NU di Persimpangan Jalan

Thursday, March 18, 2010

Jumat, 19 Maret 2010 | 04:44 WIB

Oleh Mohammad Bakir

Selang 100 hari setelah KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur wafat, dalam pertemuan di Pasuruan, Jawa Timur, Guru Besar Sosiologi Universitas Airlangga Kacung Maridjan mendapat pertanyaan dari sejumlah ulama. Para ulama mempertanyakan perbedaan pluralitas dan pluralisme.

Setelah mendapat penjelasan, para ulama tidak mempersoalkan pluralitas karena merupakan kodrat dari Tuhan. Tentang pluralisme, mereka masih terus bertanya karena fatwa Majelis Ulama Indonesia telah mengharamkan.

”Meski saya menerangkan berkali-kali, mereka masih belum sepenuhnya paham. Mungkin bahasa saya tak cocok. Yang bisa menjelaskan itu dengan mudah dan langsung diamini ulama pedesaan, ya, Gus Dur. Saya belum lihat ada elite NU sekarang yang punya keterampilan seperti itu,” katanya.

Untuk mengubah pemahaman ulama tersebut, menurut tokoh NU Halim Mahfudz, tidak bisa dilakukan lewat seminar. ”Mereka tak mungkin datang ke seminar hanya untuk mendengar ceramah tentang pluralisme. Yang paling mungkin, didatangi satu per satu, diajak mengobrol dalam bahasa mereka. Dan, yang bisa melakukan itu, ya, hanya Gus Dur,” papar Halim.

Membuat yang rumit menjadi gampang dicerna itulah salah satu kelebihan Gus Dur. Dialah yang selama ini menjembatani hampir semua persoalan kehidupan beragama dan berbangsa dari dan keluar NU. Hanya Gus Dur pula yang bisa menjelaskan gagasan membumikan Islam tanpa menimbulkan gejolak di pesantren tradisional (salaf). Untuk memuluskan gagasannya, Gus Dur menggunakan metode ushul fiqh (filsafat hukum) yang juga diajarkan di pesantren.

Pada Musyawarah Nasional Alim Ulama di Bandarlampung tahun 1992, Gus Dur dan para ulama progresif NU membuat terobosan; antara lain mengubah cara pengambilan hukum yang selama ini berpegang pada pernyataan imam mazdhab (istinbat qauli) menjadi istinbat manhaji, yaitu memakai metode yang dipakai imam mazdhab.

Dengan pendekatan baru itu ulama dituntut lebih mendalami ushul fiqh agar dapat memahami konteks sehingga fatwa yang dihasilkan lebih membumi. Namun, istinbat manhaji ini belum berjalan baik.

Kecenderungan ini yang secara langsung atau tidak membuat sebagian nahdliyin terjebak pada pragmatisme dan terkesan oportunis.

Kemandirian

Muktamar NU di Makassar nanti sangat penting untuk memikirkan agar NU kembali punya kemandirian sikap dalam bermasyarakat dan berbangsa, seperti juga diungkap para kandidat Ketua Umum PB NU, seperti Masdar F Mas’udi, Ali Maschan, dan Salahuddin Wahid. Ada tuntutan untuk tetap berpegang pada Khittah 1926, yaitu NU tetap menjadi organisasi sosial keagamaan dan tak terlibat politik praktis.

Sejak menjadi lokomotif pengendali NU, Gus Dur, demikian Kacung Marijan, telah berusaha membawa semangat Khittah 1926. Namun, yang lebih mengemuka adalah gerakan moderat Islam dan kebangsaan.

Upaya membawa NU sebagai gerakan ekonomi rakyat belum membawa hasil bermakna. Padahal, kemandirian sikap itu hanya dapat dicapai melalui kemandirian ekonomi. Begitu pentingnya mencapai kemandirian ekonomi sehingga Kacung Marijan menganggap hal itu sebagai persoalan utama NU agar menjadi organisasi masyarakat sipil yang mampu melakukan fungsi kontrol dan penyeimbang bagi pemerintah.

Siapa pun nanti yang memimpin NU, kemandirian itu harus dicapai dengan memperbaiki organisasi, memiliki pengurus yang menyerap aspirasi warga, dan dapat memotivasi nahdliyin aktif berorganisasi dengan fokus mengatasi kesenjangan ekonomi, sosial, dan pendidikan. Jumlah anggota yang diklaim sekitar 40 juta orang adalah peluang mencapai kemandirian.

Saat ini, banyak nahdliyin memanfaatkan NU tanpa memikirkan warga NU yang sebagian besar hidup dalam kemiskinan. Inilah salah satu tantangan NU ke depan apabila tidak ingin NU besar dalam jumlah, tetapi lemah kekuatan tawarnya. (NMP/BUR)

Read More...

Masdar: Tafidziyah Bertugas Menyiapkan “Speaker” untuk Syuriyah

Kamis, 11 Februari 2010 12:19

Jakarta, NU Online
Penguatan kepemimpinan syuriyah pada periode kepengurusan PBNU mendatang mutlak dilakukan. Aturan yang ada memang telah memosisikan syuriyah di atas tanfidziyah, hanya saja dalam perjalannan sejarah NU Tanfidziyah kemudian tampil lebih dominan.

Menurut Ketua PBNU KH Masdar Farid Mas’udi, penguatan syuriyah malahan harus dilakukan oleh tanfidziyah. Ibarat sedang menjalankan shalat berjamaah dan syuriyah sebagai imamnya, maka tanfidziyah bertugas menyiapkan alat pengeras suara agar suara imam bisa didengarkan oleh jamaah Nahdliyin yang semakin banyak dan berada di mana-mana.

