Khitah Politik Kebangsaan

Monday, March 22, 2010

  • Oleh Abdul Ghaffar Rozin
PERBINCANAN yang hangat pada Muktamar Ke-32 Nahdlatul Ulama (NU) di Makassar, yang resmi dimulai hari ini, tak hanya menyangkut konstelasi bakal calon ketua PBNU tetapi ada yang jauh lebih penting, yaitu menyangkut masa depan organisasi Islam terbesar itu.

Menariknya, di antara mereka yang angkat bicara, tidak hanya dari tokoh NU, namun ada orang luar, pemerhati sosial keagamaan, dan bahkan elite partai politik. Pertanyaannya, sebegitu penting dan menarikkah NU sehingga menjadi perhatian banyak orang?

Hal itu mungkin karena dua hal. Pertama, NU aset berharga bangsa mengingat selain mempunyai andil besar dalam proses pendirian NKRI, NU menjadi ujung tombak dalam memajukan bangsa hingga detik ini.
Kedua, saat ini NU terjebak dalam kubangan politik kekuasan yang dimainkan oleh kepentingan kader-kadernya sehingga seolah-olah tidak sah membicarakan NU kalau tidak dikaitkan dengan politik.

Mencermati realitas perkembangan NU kekinian, anggapan pada poin kedua ada benarnya di satu sisi tapi juga mengandung persepsi yang salah di sisi lain. Sejatinya tidak benar jika eksistensi NU ditentukan oleh faktor politik kekuasaan. Ormas itu akan tetap ada walaupun tanpa politik, bahkan tanpa negara sekalipun. Meminjam istilah KH Idham Chalid, NU sebenarnya merupakan isme, suatu paham yang telah menyatu dalam budaya dan tradisi.

Artinya, NU sebagai organisasi mungkin saja bubar atau dibubarkan, tetapi sebagai isme, paham, yang telah melembaga dalam budaya dan tradisi tidak mungkin dibubarkan. Soalnya isme tersebut yang telah menyatu dalam masyarakat tidak mementingkan struktur dan organisasi formal.

Selama pesantren tetap ada, dan para ulama serta kiai tetap menjalankan peran mereka menyiarkan paham ahlu sunnah wal jamaíah serta melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, selama itu pula NU sebagai isme tetap hidup. Pesantren menurut Idham Chalid merupakan miniatur NU dalam skala kecil, dan NU merupakan pesantren dalam skala besar (Haidar, 1998).

Aspek Sekunder

Itu sebabnya, khitah 1926, yang diteguhkan kembali dalam Muktamar Ke-27 NU di Situbondo, Jatim pada 1984, menegaskan bahwa NU adalah organisasi yang bergerak dalam bidang sosial kemasyarakatan, bukan politik praktis sebagaimana terjadi saat ini. Artinya, sebagai jam’iyyah kemasyarakatan, dan politik merupakan aspek sekunder.

Politik yang dikembangkan oleh NU merupakan apa yang disebut sebagai politik kebangsaan atau politik kerakyatan. Tipe politik ini berbeda dari politik kekuasaan atau yang lebih populer dikenal politik praktis.
Politik kebangsaan atau politik kerakyatan terejawantah secara taktis lewat pemberdayaan yang mengembangkan potensi-potensi lokal yang dimiliki masyarakat, baik pada level SDM maupun SDA-nya, sehingga tercipta kesejahteraan dan kemakmuran bersama.

Inilah visi NU yang telah digariskan dalam Anggaran Dasar 1926, yang salah satu pasalnya menyebutkan: ”memerhatikan ikhwal anak-anak yatim dan para fakir miskin; dan mendirikan badan-badan usaha untuk memajukan urusan pertanian, perniagaan, dan perusahaan yang tidak dilarang oleh syariat Islam”.

Tetapi sayangnya, apa yang menjadi idealisme dan cita-cita sosial tersebut justru terbengkalai karena para elitenya larut dalam permainan politik praktis. Padahal, warga nahdliyin masih diyakini oleh banyak kalangan mempunyai modal sosial yang kuat dan masif, jika itu diberdayakan untuk memajukan masyarakat agar keluar dari bayang-bayang kemiskinan, pengangguran, dan kesengsaraan lainnya.

Masyarakat NU setidaknya memiliki empat modal sosial yang cukup berarti untuk menatap masa depan dari komunitas kaum sarungan ini. Pertama, adanya keyakinan dasar yang masih terpatri dalam anggaran dasar tentang perjuangan paham kerakyatan. Kedua, lahirnya elite-elite muda NU yang bisa memahami sosiologi imperialisme zaman, atau setidaknya mampu mengawinkan ajaran kitab kuning dengan teori-teori perubahan sosial.

Ketiga, memiliki jaringan cukup luas. Keempat, memiliki sejarah kemandirian dalam pergumulan sosial. Hal ini setidaknya dicontohkan dalam awal pendirian dan keberlangsungan pesantren di masa lalu (Ridwan, 2008).

Karena itu, dengan melihat kondisi riil dalam internal NU sekarang sejatinya ada iktikad baik dari semua pihak, terutama para elite, dari kalangan ulama atau kiai yang terlibat dalam politik praktis, dan juga para politikusnya, agar tidak menjadikan NU sebagai komoditas politik. Peran NU ke depan harus dikembalikan pada fungsi sosialnya, yang melibatkan diri secara aktif lewat politik kebangsaan, yaitu dengan memerhatikan nasib kaum buruh, petani, nelayan, pedagang kecil dan sebagainya.

