NU, Oposisi atau Bersinergi

Monday, March 22, 2010
Senin, 22/03/2010 15:29 WIB
Muhammad Nur Hayid - detikNews

Jakarta - Menjelang Muktamar NU yang akan digelar di Makassar 23-28 Maret, berbagai diskusi dan perbincangan soal masa depan organisasi Islam terbesar di Indonesia itu terus dilakukan kalangan elit, kader muda sampai warga Nahdliyin sendiri. Mereka memiliki banyak harapan muktamar NU ke 32 di Makassar bisa menghasilkan keputusan strategis yang bisa membawa organisasi ini lebih bermanfaat bagi warganya.

Salah satu perbincangan hangat yang dilakukan elit dan kader muda NU adalah, mau dibawa kemana organisasi berlambang bola dunia dengan 9 bintang ini 5 tahun ke depan? Selalu bersikap keras dengan pemerintah seperti partai politik yang beroposisi, atau bersinergi dengan tetap mengedepankan asas maslahah. Caranya, tetap mengkritisi pemerintah jika membuat kebijakan yang salah dan menyengsarakan rakyat.

Menurut saya, NU ke depan harus diletakkan sebagaimana semangat lahirnya yaitu sebagai organisasi sosial keagamaan dan kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, kegiatan sosial dan pemberdayaan umat. Posisi ini harus tetap dipertahankan sampai organisasi ini mati. Politisasi NU sebagaimana yang terjadi pada tahun 1955 ketika NU menjadi partai politik sampai kembalinya NU ke khittah 1926 pada muktamar NU di Situbondo, Jawa Timur tahun 1984 ternyata lebih banyak membawa mudharat ketimbang manfaat.

Demikian juga dengan sekarang, membawa dan menyeret-nyeret NU ke dunia politik praktis dengan mendukung capres, cagub atau cabup tertentu, meski tidak dengan meresmikan NU sebagai partai politik juga akan menghancurkan masa depan NU. Betapa tidak, kader NU yang telah dewasa secara politik akibat derasnya arus informasi tidak akan bisa lagi diatur-atur pilihan politiknya dan tidak akan mau dikendalikan seperti maunya PBNU. Belum lagi soal potensi konflik antar warga NU yang bersaing jika NU dibawa-bawa dalam politik praktis. Di sinilah pentingnya peran NU dan pimpinannya untuk tetap berada di posisi tengah dan mengayomi semuanya.

Pilihan cerdas telah digagas Gus Dur Cs dalam deklarasi NU keluar dari PPP dan kembali ke Khittah 1926 dalam muktamar NU di Situbondo. Pilihan yang didasarkan pada niat dan keinginan menjadikan NU netral dan mengayomi semua di bidang politik terbukti membuat NU lebih leluasa dalam membuat sikap soal kebijakan pemerintah saat itu. Dengan menyatakan keluar dari partai politik yang sudah dikendalikan oleh rezim Orde Baru, Gus Dur Cs menjadikan NU lebih fokus mengurusi persoalan umat dengan memperbaiki urusan pendidikan, kesehatan, ekonomi dan sosial kemasyarakatan selain persoalan dakwah dan ibadah. Dan akhirnya tercapai juga tujuan itu dengan sekian kekurangannya.

Dalam beberapa catatan dan buku yang mengupas soal peran NU di masa Gus Dur, Presiden RI keempat itu dengan cemerlang menjadikan NU yang sebelumnya dinilai sebagai organisasi 'babon', suatu organisasi yang hanya besar tapi kurang diperhatikan dan diperhitungkan karena tidak solid dan tidak fokus, menjadi organisasi yang disorot. Dengan sikap NU yang netral dari politik praktis, NU menjadi organisasi yang dikenal di dunia internasional dan disegani di dalam negeri.

Di dalam negeri, NU menjadi katalisator dari bangkitnya kekuatan masyarakat sipil yang mulai berani berposisi beda dengan pemerintahan otoriter Orde Baru yang dikomandani Soeharto. NU juga bisa memainkan peran strategis sebagai kekuatan penyeimbang di saat semua kekuatan politik dibonsai oleh Soeharto. Sampai akhirnya karena tidak bisa menjinakkan Gus Dur Cs, kejengkelan rezim Soeharto harus membuat pilihan dengan memecah belah NU dalam muktamar di Cipasung pada tahun 1994. Pemerintahan saat itu mengajukan calon ketua umum PBNU, Abu Hasan yang diback up total pemerintahan saat itu.

Namun apa yang terjadi, merekayasa rezim saat itu yang ingin menjadikan Abu Hasan sebagai ketua umum PBNU menggantikan Gus Dur tidak bisa terealisasikan. Rezim Soeharto yang ingin 'merebut' NU dengan mendukung Abu Hasan di muktamar Cipasung dengan harapan NU bisa 'dikuasai' mendapat perlawanan sengit para kiai NU. Rekayasa Soeharto dibalas dengan bacaan salawat nabi sebagai tanda kemenangan dan ungkapan syukur atas berhasilnya kiai NU melawan rezim Soeharto. Kemenangan Gus Dur atas Abu Hasan saat itu sekaligus menjadi peringatan bahwa kekuatan kiai dan warga Nahdliyin saat itu masih solid menjaga NU dari upaya politisasi dan bonsai dari penguasa.

Semangat menjadikan NU yang dihargai dan diperhitungkan inilah yang kembali menyeruak menjelang muktamar NU ke 32 di Makassar tahun ini. Banyak kalangan dari para kiai, anak muda NU dan warga Nahdliyin mengharapkan masa keemasan NU di bawah kepemimpinan Gus Dur selama 3 periode itu bisa terulang. Tentunya dengan sekian perubahan pandangan dan paradigma karena tantangan dan persoalan yang dihadapi berbeda.