”Jamaahnya kan sekarang bertambah banyak dan ada dimana-mana, jadi harus ada speaker. Kalau tidak ya suara imam ini tidak akan didengarkan oleh jamaah. Dan yang bertugas menyiapkan microphone kan tanfidziyah, karena tidak pada tempatnya kalau imam menyiapkan microphone sendiri,” katanya kepada NU Online usai memimpin rapat penyiapan draft materi Komisi Organisasi Muktamar ke-32 di kantor PBNU Jakarta, Rabu (10/2).

Penguatan syuriyah juga bisa ditempuh dengan menyelenggarakan pertemuan rutin syuriyah di berbagai tingkatan untuk membiacara berbagai kebijakan yang perlu diambil, terkait berbagai persoalan keorganisasian yang sedang berkembang. Selama ini rapat-rapat keorganisasian selalu hanya identik dengan tanfidziyah.

”Syuriyah PBNU perlu secara rutin mengadakan pertemuan, misalnya juga dengan mengundang syuriyah di level PWNU. Lalu Syuriyah PWNU mengumpulkan syuriyah PCNU dan seterusnya ke bawah. Kalau tidak pernah mengadakan pertemuan ya mana mungkin membicarakan persoalan bersama,” katanya Masdar yang juga perintis adanya halaqoh-halaqoh di lingkungan NU dan pesantren.

Masdar menambahkan, penguatan syuriyah juga harus ditempuh dengan cara memilih sosok pemimpin syuriyah yang tepat. Menurutnya pemimpin atau rais syuriyah tidak boleh mempunyai cacat sosial. ”Semua orang pasti ada cacatnya tapi untuk rais syuriyah perlu dipilih dari sosok kiai yang tidak punya cacat publik,” pungkasnya. (nam) Read More...

Ingin Bangga Jadi Orang NU

Oleh: Ahmad Tohari


"Afdolnya, ketua umum PB NU bukan dari kalangan politisi." Itu kata Mas Karso Wachidi, orang Cilacap, Jawa Tengah. Menurut warga NU yang amat setia itu, hanya orang yang punya semangat mengembangkan pemberdayaan masyarakat yang bisa mengubah gerakan NU yang sekarang melempem ini. Masih kata Mas Karso, selama ini arah gerakan NU lebih berorientasi elitis, mengerucut ke atas, melayani kepentingan para elite. Padahal, seharusnya gerakan NU berorientasi populis, melebar ke bawah untuk menyejahterakan umat. Kalau tidak terjadi perubahan orientasi itu, NU akan tetap seperti sekarang; mati tidak, hidup juga tidak. Dengan begitu, kondisi warganya akan tetap serba tertinggal.


"Menjadi orang NU saat ini tidak ada bangga-bangganya, malah sebaliknya, malu! Sebab, lembaga maupun warga NU sudah tercitra sebagai entitas yang ketinggalan zaman, terpecah-belah, dan lebih dimainkan untuk mendukung kepentingan kekuasaan para tokoh dan pemimpinnya. Saya ingin tidak malu lagi jadi orang NU. Tolong sampaikan perasaan saya ini kepada mereka yang di atas; percayakan kepemimpinan NU kepada orang yang benar-benar ingin berkhidmah kepada umat. Orang seperti ini bisa melihat alamat Allah pada wajah umat yang bodoh, dibodohi, miskin dan dimiskinkan. Dan itu jelas bukan dari kalangan politisi."


***

Mas Karso adalah warga NU biasa. Kondisi ekonomi keluarganya pas-pasan. Pekerjaannya pun tidak tetap. Kelebihan Mas Karso hanya pada kesetiaannya terhadap NU yang luar biasa, tahan banting. Namun, penilaian dan harapannya tadi tidak mungkin diabaikan. Mas Karso telah mengemukakan dan menggugat sesuatu yang sangat mendasar. Karena amat mendasar, bila gugatan itu tidak dipenuhi, NU akan kehilangan masa depan. Dan bisa dipastikan gugatan Mas Karso sesungguhnya mewakili suara hati banyak warga NU di tingkat akar rumput yang ingin bangga dan tidak lagi malu menjadi warga nahdliyin.


Menurut alur pikir Mas Karso, kebanggaan menjadi warga NU mungkin terwujud hanya bila organisasi massa ini meninggalkan orientasi elitis dan berbalik 180 derajat menjadi berorientasi populis atau keumatan. Dengan orientasi itu, agenda-agenda untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan nyata umat harus menjadi prioritas utama. Masalah-masalah sosial yang membelit umat seperti pendidikan, kesehatan, pengembangan ekonomi dan SDM akan menjadi agenda nomor satu. Pada sisi lain, kegiatan-kegiatan ritual-simbolik yang ternyata juga menyerap banyak sumber daya umat bisa dikurangi sampai ke titik yang lebih proporsional.


Tentulah banyak warga nahdliyin yang setuju dengan pikiran Mas Karso, termasuk saya. Tapi, realitasnya hingga saat ini NU tetap berorientasi elitis dengan segala akibat negatifnya yang terlihat jelas. Pemenuhan kebutuhan umat akan sekolah yang baik, rumah sakit, koperasi, pendampingan di bidang pertanian masih sangat minim. Semua itu gara-gara NU tetap berorientasi ke atas. Hal tersebut mengingatkan saya kepada ucapan Gus Dur kepada saya pada sekitar 1996. Saat itu Gus Dur bilang kepada saya, "Bila NU tidak bisa memberikan manfaat nyata kepada umat dan hanya digunakan untuk membela kepentingan para elitenya, saya akan mengambil jarak dari kepengurusan."