Harry J Benda dalam karyanya yang terkenal, The Crescent and The Rising Sun, Indonesian Islam under the Japanese Occupation (1958), menggambarkan masa itu sebagai masa disintegrasi sosial yang terus meningkat sebagai akibat dari landasan ikatan-ikatan tradisional petani semakin mengambang dan di sisi lain nilai-nilai priayi mulai surut di bawah pengaruh westernisasi, maka ulama mengambil peran menempati posisi sentral sebagai pusat protes.

Pertanyaannya, bagaimanakah peran ulama atau kiai di masa modern, dalam hubungannya dengan perhatian terhadap masyarakat pedesaan, kaum tani, dan kelompok marginal? Tak dapat disangkal lagi, bahwa banyak di antara tokoh-tokoh ulama (NU) kita disibukkan dengan kekuasaan dan kepentingan politik sesaat. (10)

— Abdul Ghaffar Rozin, aktivis muda NU di Pati, Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Mathaliíul Falah (Staimafa) Pati
Read More...

Semua Calon Kuat Ketum PBNU Pernah Bersentuhan dengan Politik

Muhammad Nur Hayid - detikNews

Jakarta - Jargon dan seruan NU tidak boleh perpolitik praktis memang selalu mengumandang di setiap momen penting politik nasional dan muktamar NU. Demikian halnya dengan muktamar ke 32 NU di Makassar ini, seruan dan kampanye agar NU tidak diseret-seret lagi ke politik praktis sebagaimana yang terjadi selama PBNU dipimpin KH Hasyim Muzadi, juga terus mengemuka.

Namun, apakah memang bisa NU lepas dari politik praktis? Apalagi kandidat yang sekarang bertarung, terutama kandidat yang sudah mengantongi dukungan kuat muktamirin, hampir semuanya pernah bersentuhan dengan politik. Jadi siapa pun yang menang, sepertinya NU akan kesusahan bisa lepas sepenuhnya dengan politik praktis meski kampanye semua kandidat berjanji menjaga jarak.

Untuk menjawab pertanyaan itu, marilah kita lihat profil dan sosok masing-masing calon ketua umum PBNU yang akan bertarung di muktamar Makassar. Rencananya, muktamar ke-32 NU akan dibuka Presiden SBY, Selasa (23/3/2010).

Ahmad Bagdja

Ahmad Bagdja adalah salah satu tokoh elit di NU. Beberapa jabatan penting pernah disandangnya seperti Ketua PBNU. Selain itu Bagdja juga pernah menjabat Ketua Panitia Nasional Muktamar ke-31 NU di Solo 28 November-2 Desember 2004 lalu.

Pria kelahiran Cirebon, 13 Maret 1943 ini selain menjadi pengurus PBNU juga pernah menjadi ketua organiasi alumni PMII. Dalam bidang pemerintahan, Bagdja juga pernah menjadi Dewan pertimbangan Agung (DPA) di masa-masa akhir pemerintahan Soeharto.

Dalam politik, Bagdja pernah menjabat wakil ketua tim pemenangan Tim JK-Wiranto dalam pilpres 2009 lalu. Sementara, dalam pilpres 2004 saat Hasyim Muzadi menjadi cawapres Megawati, Bagdja merupakan orang penting dalam tim sukses Mega-Hasyim.

Said Aqil Siradj

Nama lengkapnya adalah Said Aqil Siradj. Dia lahir dari keluarga NU tulen di Cirebon, 03 Juli 1953. Pria dengan 4 anak ini merupakan doktor lulusan Universitas Ummu al-Qura, Makkah, jurusan Aqidah/Filsafat Islam yang tamat pada tahun 1994.

Dalam karirnya di PBNU, Said pernah menjabat Wakil Katib Am PBNU (1994-1998), Katib Am PBNU (1998-1999), Rais Syuriah PBNU (1999-2004) dan Ketua PBNU (2004-sekarang). Selain itu Said juga aktif di berbagai tim nasional untuk resolusi konflik dan lembaga-lembaga sosial kerukunan umat beragama.

Dalam bidang politik, dosen di berbagai universitas ini pernah menjadi anggota DPR/MPR dari utusan golongan pada tahun 1999-2004. Selain itu, aktivitas Said dalam politik tidak lagi menonjol kecuali menjadi salah satu penggagas lahirnya PKB bersama Gus Dur dan menjadi dewan pembina ormas Islam PDIP Baitul Muslimin bersama Din Syamsudin dan Syafi'i Ma'arif.

Salahudin Wahid

Siapa yang tidak kenal Gus Solah, panggilan akrab Solahudin Wahid. Pria kelahiran Jombang, 11 September 1942 ini adalah adik kandung Gus Dur dan cucu dari pendiri NU KH Hasyim Asy'ari. Lulusan Arsitektur Institut Teknologi Bandung (ITB) ini lebih banyak menghabiskan umurnya dalam karir profesional dengan menjadi Wakil Ketua Komnas HAM (2002-2004), Associate Director Perusahaan Konsultan Property Nasional (1995-1996), Direktur Utama Perusahaan Konsultan Teknik (1978-1997), Direktur Utama Perusahaan Kontraktor (1969-1977) dan lainnya.

Selain berkarir di dunia profesional, Karirnya di PBNU juga cukup mentereng. Dia pernah menjabat salah satu ketua PBNU sebelum dia memutuskan mundur karena harus menghargai netralitas NU saat dipinang Capres Golkar Wiranto dalam pilpres 2004 lalu.

Keterkaitan Gus Solah dalam politik begitu tampak saat dia harus berjuang memperebutkan kursi RI 2 melawan Megawati-Hasyim dan SBY-JK. Selain keterlibatannya itu, Gus Solah cenderung berkarir di dunia profesional dan sosial. Dalam bidang sosial, Gus Solah menjadi pengasuh PP Tebuireng, Jombang setelah rapat keluarga menunjuk dirinya pasca meninggalnya KH Yusuf Hasyim atau sering disapa Pak Ud, selain menjadi pengurus ICMI.

