdullah, pembahasan ini penting agar tidak menimbulkan keraguan di masyarakat.
“Nanti akan dibahas soal hukum transaksi lewat elektronik, sistem audit perbankan syariah, hukum sadap dan batas usia minimal nikah bagi pria dan laki-laki,” kata Taufiq.
Taufiq menambahkan, penyadapan nantinya akan ditentukan oleh NU apa hukumnya. Lalu, akan diperjelas siapa saja yang boleh menyadap dan bagaimana tata caranya.
Sementara, untuk batas usia nikah diperlukan aturan yang jelas agar kasus seperti Syekh Puji yang menikahi anak 9 tahun tidak terulang.
“Segala sesuatu yang berhubungan dengan agama harus ada dasar hukumnya,” jelas Taufiq.
Tidak hanya itu, berbagai aturan yang sudah ada di undang-undang juga akan dikaji dalam muktamar yang berlangsung di 6 hari tersebut. Ada 11 undang-undang yang akan dikaji.
“Salah satunya UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) dan UU Pornografi akan kita minta percepat penerbitan PP-nya,” tutupnya.
Wakil Mufti Mesir Akan Hadiri Muktamar NU ke-32 di Makassar
Direktur Diklat dan Anggota Dewan Fatwa di Dar Ifta Mesir Syeikh Dr. Amru Al-Wardany menyatakan kesiapannya untuk menghadiri Muktamar ke-32 NU di Makassar (22-27/3).
Hal itu dikemukakan Syeikh Al-Wardany melalui Syamsu Alam Darwis dan kandidat doktor syari’ah pada Universitas Al-Azhar Mahkamah Mahdin di Kairo, kepada detikcom, Sabtu (20/3).
Sebelumnya Syeikh Al-Wardany secara resmi telah menerima undangan dari panitia muktamar, yang ditandatangani langsung oleh Ketua PBNU KH. Hasyim Muzadi dan mendapat persetujuan Mufti Mesir Ali Gomaa, yang baru saja tiba dari Jepang.
Syeikh Al-Wardany menerangkan, bahwa di muktamar NU nanti dia akan menyampaikan presentasi tentang tiga pondasi dalam menyelesaikan problematika umat termasuk penajaman peran ulama di Indonesia.
“Ulama Islam sedunia termasuk Indonesia perlu melahirkan ilmu-ilmu baru (taulid al-ulum), yang berangkat dari kajian interdisipliner. Kemudian pengambilan hukum yang konsisten (ijtihad multazim) dan pemahaman realitas kontemporer dunia Islam (fiqh al-hayat),” ujar ulama yang sering mewakili Lembaga Fatwa Dar Ifta Mesir dalam berbagai fora internasional.
Menurut Syeikh Al-Wardany, islam moderat adalah satu-satunya alternatif bagi dunia Islam saat ini untuk berinteraksi dengan dunia global dan ikut melejit dengan kemajuan peradaban.
Lembaga Fatwa Mesir adalah lembaga resmi pemerintah yang bekerja profesional dengan wewenang penuh untuk mengeluarkan dan menetapkan fatwa seputar berbagai isu keagamaan dan kehidupan secara umum.
Saat ini terdapat lebih dari 30 mahasiswa RI di Mesir yang mengikuti pelatihan metodologi pengambilan fatwa di lembaga ini dengan masa studi selama tiga tahun. (Detikcom/Ant/g))
Read More...
banner125125 d'famous_125x125 ads_box ads_box ads_box