***

Kenyataan yang terbukti membuat NU makin payah ini pernah saya diskusikan dengan Mas Karso.

"Mas, membalik orientasi NU ke arah kemaslahatan umat memang bagus. Tapi, apa hal itu mungkin dan tidak akan menjadi retorika belaka?" tanya saya.

"Kenapa tidak mungkin?"

"Mari kita renungkan. Dari namanya saja, NU sudah cenderung elitis. Bukankah NU berarti kebangkitan para ulama dan ulama adalah kelompok elite di kalangan umat? Dengan demikian, NU juga milik para ulama. Maka, NU mau diberi orientasi ke mana pun adalah hak si pemilik. Umat hanya menempati posisi objek yang harus taat saja. Iya kan?"

Mata Mas Karso terbelalak. Dia mengusap-usap dahi dan wajahnya tampak gagap.

"Sampean benar dan itulah kenyataannya. Tapi, nanti dulu. Dalam hal keagamaan, umat memang wajib taat kepada pemimpin, dalam hal ini para ulama. Itu kewajiban umat yang sudah jadi harga mati. Tapi, NU adalah sebuah organisasi massa. Jadi, kepentingan dan kesejahteraan umat itulah, yang utama. Dan itu menjadi kewajiban harga mati para pemimpin.

"Jelasnya begini," sambung Mas Karso. "Saya meyakini NU adalah kendaraan umum buatan para ulama-mukhlisin (ulama yang ikhlas, Red), disopiri para ulama-mukhlisin untuk mengangkut umat..."

"Ke mana?" potong saya.

"Ya, mestinya bukan ke arah yang lain -kepentingan para pemilik untuk meraih kekuasaan misalnya- tapi ke arah kemaslahatan umat. Yang dituju oleh NU mestinya masyarakat nahdliyin yang maju pendidikannya karena dulu para ulama sudah membangun lembaga tasfirul afkar; yang maju ekonominya karena semangat nahdlatut tujar, serta yang maju jiwa kebangsaannya karena semangat nahdlatul wathan. Bila NU dibawa atau dipakai untuk mencapai kekuasaan, siapa yang membawanya? Ulama atau bukan ulama?"

Saya diam dan senyum.

"Kendaraan NU buatan para ulama-mukhlisin harus diarahkan menuju kemaslahatan umat," tegas Mas Karso.

"Dan itu hanya mungkin dicapai bila NU dipimpin oleh orang yang bisa menangis ketika melihat keterbelakangan umat dan pemimpin seperti itu pasti bukan dari kalangan politisi?" tanya saya mengulang.

Saya melihat Mas Karso mendesah panjang.

"Sebenarnya tidak demikian benar. Politikus, kalau dia juga negarawan, tentu bisa merasa terharu ketika melihat jutaan umat yang miskin, bodoh, dan sakit-sakitan. Masalahnya, masih adakah politikus-negarawan saat ini. Tidak! Politikus Indonesia saat ini adalah kaum yang kemaruk dan manja, pragmatis semua, dan selalu bermimpi tentang kejayaan diri. Umat dinomorsekiankan."

"Baik, Mas Karso, saya setuju. Dengan demikian, siapa pilihan sampean untuk calon rais am dan ketua umum PB NU?"

"Ah, saya kan tidak punya hak memilih. Walaupun begitu, saya punya kriteria. Yakni itu tadi; siapa saja yang bisa membuat kita tidak lagi merasa malu menjadi orang NU, silakan memimpin NU dan kita dukung. Mereka haruslah orang yang bisa melihat kemiskinan dan kebodohan umat sebagai alamat Allah. Dan kepada falah yang diridai Allah-lah, mereka akan membawa kita," jawab Mas Karso dengan mata menyala-nyala.

Ahmad Tohari, budayawan
Read More...

Masdar: NU Perlu Dikembalikan Lagi ke Khittah

Ahad, 14 Maret 2010 18:01

Jakarta, NU Online
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Masdar Farid Mas’udi menilai problem NU saat ini lebih serius dibanding tahun 1984, yakni pada saat NU menyatakan kembali ke Khittah 1926 dan melepaskan diri dari partai politik.

Hal itu disampaikannya saat memberikan sambuatan dalam acara tahlilan 100 hari almarhum HM Said Budairy di Masjid Baitul Ilmi, JL Gatot Subroto Jakarta, Ahad (14/3). Said Budairy sendiri adalah salah seorang tokoh yang memelopori NU kembali ke Khittah.

Menurut Masdar, NU mengalami 4 fase. Fase pertama pada 1926 saat NU dilahirkan hingga 1953. Fase ini disebutnya sebagai periode salaf, atau NU menjadi organisasi sosial kemasyarakatan atau jam’iyyah diniyah ijtimaiyyah.

Fase kedua adalah semenjak 1953 pada saat NU menjadi partai politik hingga 1984 pada saat NU ke khittah. ”Keinginan untuk menjadi partai politik semenjak tahun 1953 itu tentunya bukanlah keinginan perseorangan, tapi keinginan kolektif dan merupakan rekomendasi dari banyak pihak,” katanya.

Fase ketiga adalah semenjak NU kembali ke khittah pada 1984. Pada fase ini NU berusaha kembali ke khittah 1926 dan pada beberapa ukuran tertentu telah berhasil. NU telah menjadi bagian dari kekuatan masyarakat sipil.

Namun fase ini berakhir pada 1999, sejak berakhirnya kepengurusan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Sejak 1999 itu hingga menjelang muktamar 2010 ini NU memasuki periode yang tidak jelas, apakah ia menjadi organisasi sosial kemayarakatan atau partai politik.