Slamet Effendi Yusuf

Mantan Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor Slamet Effendi Yusuf (SEY) ini lahir dari keluarga pesantren di Purwokerto, Jawa Tengah, 12 Januari 1948 lalu. Slamet yang ikut andil dalam gerakan mengembalikan NU ke Khittoh 1926 dalam muktamar di Situbondo ini bukanlah sosok baru di NU.

Mantan ketua umum PB PMII ini memang lebih banyak menghabiskan hidupnya di dunia politik. Dia merupakan sosok politisi yang berwawasan kebangsaan dan selalu berada dalam momen-momen politik penting di negeri ini. Di Parlemen, dia berperan penting dalam amandemen UUD 45 dan pernah menjadi ketua badan kehormatan DPR.

Dalam karir politiknya, Slamet dikenal sebagai politisi Golkar dengan karir tertingginya sebagai ketua DPP Golkar. Slamet juga pernah menjadi ketua badan pemenangan pemilu Golkar yang juga ikut merancang konvensi calon presiden dari Partai Golkar.

Tiga Calon Lain

Selain ke 4 calon di atas, memang ada 3 lagi calon yang sudah mendeklarasikan diri untuk ikut berebut kursi ketua umum PBNU. Namun, mengutip pernyataan calon ketua umum PBNU Ulil Abshar Abdalla, kandidat lainnya mendapat dukungan yang kurang signifikan sebagaimana 4 kandidat di atas.

Tiga kandidat itu adalah Masdar Farid Masudi, Ali Maschan Musa dan Ulil sendiri. Ketiganya memang secara hampir tidak pernah terlibat secara langsung dalam politik kecuali Ali Maschan yang dalam pemilu 2009 lalu menjadi Caleg dari PKB dan sebelumnya mencalonkan diri sebagai Cawagub mendampingi Cagub yang didukung Partai Golkar, Sunarto.

Sementara, dalam karir ke NU-an, ketiganya sama dengan 4 kandidat di atas, merupakan sosok yang tidak diragukan lagi cap Nahdliyin-nya. Masdar saat ini menjabat wakil ketua umum PBNU mendampingi Hasyim Muzadi. Masdar juga pernah menjadi satu-satunya kandidat yang melawan Hasyim Muzadi dalam muktamar ke-31 NU di Solo 2005 lalu.

Sementara, Ali Maschan adalah mantan ketua PWNU Jawa Timur selama 10 tahun. Selain itu, Ali juga seorang dosen dan guru besar di IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Siapa yang tak kenal Ulil? Pria yang pernah dihukumi halal darahnya oleh salah satu kelompok Islam ekstrem karena pemikirannya yang liberal ini merupakan menantu KH Mustafa Bisri. Namun Ulil dikenal pemikirannya terlalu kiri dan liberal serta lebih dekat dengan barat.

Itulah profil para kandidat ketua umum PBNU yang akan melanjutkan kepemimpinan organisasi kaum sarungan selama 5 tahun mendatang. Jika melihat profilnya yang hampir mirip dalam keterkaitannya di bidang politik, mungkinkan mereka bisa menjaga jarak dari seretan politik praktis sebagaimana pada masa PBNU dipimpin Hasyim Muzadi? Kita lihat saja nanti. (yid/asy)
Read More...

NU dan Kemiskinan


  • Oleh Mohamad Muzamil
DALAM Muktamar Ke-32 Nahdlatul Ulama (NU) di Makassar yang ramai dibicarakan adalah soal calon pengurus, baik syuriyah maupun tanfidziyah PBNU. Pembicaraan kandidat rais aam dan ketua umum PBNU memang penting tetapi membahas program guna mengatasi persoalan umat juga sangat penting.

Kalau yang pertama menyangkut intern organisasi, yang kedua selain intern juga mengait ekstern organisasi karena yang terakhir ini bertalian dengan sumbangsih NU dalam masyarakat, bangsa, dan negara.

Salah satu persoalan klasik yang dihadapi umat adalah masalah kemiskinan. Tentu masalah ini juga mendapat perhatian serius dari berbagai pihak, terutama pemerintah, perguruan tinggi, dan lembaga-lembaga lain, termasuk asing.

Sebagai organisasi kemasyarakatan keagamaan, NU juga tidak mau ketinggalan berperan serta dalam mengatasi masalah kemiskinan ini. Bahkan sejak awal berdirinya, organisasi keagamaan tradisional ini telah merintis gerakan ekonomi kerakyatan yang diberi nama oleh KH Abdul Wahab Hasbullah sebagai nahdlatu al-tujar (kebangkitan perdagangan). Kemudian pada Muktamar Ke-1 tanggal 21 Oktober 1926, NU antara lain membahas masalah hasil usaha suami istri (harta gono gini), dan masalah upah pekerja. (Ahkam Al-Fuqoha, hlm.18). Hal ini menunjukkan bahwa NU berupaya agar masyarakat tidak hanya mencari bekal akhirat semata tetapi juga mencari kebahagiaan di dunia.

Biro Pusat Statistik (BPS) menggunakan pendekatan ekonomi dalam mendefinisikan kemiskinan. Data dari BPS menunjukkan bahwa jumlah dan persentase penduduk miskin di Indonesia berfluktuasi dari tahun ke tahun. Pada 1996 jumlah penduduk miskin 34,01 juta (17,47 %) dan pada 1999 menjadi 47,97 juta (23,43%). Berarti pada tahun 1996-1999 terjadi kenaikan jumlah penduduk miskin 13,96 juta karena adanya krisis ekonomi.

