Muktamar NU, Muktamar Bangsa

Sunday, March 21, 2010

Tanpa bermaksud melebih-lebihkan positioning Nahdlatul Ulama (NU) dalam percaturan kehidupan berbangsa dan bernegara, kiranya cukup beralasan menggambarkan Muktamar Ke-32 NU di Makassar mulai hari ini sebagai ”muktamarnya bangsa Indonesia”. Dalam berbagai momentum kritis kebangsaan, organisasi sosial keagamaan terbesar di Tanah Air ini tampil dengan kekuatan sikap kebhinekaannya. Wajah klasik jam’iyyah nahdliyyah itu memang merepresentasikan potensi efektif spirit menjaga nilai-nilai tradisi bangsa.


Mengapa semangat pewacanaan yang berkembang menjelang muktamar kali ini berupa kehendak menjauhkan NU dari politik praktis, karena berbagai pengalaman sejarah menunjukkan NU lebih bertaji dalam posisi memberi jarak yang sama terhadap semua kekuatan politik. Sikap kembali ke khitah — seperti amanat Muktamar 1984 Situbondo — andai dilaksanakan dengan segala keistikamahan, kita yakini akan meneguhkan organisasi dibandingkan dengan keterlibatan-keterlibatan yang cenderung membatasi inklusivitasnya.

Di Muktamar Makassar, tarik-ulur faksi politik dan faksi kultural diperkirakan menemukan puncaknya, walaupun semua tentu tergantung pada suara muktamirin. NU pasca-Gus Dur juga membentangkan banyak pertanyaan, bagaimana pemikiran-pemikiran sang Guru Bangsa yang dalam banyak segi merepresentasikan wajah NU itu akan terimplementasikan dan dikembangkan. Baik semangat pluralitasnya, sebagai lokomotif demokrasi, maupun pencerahan pemikiran-pemikiran berkebangsaan yang berbasis religiositas.

Di tengah pertarungan dua faksi itu, banyak kepentingan jam’iyyah yang belum sepenuhnya dapat diwujudkan dalam sejarah kehidupan ormas ini sejak dilahirkan 84 tahun lalu. Kemandirian ekonomi warga NU merupakan salah satu di antara banyak tujuan organisasi yang belum bisa dikatakan tersentuh secara efektif. Padahal kita tahu, betapa berat tantangan di tengah globalisasi ekonomi sekarang. Pasar bebas ASEAN - China yang dimulai sejak awal tahun ini juga menuntut kesiapan. Lalu sejauh mana peran NU bagi anggotanya?

Di bidang pendidikan, memang makin banyak tumbuh sekolah dan perguruan tinggi berlabel NU. Namun otokritik tetap dibutuhkan menyangkut ketertinggalan dari segi pengembangan dan kualitas administratifnya dibandingkan dengan lembaga pendidikan milik ormas Islam yang lain. Sama seperti persoalan kemandirian ekonomi nahdliyyin, bidang pendidikan juga dihadapkan pada tantangan untuk menjawab kebutuhan bersaing di pentas global ketika sekolah-sekolah sekarang berorientasi pada standar internasional.

Akankah muktamirin terjebak hanya pada pergulatan yang berorientasi kekuasaan, lewat manuver-manuver rivalitas faksi kultural dan faksi politik, yang terpantul dalam dukung-mendukung Rais Aam dan ketua Tanfidiziyah? Inilah saat-saat kemandirian warga NU diuji, seperti pada 1994 ketika NU mampu mengalahkan kekuatan yang mengintervensinya. Jumlah besar warga NU — sekitar 40 juta — seharusnya menyadarkan: lebih inklusif berada ”di mana-mana” ketimbang terjebak hanya sebagai kendaraan politik sekelompok orang.

0 comments:

Post a Comment

banner125125 d'famous_125x125 ads_box ads_box ads_box