”Banyak yang menyebutnya periode khelaf. Secara formil NU adalah organisasi sosial kemasyarakatan, jam’iyyah diniyah ijtimaiyyah, tapi perilakunya adalah perilaku partai politik,” katanya.

Menurut Masdar, kondisi itu juga tidak disebabkan oleh perilaku perorangan. Banyak faktor yang menjadi penyebab, terutama eforia reformasi dan kebebasan beraktifitas di dunia politik. Sementara NU adalah organisasi massa besar yang pastinya mempunyai kekuatan politik.

Namun menurut Masdar yang juga kandidat ketua umum PBNU itu, kondisi NU saat ini sudah disadari banyak pihak dan telah ada keinginan untuk mengembalikan NU ke Khittah lagi.

”Sekarang ini sudah banyak yang menyadari bahwa kondisi seperti ini tidak bisa diteruskan. Memang terlalu cepat, pada 1984 kita kembali ke Khittah kog sekarang mau dikembalikan lagi, terlalu cepat. Tapi ya kondisinya sudah seperti ini,” katanya. (nam)
Read More...

Said Aqil: NU Semestinya Kembali ke Pesantren

Kamis, 18 Maret 2010 21:16

Jakarta, NU Online
Sebagai institusi, Nahdlatul Ulama (NU) semakin kuat seiring dengan tingginya kualitas sumberdaya Nahdliyin. Saat ini yang perlu segera dilakukan adalah mencurahkan segala kekuatan NU untuk pemerataan kualitas masyarakat nahdliyin, terutama di bidang pendidikan dan ekonomi.

Demikian dinyatakan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Agil Siradj di Jakarta, Kamis (18/3). Menurut Said, optimalisasi lembaga pendidikan di kalangan NU, yakni pesantren, dapat dilakukan dengan memperjuangkan pembenahan infrastruktur lembaga pendidikan di lingkungan pesantren dan profesionalitas tenaga pendidikan yang ada.

“Objek dari segala konsentrasi NU itu adalah masyarakat pesantren. Saya telah berkeliling ke pesantren-pesantren, kantong-kantong NU di seluruh Indonesia, dan kebanyakan mereka menginginkan agar NU berkonsentrasi di bidang ekonomi," kata Kang Said -sapaan akrab KH Said Agil Siradj.

Lebih lanjut Kang Said menjelaskan, ke depan NU akan semakin meningkatkan kepeduliannya terhadap lembaga pendidikan yang telah berkembang di lingkungan pesantren. Salah satunya agar lulusan pesantren tidak lagi mengalami kesulitan persis seperti zaman dulu.

“Saya optimistis hal ini dapat tercapai karena NU tidak perlu memulai dari nol. Misalnya, sebuah pesantren di Jawa Timur bernama Sidogiri telah menekuni bidang ini sejak 1997 dan sekarang omsetnya Rp800 juta pertahun. Belum lagi pesantren-pesantren lain yang telah mengembangkan sektor pertanian, peternakan, dan perikanan. NU harus mendukung total mereka agar roda ekonomi masyarakat pedesaan dapat bergerak lebih cepat," tandas Kang Said (min)
Read More...

Muktamar NU Melintas Batas

28/01/2009

Keputusan rapat gabungan Syuriyah-Tanfidliyah PBNU yang memutuskan Muktamar NU ke-32 akan diselenggarakan di Makassar Sulawesi Selatan adalah merupakan terobosan penting yang dilakukan organisasi ulama pesantren dan kaum Ahlussunnah Waljamaah ini. Ini penting sebab NU telah menyebar ke seluruh wilayah Nusantara, tetapi selama beberapa dasawarsa ini muktamar sebagai sarana penyiaran dan konsolidasi NU hanya diselenggarakan di ulau Jawa. Padahal sejak awal muktamar NU telah dikembangkan ke daerah luar Jawa, terutama di kantung-kantung Ahlussunnah Waljamaah yang ada di sana.

Mengapa Kiai Wahab Chasbullah harus menunggu restu dari KH Hasyim Asy’ari untuk mendirikan Nahdlatul Ulama, walapun Kiai ini sebelumnya telah mendirikan Nahdlatut Tujjar, Nahdlatul Watan dan Taswirul Afkar, tanpa menunggu restu secara khusus dari ulama mana pun. Kiai Wahab memang sangat energik, memiliki kemampuan organisasi yang baik, bahkan pernah masuk Sarekat Islam meski merasa tidak kerasan di situ. Salah satu alasannya adalah karena melihat ada kekuatan lain yang bila dikelola akan menjadi kekuatan besar tak tertandingi, yaitu kekuatan ulama.

Walaupun memiliki kemampuan organisasi yang tinggi, tetapi Kiai Wahab sadar betul bahwa simpul jaringan Islam Nusantara tidak berada di tangannya, melainkan ada di bawah kendali KH Hasyim Asy’ari, terutama sejak Makkah dikuasai oleh aliran Wahabi mulai tahun 1924 M. Restu dan keaktifan Kiai Hasyim akan memudahkan gerakan Kiai Wahab untuk membuat organisasi berskala Nusantara, tidak seperti sebelumnya yang hanya berskala Jawa atau bahkan hanya Surabaya.

Sementara Kiai Hasyim sendiri juga merasa bahwa ia juga memiliki senior yang juga turut memegang simpul jaringan Islam Nusantara yaitu KH Cholil Bangkalan Madura. Untuk itulah, walaupun telah setuju dengan usulan Kiai Wahab, Kiai ini masih menunggu restu dari Kiai Cholil. Ketika restu itu diberikan, maka Nahdlatul Ulama segera dimaklumatkan berdirinya. Benar dugaan Kiai Wahab, setelah Kiai Hasyim terlibat, maka seluruh jaringan yang dimiliki Kiai hasyim Asy’ari yang ada di seluruh pelosok Nusantara menyatakan ikut dalam organisasi Nahdlatul Ulama. Maka tidak heran dalam Muktamar pertama dan kedua sudah diikuti oleh berbagai utusan dari beberapa wilayah Nusantara.