Kemudian tahun 2002 penduduk miskin berubah menjadi 38,40 juta, berarti terjadi penurunan dari 47,97 juta (23,43%) pada 1999 menjadi 38,40 juta (18,20 %) pada 2002. Selanjutnya jumlah penduduk miskin turun lagi menjadi 35,10 juta (15,97% ) pada 2005. Namun meningkat lagi jumlahnya pada Maret 2006 menjadi 39,05 juta (17,75%).

Dari data tersebut menunjukkan bahwa belum banyak prestasi pemerintah dalam menanggulangi masalah kemiskinan ini. Kemiskinan membuat jutaan anak-anak tidak bisa menempuh pendidikan berkualitas, dan mengalami kesulitan membiayai kesehatan. Kemiskinan juga telah membatasi hak-hak rakyat dalam memperoleh pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan, dan memperoleh perlindungan hukum, memperoleh rasa aman.

Juga membatasi hak untuk memperoleh akses atas kebutuhan hidup yang terjangkau, memperoleh akses atas kebutuhan kesehatan, memperoleh keadilan, dan bahkan hak mereka dalam berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik dan pemerintahan.

Dari berbagai analisis menganai kemiskinan di Indonesia dapat dipahami adanya tesis umum bahwa, kemiskinan yang terjadi bukan disebabkan karena penduduk miskin tidak mempunyai faktor-faktor kultural yang dinamis. Mereka miskin karena kesempatan-kesempatan tidak diberikan kepada mereka.

Dengan adanya kesenjangan lebar antara penduduk kaya dan miskin maka upaya (ikhtiar) NU tidak sekadar mengentaskan (warga dari) kemiskinan tersebut dari sudut pandang agama, seperti mendorong pemeluknya giat beribadah dan bekerja secara seimbang serta distribusi sedekah, infak, zakat dan kurban semata, tetapi juga melakukan upaya advokasi kebijakan dan pendampingan kepada penduduk miskin untuk melakukan usaha ekonomi produktif.
Tolong-menolong Gerakan ekonomi NU yang menonjol diekspose adalah pada masa kepemimpinan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan mendirikan beberapa Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Nusuma serta mendirikan koperasi dan ruko serta rukan. Hal ini dilanjutkan oleh KH Hasyim Muzadi dengan mendorong PCNU mendirikan baitul mal wa tamwil (BMT) seperti di Semarang, Magelang dan daerah-daerah lain.

Pengurus Cabang NU Kota Pekalongan mempunyai program menarik yang dinamakan Nahdliyyin Centre (NC). Konsep dasar NC ini adalah orang miskin menolong orang miskin. Banyak kegiatan sosial ekonomi yang mereka lakukan sebagai upaya tolong menolong (taíawun) dan kerja sama (syirkah) di antara mereka.

Kemudian yang berbentuk advokasi kebijakan misalnya dilakukan oleh PWNU NTB dengan mendirikan Madrasah Anggaran yang merupakan ikhtiar mendorong warga untuk berpartisipasi dalam perencanaan pembangunan di daerahnya. Kemudian PCNU Jepara dan PCNU Situbondo melakukan hal serupa dengan menggelar berbagai halaqah (diskusi) bedah APBD dengan mengikutsertakan para kiai, santri, dan tokoh masyarakat agar pemerintah lebih berkomitmen mengalokasikan anggaran untuk keperluan publik.

Berbagai gerakan tersebut menunjukkan bahwa kepedulian NU dalam masalah kemiskinan tersebut masih terbatas. Karena itu, melalui muktamar ke-32, kita berharap agar hal ini dapat meluas menjadi gerakan sosial di kalangan nahdliyyin. (10)

— Mohamad Muzamil, Wakil Sekretaris Tanfidziyah PWNU Jawa Tengah

Read More...

Mufti Satukan Persepsi Soal Islam

SENIN, 22 MARET 2010 | 20:44 WIB

Mantan Wapres Jusuf Kalla saat menerima kedatangan KH Muhammad Achmad Sahal Mahfudz selaku Rhois Dewan Pertimbangan PBNU di Makassar, Senin (22/3). TEMPO/ Fahmi Ali

TEMPO Interaktif, Makassar - Panitia Muktamar Nadhlatul Ulama (NU) ke-32 menggelar dialog bersama mufti-mufti atau ulama dunia yang menghadiri muktamar yang digelar di Makassar. Besok rekomendasi dari dialog akan disampaikan ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, serta akan diteruskan ke Liga Arab.

Dialog ini digelar di Hotel Sahid Jaya Makassar, mulai pukul 13.00-18.00 Wita, kemudian dialog dilanjutkan di kediaman mantan wakil presiden Jusuf Kalla, di Jalan Haji Bau nomor 16 Makassar, sekaligus perjamuan makan malam.

Dialog dihadiri oleh mufti-mufti atau ulama dunia diantaranya Libanon, Syuria, Belanda, Arab Saudi, Mesir, Palestina dan Afganistan. Nampak juga Ketua PBNU Hasyim Muzadi, Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin

Menurut Dr Amr Mustafa Hassaimin, dari Mesir mengungkapkan ada beberapa poin rekomendasi yang dia sebutkan dalam dialog mufti-mufti atau ulama duani dengan tema "Peran Ulama dalam Memajukan Dunia Islam".

Pertama menyatukan persepsi dunia Islam untuk memajukan Islam. Kedua, konsep-konsep strategis yang dibuat untuk mengungkapkan peradaban Islam terutama dengan pendekatan keagamaan.

Jusuf Kalla mengucapkan terimakasih, kepada ulama-ulama yang datang ke Makassar, ia mengaku sangat senang bisa bertukar pengalaman dengan para ulama dunia ini terkait masalah-masalah Islam.

