Peran Ideal NU

Sunday, March 21, 2010
SENIN, 22 MARET 2010 | 21:08 WITA |
Oleh: Salahuddin Wahid, Pengasuh Pesantren Tebuireng

Muktamar ke 32 NU adalah saat tepat untuk menancapkan tonggak sejarah yang akan menentukan masa depan NU: apakah akan kembali menjadi ormas agama yang sesungguhnya, yang bermartabat dan kuat, atau menjadi ormas berparadigma orpol, yang tidak dihormati masyarakat luas dan fatwa poltiknya tidak dipatuhi warganya.

Perjalanan panjang telah ditempuh organisasi NU, yang tidak terlepas dari perjalanan kesejarahan bangsa dan negara Indonesia, bahkan sebelum bangsa dan negara Indonesia ada. Ajaran NU, Islam Ahlussunnah wal jama'ah (Aswaja) telah berabad-abad hidup di kalangan mayoritas umat Islam di wilayah Nusantara.

Para ulama penganut Aswaja itu telah berjasa mencerdaskan warga muslim di seluruh wilayah Nusantara. Pesantren yang mereka dirikan telah menjadi ujung tombak pendidikan bagi masyarakat luas, jauh sebelum pendidikan diselenggarakan oleh pemerintah Hindia Belanda (1901) untuk memenuhi usul van Deventer. Merekalah yang mendidik muslim di Nusantara menjadi muslim yang moderat dan toleran.

Setelah organisasi NU didirikan pada 1926 oleh KHM Hasyim Azyumardi, KHA Wahab Hasbullah, KH Bisri Syansuri dkk, hubungan dan kerja sama antar-pesantren semakin erat. Keterlibatan tokoh NU di dalam pergerakan kemerdekaan termasuk dalam Lasykar Hisbullah tidak membuat pendidikan di pesantren terabaikan.

KHA Wahid Hasyim dan tokoh NU lainnya terlibat aktif dalam BPUPKI dan PPKI. Saat “tujuh kata Piagam Jakarta” menjadi ganjalan bagi proses berdirinya NKRI, tokoh-tokoh Islam termasuk NU tanpa ragu mencoret tujuh kata itu dari Pembukaan UUD.

Menghadapi Belanda yang kembali ke Indonesia dengan memanfaatkan NICA, Rais Akbar PBNU KH Hasyim Asy’ari memfatwakan Resolusi Jihad (22-10-1945) yang mewajibkan para muslimin di dalam radius 90 km dari Surabaya untuk membantu TNI dalam perang melawan Belanda.

Menjadi Partai Politik

Tuntutan keadaan mendorong NU yang bergabung dalam Partai Masyumi pada 1945, untuk mengubah ormas NU menjadi Partai NU pada Muktamar 1952. Tanpa diduga oleh siapapun, NU keluar menjadi pemenang ketiga pemilu 1955. NU mendasarkan langkahnya dalam berpolitik pada kaidah ushul fiqh ahlus sunnah wal jama’ah, sehingga tidak dipahami oleh parpol lain dan dianggap oportunis.

Pasca dibubarkannya Masyumi oleh Bung Karno, NU menjadi kekuatan utama politik Islam, tetapi tidak cukup kuat untuk menghadapi pertarungan dengan PKI. Kerja sama TNI dengan unsur anti-PKI termasuk NU, mengakhiri era Orde Lama di mana PKI amat berperan. NU yang merupakan kekuatan politik yang masih perlu diperhitungkan, segera menjadi sasaran utama bagi pemerintah Orde Baru karena NU masih memperjuangkan Piagam Jakarta.

Para aktivis NU di birokrasi pemerintah (terutama Depag) harus memilih antara status PNS dengan posisi di NU. GUPPI menjadi ujung tombak dari Golkar untuk melemahkan organisasi NU. Pada awal 1970-an sejumlah tokoh NU mulai bergabung dengan Golkar. Proses pelemahan organisasi NU terjadi secara perlahan tetapi pasti. Kegiatan non-politik organisasi NU mulai surut. Saat bergabung dengan PPP, peranan tokoh NU juga dibatasi untuk tidak menjadi orang pertama di PPP.

Muktamar NU 1984 dan Munas Alim Ulama NU 1983 menerima dokumen Hubungan Islam dengan Pancasila, yang merupakan wujud konvergensi Islam dan Indonesia. Landasan pemikiran bagi NU untuk menerima Pancasila dirumuskan oleh para ulama dari pesantren, bukan oleh Prof Dr dari universitas. Dokumen karya tim di bawah pimpinan KH Ahmad Siddiq itu kemudian amat berpengaruh terhadap kehidupan kebangsaan warga NU dan umat Islam Indonesia.