Perkembangan ini bisa dilihat dalam penyelenggaraan Muktamar. Setelah Muktamar ketiga tidak lagi diselenggarakan di Surabaya, tetapi mulai keluar dari tanah kelahirannya menuju Semarang (1929), tahun berikutnya Muktamar dilaksanakan di Pekalongan (1930). Tahun Berikutmya telah meluas lagi ke Cirebon (1931) yang merupakan pendukung militan NU sejak berdiri. Setelah itu Muktamar ke-7 diadakan di Bandung (1932), seterusnya sampai merambah ke pusat Ibu Kota Jakarta (1933). Bahkan Muktamar ke 11 kemudian dilaksanakan di Banjarmasin Kalimantan Selatan (1936), kota ini merupakan basis Ahlussunnah yang sangat kuat, yang mendukung NU sejak berdiri. Muktamar NU ini sengaja untuk menyebarkan NU dan sekaligus mengkonsolidasi kekuatan Ahlusunnah, karena itu Muktamar NU ke 19 diadakan di Palembang tahun 1952. Beberapa tahun berikutnya Muktamar ke 21 tahun 1956, diselenggarakan di Medan, sumatera Utara, Karena di sana basis aswaja juga sangat kuat.

NU bukanlah organisasi baru yang baru muncul tahun 1926, melainkan sebuah jaringan lama yang muncul sejak beberapa abad sebelumnya, karena ini merupakan tradisi pemikiran, tradisi keagamaan dan juga tradisi politik yang sudah terlembaga secara kuat sejak beberapa ratus tahun yang lalu, yakni sejak masuknya Islam ke Nusantara ini yang dibawakan oleh para ulama ahlusunnah yanga tersebar sejak dari Aceh sampai Ternate. Sehingga jaringan itu begitu saja bangkit ketika dibangkitkan oleh ulama yang memegang simpulnya, yaitu KH Hasyim Asy’ari yang memegang jaringan kultural, dan Kiai Wahab Chasbullah yang piawai dalam mengelola jaringan struktural.

Para ulama se-Nusantara ini sebenarnya adalah satu ikatan akidah, ikatan madzhab dan bahkan ikatan keluarga. Hampir seluruh ulama pendiri NU adalah masih keturunan Walisongo baik Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kudus dan sebagainya. Sementara para ulama NU di Luar Jawa juga keturunan Wali yang ada di sana seperti Hamzah Fansuri, Abdushomad al-Palimbangi, Arsyad Albanjari. Sementara ulama NU yang ada di Sulawesi juga keturunan para penyebar Islam Awal, sejak agama ini diperkenalkan di wilayah ini oleh dua santri Sunan Giri (Gresik), yang berasal dari Minagkabau yaitu Datuk ri Bandang yang diutus Sunan Giri untuk memperkenalkan Islam ke wilayah itu pada abad ke-16, yang akhirnya juga beranak pinak di sana.

Para kiai Yang ada di Sulawesi selatan baik di Sengkang, Wajo, Pare berkawan dekat baik dengan para kiai yang ada di Jawa yang kemudian mendirikan NU, seperti Kiai As’ad dari Sengkang misalnya yang telah berkenalan lama dengan para ulama di Jawa. Sehingga ketika NU didirikan mereka ikut terlibat. Oleh karena itu ketika secara resmi NU diperkenalkan oleh KH Wahid Hasyim pada Awal 1950-an, maka kehadiran organisasi NU diterima secara baik oleh masyarakat di sana, tidak hanya kalangan ulamanya, tetapi juga diterima oleh kalangan bangsawan dan raja, sehingga NU bisa cepat menyebar di sana. Ini tidak lain karena jaringan Ahlussunnah juga telah menyebar di sana.

Bahkan jauh sebelum itu, sebenarnya aliran Aswaja telah menjadi nafas Islam di Sulawesi Selatan, yakni sejak awal kedatangan Islam ke kerajaan Gowa dan Bone. Ketika para dai keturunan Arab yang diperkirakan datang pada awal abad ke enam belas telah banyak menikah dengan para bangsawan setempat dan melahirkan banyak sekali generasi Islam pribumi pertama. Generasi pertama para penyebar Islam yang datang ke Makassar adalah Syeikh Jumadil Kubra, salah seorang saudara dari Maulana Malik Ibrahim yang menetap di Jawa Timur. Sejak saat itu, mulailah banyak di kenal nama-nama arab kelahiran Sulawesi Selatan. Di sana kemudian berkembang spiritualitas Islam melalui pengajaran-pengajaran Thariqat dan telah dikenalnya hukum Islam dalam disiplin fikih.

Karena perkembangan keagamaan mesti dibutuhkan topangan berupa lembaga pendidikan, maka pesantren kemudian menjadi sentra pendidikan kader. Sejalan dengan para Walisongo yang telah mulai memasyarakatkan Islam ke level masyarakat terendah di Jawa, maka di Makassar pun kita telah mengenal Pesantren Bontoala. Pesantren ini telah melahirkan berbagai kader ulama handal, baik tingkat lokal hingga internasional. Salah satu di antara ulama alumni Pesantren Bontoala yang paling terkenal adalah Syeikh Yusuf al-Makassari, seorang bangsawan yang pernah menjadi Qodhi di Kesultanan Banten, dan gigih melawan penjajahan Belanda hingga diasingkan ke Afrika Selatan oleh pemerintah kolonial. Para ulama alumni pesantren Bontoala inilah yang kemudian menyebarkan Islam ke seluruh pelosok Sulawesi Selatan. Pesantren As’adiyah dan Madrasah Amiriyah adalah bukti bahwa NU tidak pernah surut dari Sulawesi Selatan.