Ilmuwan asal Belanda, Johan Mealemay dalam forum mengungkapkan persoalan dunia Islam di Eropa yang cenderung terpecah karena banyak mazhab, apalagi ada partai politik anti-Islam. Sementara Islam barat sendiri mulai mengkaji ulang studi Islam tradisional untuk dikembangkan secara terbuka.

Menurutnya ini perlu perhatian, studi Islam yang dimaksud adalah fikih, untuk mengaplikasikan studi ini, di Eropa perlu mengkaji ulang terkait masalah latar belakang etis dan budaya setempat. Saat Johan sedang merintis universitas Islam di negaranya, dan akan membuat cabang di Grassel dan Istanbul.

ABD AZIS

Read More...

Kandidat Ketua Umum Saling Klaim Dukungan


MAKASSAR - Sejumlah kandidat yang akan memperebutkan kursi sebagai Ketua Umum (Tanfidziyah) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama saling mengklaim dukungan. Ihwal siapa yang akan terpilih, muktamirin akan menentukannya dalam muktamar ke-32 Nahdlatul Ulama, yang akan dibuka hari ini dan berlangsung hingga 28 Maret mendatang di Asrama Haji Sudiang, Makassar.

Kandidat dari kalangan muda, Ulil Abshar-Abdalla, menyatakan dirinya didukung oleh keluarga Wahid, seperti KH Mustafa Bisri (Gus Mus) dan KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur (almarhum). "Saya telah didukung oleh Gus Mus dan Gus Dur untuk maju dalam pemilihan Ketua PBNU," kata dia seusai jumpa pers di Hotel Santika, Makassar, kemarin sore.

Ulil menambahkan, sebelum Gus Dur wafat, dirinya sudah meminta restu untuk maju dalam pemilihan Ketua Umum PBNU tersebut. "Empat bulan sebelum (Gus Dur) wafat, saya sudah minta restu, dan beliau merestui," ujar Ulil sembari menyebut dukungan serupa diberikan oleh Gus Mus.

Ia optimistis menghadapi nama-nama calon Ketua Umum PBNU yang saat ini disebut-sebut sebagai calon kuat, seperti Said Aqil Siradj, Salahuddin Wahid, dan Ahmad Bagdja. "Saya telah memenuhi syarat minimal dukungan, yakni didukung oleh 90 suara pengurus cabang dan pengurus wilayah," kata Ulil.

Sebelumnya, pada Ahad malam lalu, di Makassar, Salahuddin Wahid (Gus Sholah) menyatakan optimismenya untuk memenangi pertarungan tersebut. "Saya didukung oleh banyak kiai untuk maju. Saya optimis menang," ujar Gus Sholah kepada Tempo.

Bahkan Gus Sholah mengklaim telah mengantongi suara lebih dari separuh suara pengurus wilayah NU di seluruh Indonesia. Meski begitu, ia tak ingin menyebut telah mengantongi suara mayoritas. "Itu takabur namanya," kata dia.

Tak lupa, Gus Sholah menyebutkan ihwal permintaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk bertemu dengannya di kediaman Yudhoyono di Cikeas. Ia mengaku tak ada penolakan dari Yudhoyono berkaitan dengan pencalonannya itu.

Sementara itu, untuk perebutan posisi sebagai Ketua Dewan Pembina (Rois Am) PBNU, Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor Saifullah Yusuf berharap jabatan itu tetap dipegang oleh Kiai Sahal Mahfud. Sedangkan Pengurus Wilayah NU Jawa Timur justru memantapkan dukungan untuk Muzadi sebagairois am. "Kami mantapkan untuk KH Muzadi untuk calon rois am," kata Nurhadi, hubungan masyarakat PW NU Jawa Timur. ABDUL AZIS | ROHMAN TAUFIQ

Read More...

NU serukan penghentian agresi militer Israel


Selasa, 23/03/2010 11:18:29 WIBOleh: Kwan Men Yon
MAKASSAR (Bisnis.com): Nahdlatul Ulama, organisasi Islam terbesar di dunia, menyerukan kepada para pemimpin dunia Islam dan Arab agar mendesak Sekjen Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) Ban Ki-moon segera melakukan intervensi signifikan secara kemanusiaan untuk menghentikan agresi militer Israel di Palestina.

Seruan tersebut ditandatangani seusai acara Dialog Bersama NU dan Ulama dari 48 Negara di Hotel Sahid Jaya Makassar, Senin 22 Maret malam. Dialog ini merupakan rangkaian kegiatan pra Muktamar NU ke-32.

Dalam siaran pers yang dibagikan siang ini, NU menilai semua pihak yang peduli harus bersatu menolong Palestina.

Konflik yang telah berusia 60 tahun itu, menurut NU, hendaknya segera dicarikan jalan keluar terbaik agar tidak semakin banyak rakyat Palestina yang menjadi korban senjata berat Israel. Masalah Palestina-Israel yang sekian lama dalam status quo juga kerap memantik bara pertikaian antara negara Islam dengan Barat, khususnya Amerika Serikat yang dituding terlalu memihak Israel.

Berbagai masalah yang terjadi di belahan dunia Islam seperti Palestina, Irak dan Afganistan, menurut siaran pers itu, harus difahami sebagai problem kemanusiaan bersama. NU menyayangkan tidak adanya kesamaan sikap negara-negara Islam dalam menghadapi konflik tersebut.

Dalam dialog itu ulama juga diingatkan untuk tidak hanya menyeru umat sebatas tataran nilai, namun juga harus mampu meletakkannya dalam kehidupan nyata agar umat Islam tidak menjalani kesehariannya dengan menerapkan nilai yang jauh dari ajaran agama.

"Dari sini umat Islam tidak berbeda sebagai 'musuh' bagi ajarannya sendiri," kata Prof. Wahbah Az-Zuhaili, Guru Besar Universitas Damaskus yang juga Mufti asal Malaysia.(er)
Read More...