Kalau pada zaman kepemimpinan Gus Dur tugas besar dan berat NU adalah menjadikan Indonesia menjadi negara yang demokratis. Sekarang tantangannya bukan lagi soal itu. Reformasi 1998 sudah mengakhiri semua perjuangan NU soal demokrasi. Tantangan saat ini adalah mengawal hasil reformasi dan mengisinya dengan menjawab persoalan kemiskinan, pengangguran, pendidikan dan permasalahan sosial lainnya selain ancaman terorisme global.

Selama ini, PBNU belum bisa berkontribusi aktif dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat dan pendidikan warga nahdliyin khususnya serta ekonomi umat. Saya kira muktamar NU di Makassar harus menjawab semua problematika tersebut. Kalau pada saat Orba, perjuangan NU harus berhadapan dengan negara yang otoriter dan anti demokrasi. Dan NU secara tepat dan benar di bawah komando Gus Dur mengawal gerakan reformasi sampai Soeharto tumbang. Sekarang demokrasi politik sudah kita rasakan dan nikmati bersama.

Dalam tantangan inilah, muktamirin harus merumuskan strategi jitu agar NU bisa eksis dalam 50 atau bahkan 1.000 tahun mendatang. Dalam konteks ini pula ketua umum PBNU yang akan terpilih dalam muktamar ke 32 ini nanti harus benar-benar memiliki konsep yang cerdas dan jitu untuk menjawab persoalan warga nahdliyin dan bangsa Indonesia pada umumnya dalam beberapa hal di atas.

Ada dua pilihan alternatif yang bisa dilakukan. Beroposisi sebagaimana yang dilakukan partai politik atau bersinergi kritis dengan pemerintah. 2 Pilihan ini menjadi tidak terelakkan sebagai pilihan sikap NU dalam 5 tahun mendatang. Muhammadiyah dengan pilihan sikapnya yang kooperatif dengan pemerintah pada saat rezim Orba berkuasa terbukti bisa membawa banyak manfaat kepada organisasi dan warga Muhammadiyah.

Berbagai institusi seperti lembaga kesehatan dalam bentuk rumah sakit, lembaga pendidikan dalam bentuk universitas serta lembaga sosial dalam bentuk panti-panti asuhan pun berkembang pesat dan maju serta tersebar merata di tanah air. Bahkan tak jarang lembaga-lembaga yang ber-atas nama Muhammadiyah itu mendapat pengakuan dari nasional dan global.

Sementara, NU yang lahirnya tak jauh beda dengan Muhammadiyah, sampai saat ini masih belum memiliki lembaga kesehatan, pendidikan dan panti sosial yang sebaik Muhammadiyah. Kalau pun ada hanya bisa dihitung jari. Memang pada masa Gus Dur sempat digagas beberapa terobosan seperti pembangunan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dalam bidang ekonomi, tetapi program ini masih belum bisa kita rasakan hasilnya, kalau kita tidak berani mengatakan gagal.

Menurut saya, dengan tetap mengawal Khittah 1926, NU ke depan harus bersinergi kritis dengan pemerintah. NU bisa bersama pemerintah bekerja sama melakukan langkah taktis dan strategis untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang notabene mayoritas warga Nahdliyin. Bersinergi dengan pemerintah akan dapat memberikan peran strategis NU untuk meningkatkan nasib warganya dalam bidang pendidikan, ekonomi dan sosial kemasyarakatan. Apalagi saat ini banyak warga NU yang menjadi menteri di pos-pos strategis, selain Presiden SBY sendiri yang secara kultural adalah penganut Islam ahlussunnah waljamaah.

Pilihan bersinergi ini semakin kuat ketika peta geopolitik nasional dan global sedang dalam suasana perang terhadap terorisme. NU sebagai organisasi yang mengikuti paham ahlussunnah waljamaah, dengan pilihan pemahaman Islam inklusif dan toleran akan dengan sangat mudah bekerjasama dengan pemerintah untuk bersama-sama meminimalisir gerakan-gerakan radikalisme beragama akibat salah tafsir yang mengakibatkan aksi-aksi terorisme.

Pilihan oposisi sebagaimana yang dilakukan Gus Dur saat memimpin NU tidak lagi tepat karena tantangan saat ini jauh berbeda dengan saat itu. Demokrasi sudah dapat kita nikmati sampai pemilihan bupati dan walikota dipilih langsung oleh rakyat, selain presiden. Meski perjuangan menegakkan demokrasi harus tetap kita kawal dan lakukan. Pilihan bersinegi secara kritis menjadi pilihan rasional dan solutif karena tidak menjadikan NU terbonsai oleh pemerintah, tetapi bermitra.

Sebab, dengan bersinergi kritis, NU bisa mengkritisi program dan kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat. Di sisi lain, dengan bersinergi, NU bisa berpartisipasi aktif menyukseskan program-program pemerintah yang pro rakyat dan umat. Bukannya tujuan didirikannya organisasi NU oleh Mbah Hasyim Asy'ari dan kawan-kawannya untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada warga nahdliyin dan umat Islam pada umumnya, selain bangsa Indonesia?

Selamat bermuktamar, semoga keputusan muktamar membawa berkah bagi semua umat manusia sebagaimana jargon NU selama ini, mendakwahkan Islam yang rahmatan lilalamin.

Muhammad Nur Hayid, Anak Muda NU yang menjadi wartawan detikcom. Tulisan ini
mewakil pikiran dan gagasan penulis dan tidak ada kaitannya dengan sikap
perusahaan.
(yid/nrl)

0 comments:

Post a Comment

banner125125 d'famous_125x125 ads_box ads_box ads_box