Sementara itu, seiring berangsurnya waktu, mulai timbullah berbagai pesantren di sana. Pesantren generasi kedua yang paling populer adalah Pesantren “Pengajian Pulau Salemo”. Pengkaderan ulama ini bertempat di sebuah pulau bernama Salemo. Selain mengaji dan memperdalam ilmu agama, sebagaimana di tempat-tempat lainnya di Nusantara, para santri di sini adalah para pejuang kemerdekaan. Dari oengajian Pulau Salemo ini kita mengenal generasi Anregurutta Ambo Dalle, Puang Rama, dan K. Ahmad Bone. Sejak tahun 1920-an mereka intens membangun komunikasi pergerakan dengan para santri di Jawa. sehingga ketika di Jawa didirikan Nahdlatul Ulama (NU)pada tahun 1926, maka para santri di Makassar ini pun kemudian turut bergabung, meski sebenarnya di sana mereka juga memiliki perkumpulan bernama Rabithatul Ulama (RU) dan Dewan Dakwah wal-Irsyad (DDI).

Dengan demikian, sungguh keaswajaan, bahkan ke-NU-an sebenarnya telah menjadi darah daging dalam sejarah Islam di Sulawesi Selatan. Perkembangan fikih dan tradisi Tharikat, termasuk perjuangan para ulamanya, adalah bukti keaswajaan yang sahih bagi masyarakat di sana. Bahkan ketika NU sedang bergulat dengan sejarahnya,. Para ulama dari Sulawesi Selatan selalu ambil bagian dalam proses sejarah tersebut. Tentu nama KH Sanusi Baco, sorang tokoh yang turut membidani lahirnya Khittah 1926 NU pada tahun 1984 di Situbondo. Nama-nama seperti Andi Mappanyuki, KH Muhtar Nur, KH Kharitsah, KH Hafidh Yusuf, Rahim Assegaf (Puang Makka), Yunus Martan, serta Muis Kabri juga merupakan salah satu bukti bahwa Aswaja dan NU adalah bagian integral bagi Islam di Sulawesi Selatan.

Sebenarnya Penyelenggaraan Muktamar di wilayah ini akan membangkitkan kekuatan NU yang pernah besar di kawasan itu, yang pengaruhnya hingga sekarang masih cukup mendalam. Dengan adanya Muktamar NU ini diharapkan gairah menggerakan NU akan semakin tinggi, sehingga NU akan semakin luas dikenal oleh masyarakat. Dengan kuatnya NU, berbagai tradisi masyarakat setempat yang mulai terkikis, mulai dari pesantren serta berbagai amalan dan ibadah khas Ahlussunnah akan bisa dilestarikan kembali. Untuk menjadi keanekaragaman budaya dan kelestarian ajaran Aswaja sendiri.

Atas terobosan itu, banyak kalangan memberikan penghargaannya, hanya sayang kata mereka, Muktamar masih dilaksanakan di Asrama Haji Bukan di pesantren. Padahal di sana banyak pesantren yang layak dijadikan tempat Muktamar, sebab dengan ditempati Muktamar, pesantren akan terangkat dan maju seperti beberapa pesantren di Jawa dan Nusan Tenggara yang maju dan terkenal berkat Muktamar NU. Selain itu Pesantren yang bersangkutan dengan sendirinya akan menjadi pusat gerakan NU. Itulah yang mereka harapkan, seperti pada beberapa kali Muktamar sebelumnya. (Abdul Mun’im DZ)
Read More...

Program NU Harus Lebih Riil

Hendaknya Tidak Sebatas Menangani Masalah Religi dan Politik

Kamis, 18 Maret 2010 | 10:40 WIB

Surabaya, Kompas - Kaum nahdliyin menginginkan program Nahdlatul Ulama ke depan lebih riil, tidak hanya sebatas menangani masalah religi dan politik seperti yang selama ini lebih dominan. Masalah pendidikan, kesehatan, peningkatan pertanian, dan sumber daya ekonomi lainnya harus lebih ditingkatkan. Masalah kebutuhan dasar umat tersebut harus mendapat perhatian penting.

Menurut Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Tuban Fatkhul Huda, sebaiknya NU jangan terlalu dibawa-bawa atau terseret ke pusaran politik. "NU harus lebih mengayomi dan menata umat agar lebih baik lagi. Program-program yang nantinya diputuskan dalam muktamar sebaiknya betul-betul bisa dijalankan" kata Fatkhul Huda, Rabu (17/3) di Tuban.

Menurut dia, NU perlu pembenahan total, bukan hanya sebagai pengguna atau pengekor saja, melainkan mampu menjadi pelaku dan penggerak pada sektor-sektor ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan umat. "Program-program ke depan harus lebih aplikatif (bisa diterapkan) dipimpin orang-orang yang inovatif," ujarnya.

Meski demikian, menurut Ketua PCNU Surabaya Saiful Chalim, masalah hubungan NU dan politik serta Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) adalah dua hal yang dianggap paling perlu dibicarakan dalam Muktamar ke-32 NU di Makassar, Sulawesi Selatan, pekan depan.

Saiful berpendapat, PKB jelas harus islah bila masih menghendaki dukungan warga NU. "Bila berkeras tetap dalam kondisi terpecah-pecah, lebih baik ditinggalkan," tuturnya.