Rois Aam Dipilih Musyawarah

SURABAYA - SURYA- Ketua PP GP Ansor, Saifullah Yusuf mengusulkan pelaksanaan pemilihan Rois Aam dilakukan dengan mekanisme musyawarah oleh para kiai sepuh NU. Hal ini berbeda dengan pemilihan sebelumnya yang menggunakan mekanisme pemilihan langsung oleh rois syuriah sebagai pemilik suara.

Ansor merupakan salah satu badan otonom NU. Mereka memiliki hak bicara dalam muktamar NU, namun tidak memiliki hak pilih. “Saya akan mengusulkan ini kepada muktamirin,” ujar Saifullah, Senin (23/3).

Ia khawatir, jika pemilihan dilakukan oleh rois syuriah akan memunculkan faksi-faksi di NU. Ini akan menunjukkan, kalau NU seperti partai politik. “Bisa jadi peserta yang kecewa mengatakan, alah..wong hanya dipilih sekian saja, tidak beda jauh. Ini kan tidak baik bagi NU,” katanya.

Saat ini ada dua calon kuat rois Aam. Mereka adalah KH Sahal Mahfudz dan Hasyim Muzadi. Namun, kata Saifullah, rois aam nantinya harus dipegang kiai yang memiliki jiwa kefaqihan, wara’, dan mendalami ilmu agama. Di antara kiai yang pantas adalah KH Sahal Mahfudz, KH Maimun Zubair, KH Ali Yafi, KH Zainuddin Jazuli, dan KH Habib Lutfi. “Bukan dipimpin orang yang suka dukung-mendukung,” pungkasnya.niks

Read More...

Change in Islamic group

New leader for Nahdlatul Ulama during national congress beginning today

JAKARTA - INDONESIA'S largest Islamic group starts its national congress today, in a week-long meeting that could help decide if the group can shake off its political links and make a much-needed return to its roots.

Plagued by its dabbling in politics in recent years, the Nahdlatul Ulama (NU) has strayed from its original aim to provide spiritual and social guidance for millions of Muslims in the rural areas.

A change of guard at its national congress this week, however, could help the group, as it elects a new chairman and new head of the advisory council at the week-long muktamar, which is to be held in Makassar, South Sulawesi.

The movement was founded in 1926 as a mass-based Islamic organisation. Despite a pledge to return to its original roots, NU's leaders had continued to dabble in the political arena, driving the organisation apart and weakening its standing with the government.

'It has always been a problem for NU,' said Mr Cecep Effendi, a senior researcher at the Indonesian Institute. 'Its leadership cannot disentangle itself from political parties.'

The group's entry into politics started in 1998, setting up the National Awakening Party (PKB) which took part in the first open elections a year after the fall of former president Suharto.

Read More...

Ulama Dituntut Aplikasikan Ilmunya

MAKASAR, (PRLM).-Ulama sekaligus Guru Besar Universitas Damascus Syiria Prof. Dr. Wahbah Juhaeli mengatakan, ulama diminta tidak saja pintar mengajarkan teori atau ilmu-ilmu secara teroritis, tetapi mesti mampu mengapilakasikannya. Dengan demikian, ulama akan memberikan peran lebih untuk agen perubahan.

“Peran ulama tidak hanya berada di tataran nilai menyebarkan ilmu, tetapi sekarang mesti mengambil peran lebih dari itu, yaitu memberikan contoh dari penerapan teori yang diajarkan kepada ummat,” kata Prof Wahbah Juhaeli, dalam seminar peran ulama yang dilangsungkan oleh panitia Muktamar NU ke 32, Senin (22/3) di hotel Sahid, Makasar.

Seminar yang dibuka oleh Ketua Umum PBNU K.H. Hasyim Muzadi itu, menghadirkan para pembicara dari luar negeri, seperti Prof Dr. John Hendrik, ahli sejarah Islam dari Belanda, dan Dr. Datuk Awan Jahidi Haji Luan The dari Malaysia. Hadir kesempatan itu, para ulama dari berbagai belahan dunia dan para pengurus PBNU.

Menurut Wahbah Juhaeli, arti penting aplikasi teori diberikan oleh ulama, bukan saja untuk meningkatkan kepercayaan atas yang diajarkan mereka, tetapi lebih dari itu agar pelaksanaan teori tidak diambil oleh pihak luar. “Ulama harus yang mengambil peran dalam aplikasi juga, karena ulama mengetahui ilmu atau teorinya,” katanya.

Dicontohkan, dalam dunia perbankan, ulama termasuk di lingkungan pesantren, harus mampu mengaplikasikan perbankan secara syariah. Dengan demikian, perbankan secara Islam yang diambil dari teori keagamaan, dalam pelaksanaanya sesuai.

Begitu juga dalam bidang lainnya, ulama dalam meningkatkan perannya, harus mampu menjabarkan teorinya, termasuk dalam hukum pidana, pertanian, sosial atau lainnya.

Prof John Hendrik meminta para ulama harus merumuskan kembali konsep jihad, sesuai dengan keadaan sekarang. Alasannya, banyak konsep jihad diaplikasikan kurang tepat dengan kondisi sekarang. Malah, menimbulkan kecurigaan terhadap kaum muslimin, seperti terjadi di Eropa.

“Selain itu, ulama juga mesti mampu merumuskan berbagai penyelesaian persoalan, yang berujung benar-benar untuk kemaslahatan bersama,” kata Hendrik.(A-97/A-178/A-50)***

Read More...