Kembali ke Khittah 1926

Muktamar NU 1984 memutuskan NU kembali ke Khittah 1926. Khittah itu mencakup banyak hal, antara lain Dasar -dasar Paham Keagamaan NU; Sikap Kemasyarakatan NU; Perilaku yang Dibentuk Oleh Dasar dan Sikap tersebut di atas serta NU dan Kehidupan Berbangsa.

Tetapi dalam wacana tentang NU, biasanya yang dimaksud dengan kembali ke Khittah NU adalah lepasnya organisasi NU dari ikatan dengan parpol manapun. Sejak itu banyak politisi NU aktif di PPP dan Golkar. Gus Dur pernah menjadi anggota MPR dari FKP. Pada awal 1990-an Gus Dur mulai lantang mengkritik pemerintah Orde Baru. Dia muncul menjadi pemimpin utama masyarakat sipil di Indonesia.

Walaupun secara resmi NU sudah tidak terlibat dalam politik praktis, tetapi ternyata tidak mudah bagi NU untuk melakukannya. Saat dibuka kesempatan untuk mendirikan parpol baru pada Juli 1998, NU secara tidak langsung (melalui tokoh-tokoh utamanya) mendirikan PKB. Dalam Pemilu 1999, PKB mencapai urutan ketiga (di atas 12 persen jumlah suara). Posisi Gus Dur sebagai pemimpin utama masyarakat sipil membawanya menjadi Presiden RI.

Keberhasilan Gus Dur menjadi presiden saat menjabat Ketua Umum PBNU mendorong tokoh PBNU maju sebagai calon dalam pilpres dan ketua PWNU/PCNU menjadi calon dalam pilkada. Semua tokoh itu tidak mengundurkan diri dari kepengurusan NU. Tidak bisa dihindarkan, organisasi NU masuk ke dalam pusaran politik praktis. Keterlibatan itu menimbulkan minimal dua dampak negatif : a). NU tidak fokus pada kegiatan amal usaha sosial; b) disharmoni dalam kepengurusan.

Dalam pemilu legislatif, partai-partai yang selama ini dikenal sebagai penyalur aspirasi politik warga NU ternyata tidak berhasil mempertahankan posisinya. Banyak pihak menswear bahwa sudah saatnya organisasi NU menerapkan secara konsekuen khittah NU di bidang politik, dengan melepaskan diri sama sekali dari keterlibatan pada politik praktis. Tetapi Rois Syuriah PWNU Jatim dan sejumlah kiai berpengaruh di Jatim berpendapat sebaliknya.

Politik Kebangsaan

Tampaknya di masa depan amat sulit untuk mengharapkan bahwa warga (penganut paham keagamaan) NU akan menyalurkan suaranya pada partai yang punya hubungan historis dengan organisasi NU. Kita bisa berkaca pada fenomena Gus Dur. Modal sosial Gus Dur yang begitu besar tampak dari besarnya perhatian saat dan pasca wafatnya Gus Dur, tidak otomatis bisa dikonversi menjadi modal politik. Warga Tionghoa yang mendewakan Gus Dur ternyata tidak memilih PKB tetapi PDIP atau Golkar.

Dengan melepaskan diri sepenuhnya dari politik praktis, NU bisa berperan dalam politik kebangsaan atau politik untuk kemaslahatan umat. NU harus kembali berperan sebagai kekuatan utama masyarakat sipil seperti pada era kepemimpinan Gus Dur (awal sampai medio 1990-an).

Kalau dulu NU dibawah Gus Dur berjuang untuk demokrasi politik, kini NU berjuang untuk demokrasi ekonomi. Kalau dulu melawan Pemerintah yang otoriter, kini NU bisa menjadi mitra pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan sosial. NU harus tetap kritis kepada Pemerintah, tetapi kritik itu tidak harus dibuka kepada publik.

Uraian di atas sejalan dengan butir 2 dari Pedoman Berpolitik Warga NU berbunyi: “Politik bagi NU adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integritas bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama yaitu terwujudnya masyarakat adil dan makmur.”

Selanjutnya organisasi NU harus fokus pada amal usaha sosial, yang paling tidak meliputi pendidikan, kesehatan, dakwah, kegiatan ekonomi, lingkungan, pembinaan generasi muda, kaderdisasi dengan pemihakan terhadap mereka yang dizalimi. NU perlu meneruskan penyebarluasan ajaran Islam rahmatan lil alamin dan tetap harus menjadi pelindung kelompok minoritas. (**)

0 comments:

Post a Comment

banner125125 d'famous_125x125 ads_box ads_box ads_box