Komite maslahah

Saat ini banyak partai politik yang bisa menjadi saluran aspirasi warga NU, seperti Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Kebangkitan Nasional Ulama. Selain itu, aspirasi warga NU juga bisa disalurkan melalui parpol lain yang tidak berkaitan erat dengan NU.

Sejauh ini, karena jumlahnya, warga NU selalu menjadi incaran dalam berbagai pentas politik. Karena itu, menurut Sekretaris Pengurus Wilayah NU Jatim Masyhudi Muchtar, meski khittah tidak melarang warga NU berpolitik, perlu aturan supaya NU tidak menjadi partai politik atau aspirasi warga NU disalurkan semaunya. Pembiaran tanpa arahan, kata Masyhudi, dikhawatirkan malah menimbulkan potensi perpecahan di tubuh NU atau malah ditunggangi pihak yang berseberangan dengan NU.

Arahan dalam politik, menurut Masyhudi, perlu diputuskan mandataris muktamar atau semacam komite maslahah yang di luar struktur NU. Soal bentuknya bisa diserahkan pada keputusan muktamar.

Komite maslahah cukup terdapat di tingkat pusat dan wilayah. Adapun personelnya terdiri atas orang-orang netral yang tanpa kepentingan dan bersih tetapi juga memahami politik. Nikah siri

PCNU Kabupaten Kediri berencana mengusung isu nikah siri sebagai salah satu agenda untuk dibahas dalam muktamar. Isu ini dinilai penting karena menyangkut kepentingan masyarakat luas.

Menurut Ketua PCNU Kabupaten Kediri Najib Zamzami, Rabu (17/3), mengatakan persoalan nikah siri sangat penting untuk dibahas terkait rencana pemerintah pusat menyusun rancangan undang-undang tentang nikah siri.

Selain itu, nikah siri merupakan solusi paling tepat untuk menyelamatkan masyarakat dari kesesatan jalan prostitusi yang jelas bertentangan dengan hukum agama Islam. (ACI/INA/NIK)
Read More...

Politisi Berebut Kursi Pemimpin NU


Selasa, 22 Desember 2009 - 23:19 WIB

Politisi Berebut Kursi Pemimpin NU

MENTENG (Pos Kota) –Tokoh Golkar yang juga mantan anggota DPR Slamet Effendi Yusuf siap memimpin Nahdlatul Ulama. Dia menyatakan kesiapannya memimpin organisasi keagamaan terbesar di Indonesia ini pada muktamar ke-32 Maret 2010.

Slamet mengaku dirinya sudah berkomunikasi dengan pengurus daerah NU “Insya Allah kalau saya terpilih menjadi ketua umum NU saya akan membawa lembaga ini bermartabat dan berwibawa,” katanya mantan Ketua GP Anshor ini.

Ia mengatakan akan mengembalikan NU kepada khittahnya dengan terus meningkatkan bidang sosial kemasyarakatan, pendidikan, kesehatan, ekonomi dan pengembangan sumber daya manusia. “Sekarang ini NU sudah baik di bawah kepemimpinan Pak Hasyim namun saya ingin NU lebih baik lagi,” tutur dia.

Sejumlah figur yang kini muncul sebagai kandidat ketua umum PBNU antara lain KH Said Aqil Siraj, KH Masdar Farid Masudi, KH Salahuddin Wahid, dan Slamet Effendi Yusuf. (johara/us/g)

Read More...

Muktamar NU: 50 Pengasuh Pondok di Jawa-Madura Dukung Gus Solah


Minggu, 14 Februari 2010 - 18:35 WIB

Muktamar NU: 50 Pengasuh Pondok di Jawa-Madura Dukung Gus Solah

SURABAYA (Pos Kota)- Sekitar 50 orang kiai se -Jawa-Madura menggelar pertemuan di kediaman KH Idris Marzuki, pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Lirboyo Kediri, Minggu (14/2) siang.

Dalam forum pertemuan para pengasuh ponpes secara tertutup tersebut, para kiai membicarakan tentang kesepakatan mereka untuk mendukung KH Sholahuddin Wahid, yang akrab disapa dengan Gus Solah, pengasuh Ponpes Tebuireng Jombang, sebagai kandidat calon Ketua Umum PBNU.

Pengasuh Ponpes Assayidiyah Kediri, KH Anwar Iskandar, kepada sejumlah media mengatakan, dalam forum pimpinan ponpes se Jawa-Madura tersebut di dalamnya membicarakan tentang harapan-harapan dan usulan-usulan para kiai agar menjadi bagian yang diputuskan dari muktamar NU mendatang.

“Ada dua hal penting yang dibicarakan dalam forum ini. Pertama, mengenai masalah yang bersifat material dan yang kedua mengenai masalah figur. Mengenai masalah material, tadi sepakat bahwa muktamar itu harus membuat keputusan yang menjamin tentang keselamatan ahli sunnah waljamaah. Jangan sampai dimasuki orang-orang yang berpaham di luar itu,” ungkap Gus War, panggilan Anwar Iskandar.

Gus War menambahkan, materi kedua yang dibicarakan tentang usulan penguatan-penguatan terhadap peran ulama atau peran suriyah di dalam di setiap pengambilan keputusan.

“Yang ketiga, adalah seruan-seruan moral. Seperti, sekarang ini misalnya, sedang marak-maraknya masalah yang berhubungan dengan UU No. 1 tahun 1965, tentang UU Penodaaan Agama, maka para kiai-kiai menghendaki agar Mahkamah Konstitusi (MK) menolak ususal LSM itu untuk peninjauan kembali (PK),” tegas Gus War.