Para Kandidat Saling Sindir

[ Selasa, 23 Maret 2010 ]


SEJUMLAH kandidat ketua umum PB NU sehari sebelum muktamar resmi dibuka kemarin, mulai saling menyindir soal model kampanye yang dilakukan. Sikap itu berawal dari pernyataan Ahmad Bagja terkait ramainya spanduk dan baliho yang dipasang kandidat ataupun pendukungnya. Ketua PB NU ini menilai model kampanye semacam itu tidak tepat dilakukan di ajang muktamar. "Tidak relevan dilakukan, ini kan bukan pilkada," kata Bagja, di Asrama Haji Sudiang, Makassar.

Karena itu, dia menyatakan, tidak perlu merasa ketinggalan dengan kandidat lain yang spanduk dan balihonya sudah tersebar di sejumlah titik. "Saya kira itu juga kurang cocok dengan akhlak kiai. Toh saya juga merasa tidak perlu memperkenalkan dengan cara seperti itu karena sebagian besar muktamirin sudah kenal baik," ujar salah seorang kandidat ketua umum PB NU tersebut.

Tanpa berkampanye lewat spanduk dan baliho, Bagja tetap yakin bahwa peluangnya dipilih cabang dan wilayah tetap besar. Dia mengklaim sudah mengantongi dukungan setidaknya 48 persen dari total cabang dan wilayah yang ada. "Seperti itu laporan dari teman-teman," ujarnya.

Sindiran Bagja tersebut ditanggapi enteng oleh Said Aqil Siradj, salah seorang kandidat yang termasuk gencar memasang spanduk dan baliho. Menurut dia, sah-sah saja cara orang memperkenalkan diri dengan spanduk maupun baliho.

Namun, tidak berhenti di situ, Said Aqil ikut menyentil calon lain yang juga melakukan hal yang sama dengan dirinya, yakni memasang spanduk dan baliho. "Tapi, di spanduk saya kan tidak menggunakan kebesaran orang lain, misalnya Gus Dur," sindirnya.

Gus Sholah menanggapi enteng sindiran yang dialamatkan kepada dirinya. ''Ya itu kan kreativitas anak-anak saya yang ingin mendukung ayahnya,'' ujarnya.

Dia menyatakan, sindiran Ahmad Bagja dan Said Aqil itu bisa jadi justru ada benarnya. ''Ya saya mau gimana? Menjadi keluarga Wahid itu bukan mau kami. Tapi, diakui atau tidak, itu kan advantage (keuntungan, Red),'' ujarnya.

Perebutan ketua umum PB NU ini bakal ramai. Selain tiga kandidat yang disebut di atas juga muncul empat nam lain. Mereka yakni Masdar Farid Mashudi yang kini masih menjabat salah satu ketua PB NU, mantan Ketua PW NU Jatim Ali Machsan Moesa, mantan Ketua PP Anshor Slamet Efendi Yusuf dan intelektual muda NU Ulil Abshar Abdallah.(dyn/hud/c2/tof)
Read More...

Ulil: Draft Perubahan AD/ART Untungkan Tim Hasyim Muzadi

Muhammad Nur Abdurrahman - detikNews

Jakarta - Kandidat ketua umum
PBNU Ulil Abshar Abdalla menilai draft perubahan Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) NU sengaja dibuat untuk memuluskan langkah KH Hasyim Muzadi menjadi Rais Am. Draf yang akan diplenokan di Muktamar ini akan memberikan wewenang lebih kepada Rais Am

Hal ini dilontarkan Ulil saat ditemui detikcom di Hotel Santika, Makassar, jalan Sultan Hasanuddin (23/3/2010). Meski demikian secara umum, Ulil mengakui isi draft AD/ART ada bagusnya jika wewenang dewan Syuriah atau institusi para ulama NU semakin diperluas.

Selain draft AD/ART NU, Ulil juga mengkhawatirkan draft tata tertib (Tatib) pencalonan ketua umum akan menjegal beberapa tokoh, termasuk dirinya. Dalam draft Tatib tersebut mensyaratkan kandidat ketua umum PBNU harus pernah menjabat sebagai pengurus harian di PBNU atau pimpinan di badan otonom NU.

"Hal tersebut kan masih akan diplenokan di muktamar nanti, saya optimis syarat-syarat itu akan direvisi," harap Ulil.

Menurut Ulil, figur Hasyim kurang sesuai untuk dijadikan Rais Am NU. Karakter yang sesuai di kalangan NU untuk menempati posisi Rais Am adalah sosok kiai yang ilmunya mendalam dan memiliki sikap tidak pamrih terhadap hal-hal duniawi.

"Di kalangan kiai-kiai sepuh NU itu, ada yang namanya tahu diri dan tidak menonjolkan diri sendiri untuk menjadi Rais Am. Sedangkan Hasyim dari awal ngotot mau jadi Rais Am, gaya Hasyim bukan gaya Rais Am, tapi gaya parpol," pungkas deputi direktur Freedom Institute ini.(mna/yid)
Read More...

NU Butuh Pemimpin Muda?

Tahun 1984, sejumlah anak muda NU mengambil alih pimpinan di bawah komando Gus Dur
SELASA, 23 MARET 2010, 10:00 WIB
Arfi Bambani Amri
Yenny Wahid dan Hasyim Muzadi (Antara/ Ismar Patrizki)

VIVAnews - Setiap suksesi atau pergantian kepemimpinan selalu memunculkan wacana mengenai kepemimpinan muda. Di NU hal yang sama juga terjadi.

Anak muda dinilai bisa ikut tampil dalam bursa kepemimpinan Nahdlatul Ulama (NU). Apalagi dalam sejarahnya anak mudalah yang berhasil memimpin dan sering memiliki inisiatif dan potensi untuk membesarkan organisasi.

Tokoh NU yang juga Mustasyar PBNU KH Mustofa Bisri menilai anak muda bisa memimpin NU ke depan. Sebab mereka memiliki pandangan jauh ke depan.

“Saya mengatakan anak muda yang harus tampil, harus ingat, umur berapa KH Wahid Hasyim, dan yang lain semua di umur dua puluhan,” ujarnya.

Pengasuh Pondok Pesantren Raudhatut Thalibien Rembang ini mengatakan pandangan bahwa yang tua tidak memberi kesempatan pada yang muda harus dihapus. Dia juga meminta anak muda berani tampil ke depan dan tidak harus menunggu yang tua.

“Anak muda harus tampil jangan sampai yang muda juga menyodorkan yang tua, itu menutup kesempatan mereka sendiri,” ujarnya.

Mustofa mengatakan anak muda perlu diberi peluang. Dia melihat usulan pembatasan periode kepemimpinan maksimal dua kali bisa menjadi pintu regenerasi

Tokoh NU lainnya KH Said Hudairy mengatakan dulu saat organisasi NU tidak terurus dan kepemimpinan mandek, anak muda yang tampil membenahi. “Saat itu anak muda seperti Sahal Mahfudz, Gus Dur, Mustofa Bisri, dan lain-lain merasa prihatin dan tampil membenahi,” kata Said, di Jakarta, kemarin.

Said yang juga termasuk salah satu dari mereka menceritakan saat itu elit dan pengurus NU tidak peduli lagi dengan organisasi. Mereka sibuk berpolitik dan mengamankan kursi di Senayan.

Akhirnya anak muda ini yang mengambil kepemimpinan dan membenahi organisasi. Mereka juga kemudian menyusun maklumat kembali ke khittah di tahun 1984. “Kami yang tergabung dengan tim tujuh menyusun pokok-pokok kembali ke khitah,” ujarnya.

Dalam Muktamar kemudian juga dilakukan penyegaran kepemimpinan. Sebab ketua umum PBNU KH Idham Cholid kala itu sudah lama tidak diganti-ganti. Akhirnya dibentuk formatur yang memilih Gus Dur jadi ketua umum. “Kalau tidak, dipilih langsung Kiai Idham bisa terpilih lagi,” ungkapnya.

Said mengatakan persoalan yang sama saat ini mulai tampak lagi. Karena itu dia menilai pembenahan perlu dilakukan dalam muktamar mendatang agar NU semakin baik ke depan.

Hasyim Muzadi juga mendukung hal itu. Dia mengatakan memimpin NU bukan soal tua atau muda. “Silakan saja maju, kalau punya potensi dan kapabilitas tidak masalah berapapun umurnya,” ujar Hasyim.

Dia mengatakan pemimpin NU hanya perlu memiliki kapasitas untuk memimpin organisasi terbesar di Indonesia itu. Orang yang mampu melakukan itu adalah orang yang memiliki kapabilitas, bukan dilihat dari usianya. Apalagi pemimpin Nu selama ini juga berasal dari kaum muda.

“Pak Idham dulu muda, Wahid Hasyim juga muda, Gus Dur juga relatif muda, dan saya saat terpilih dulu juga tidak setua sekarang. Jadi selama ini yang memimpin NU ya anak muda,” katanya.

Jadi, apakah Muktamar di Makassar mulai Senin 22 Maret 2010 menjadi momentum yang muda yang memimpin NU? Tunggu saja.

Laporan Dian Widiyanarko

Read More...

Wah, Banyak Peserta Muktamar Harus Tidur di Lantai

Laporan: Norman Ilmi. tribuntimurcom@yahoo.com
Tribun Timur/Abbas Sandji

Baliho Muktamar NU di Makassar
SENIN, 22 MARET 2010 | 22:09 WITA

MAKASSAR, TRIBUN-TIMUR.COM -- Jumlah peserta Muktamar NU sangat membludak. Dari kapasitas asrama haji 3.500 orang, peserta lebih dari 4.000.

Akibatnya, seperti pantauan Tribun, lebih dari 500 orang terpaksa harus tinggal di hotel, di mesjid, atau terpaksa harus tidur berdesak-desakan bersama kader NU di wisma haji ini walupun agak terpaksa harus tidur melantai.

Selain peserta, banyak juga panitia yang masih blum memiliki Id Card karena jumlah Id card panitia juga sudah habis.

Dan hingga saat ini, Prof Mukhtar Nurjaya, ketua panitia, masih tidak berada di asrama haji dan ponselnya belum bisa dihubungi. (*)

Read More...

Soal Palestina, NU Ogah Tiru PKS

Suriani

(istimewa)

INILAH.COM, Makassar - PKS boleh turun ke jalan menggelar aksi keprihatinan terhadap penderitaan rakyat Palestina yang telah diblokade oleh Zionis Israel. Tapi bagi NU tidak demikian.

"Kalau NU tidak terbiasa turun ke jalan, NU biasanya menggunakan wejangan yang baik dan berdebat dengan baik," kata ketua PBNU Said Agil Siraj, saat ditanya apakah siap turun ke jalan seperti kader PKS, di Makassar Senin (22/3).

Meski demikian, menurutnya persoalan Palestina bukan hanya menjadi persoalan bagi bangsa-bangsa di Arab tetapi menjadi perjuangan ummat Islam. Begitu juga di Indonesia.

Di sela-sela dialog para mufti yang membahas soal kemerdekaan bangsa Palestina dari Israel di Hotel Sahid Makassar, ia menegaskan bahwa para ulama mendesak para penguasa untuk membela Palestina.

"Para ulama bersama-sama mendorong penguasa untuk bersatu agar persoalan Palestina segera diselesaikan," jelas calon ketua umum PBNU ini. [mut]

Read More...
banner125125 d'famous_125x125 ads_box ads_box ads_box