Gus War mengatakan, mengenai masalah figur, arah daripada perkumpulan para kiai-kiai itu menghendaki Gus Solah, adik almarhum KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, tanpa menafikan kandidat yang lain. Oleh karena itu, Gus Solah agar direkomendasi menjadi ketua umum PBNU mendatang.

“Kalau alasan memilih Gus Solah itu karena sesuai dengan kriteria yang diharapkan. Seperti, mengetahui tentang ‘njeroane’ Nahdatul Ulama (NU), paham ahli sunnah wahjamaah, mengerti manajemen dan administrasi dan punya pondok pesantren,” imbuh Gus War.

Hasil dari forum ini akan disampaikan kepada pengurus NU, yang notabene adalah para santri-santri dari sejumlah kiai tersebut. “Kiai-kiai ini sebenarnya adalah orang-orang yang tidak memiliki otoritas organisatoris. Tetapi mempunyai otoritas moral. Meski demikian, pemegang saham terbesar di NU itu adalah kiai. Jadi seruan ini tentu diberikan kepada pengurus, yang notabene adalah santrinya kiai. Seperti KH. Hasan Mutawakil, itu kan santrinya Lirboyo,” terang Gus War.

BERSIH

Secara terpisah, Pengasuh Ponpes As-Somadiyah KH Sofiyullah, yang juga salah satu peserta yang ikut dalam forum tersebut mengaku bahwa dirinya bersama para kiai-kiai lain telah menyatakan sikap untuk mendukung Gus Solah. Bahkan, para kiai yang tidak dapat hadir dalam pertemuan itu, menyampaikan sikapnya dukungannya kepada Gus Solah melalui handphone, seperti KH A. Nawawi Abdul Jalil, Pengasuh Ponpes Sidogiri Pasuruan.

Ditanya mengenai apakah tidak ada kekhawatiran NU akan terlibat pada politik praktis, karena sebelumnya Gus Solah sempat mencalonkan diri sebagai Wakil Presiden RI, KH Shofiullah mengaku menjamin tidak akan terjadi.

“Gus Solah telah menunjukkan dirinya bahwa dia bersih. Pasalnya, saat mencalonkan diri sebagai wakil presiden RI dulu, dia mengundurkan diri dari kepengurusan NU. Itu adalah bukti bahwa Gus Solah mampu untuk memegang kepemimpinan NU,” ujar Shofiullah.

Sekadar diketahui, saat ini memang sudah muncul beberapa nama kandidat calon yang akan maju dalam muktamar NU di Makassar nanti. Di antaranya, KH Said Agil Siraj, KH Ali Maschan Moesa, KH Masdar Farid Mas’udi, dan KH Sholahuddin Wahid. Kendati demikian, Gus Solah nampaknya yang mendapat sambutan positif dari para kiai-kiai se Jawa-Madura ini.

Sesuai buku hadir, ke-50 kiai-kiai pengurus ponpes tersebut antara lain, KH H Mudatsir dari Pamekasan Madura, KH Maghfir dari RMI Jawa Tengah, KH Mashul Islamil dari Mojokerto, KH Jamli dari Kudus, KH Moch Lutfi dari Pamekasan, KH H Ali Robbini dari Pamekasan, KH H Abdul Wasik dari Pamekasan, KH H Zaim Ahmadi dari Rembang, Jawa Tengah, KH H Masbukhin Fakih dari Gresik, KH Muklas dari Sidoarjo, KH Moch Sobirin dari Pasuruhan, KH Muhaimin Bisri dari Sampang, KH Zaenudin Jazuli dari Ponpes Ploso, Mojo, Kediri, dan masih banyak kiai lainnya.(nurqomar/dms)

Read More...

KIAI KAMPUNG



Acep Zamzam Noor



SELEPAS berkelana selama belasan tahun di sejumlah pesantren, seorang santri pulang ke kampung halamannya. Yang pertama-tama ingin dilakukan adalah bagaimana menghidupkan langgar yang berada di dekat rumahnya. Mula-mula ia mengambil inisiatif dalam sembahyang berjamaah, yakni menjadi imam meski hanya diikuti beberapa orang saja. Lalu ia menawarkan pengajian mingguan untuk para tetangga dan kemudian membentuk majlis ta’lim ibu-ibu. Ketika para tetangga mulai tertarik menitipkan anak-anaknya untuk dibimbing dalam pendidikan agama, ia pun membuka pengajian elementer untuk anak-anak. Semuanya berlangsung di langgar yang ukurannya kecil saja.

Seiring dengan bergulirnya waktu, anak-anak yang mengaji pun semakin banyak. Bukan hanya anak-anak dari kampung sekitar, namun banyak juga anak-anak dari kampung lain. Mulailah terpikir perlunya sebuah pondok untuk menampung mereka yang datang dari jauh itu. Maka dengan gotong royong bersama masyarakat yang mulai mempercayai kealiman serta ketulusannya, sebuah pondok kecil pun dibangun meski hanya untuk menampung beberapa puluh orang anak saja.

Dari tahun ke tahun pengajian di langgar kecil itu terus berlangsung dengan segala kesederhanaan dan kebersahajaannya, anak-anak yang mengaji pun semakin banyak jumlahnya. Begitu juga pondok yang tadinya hanya untuk menampung puluhan anak saja, setahan demi setahap berkembang hingga mampu menampung ratusan orang. Tanpa terasa sebuah pesantren telah hadir di kampung itu. Tanpa disadari seorang kiai telah lahir di kampung itu. Dan kepemimpinan pun muncul dengan sendirinya.

Dalam pengamatan saya, seperti itulah proses lahirnya pesantren-pesantren Nahdlatul Ulama (NU) yang tersebar di pelosok-pelosok desa. Lahir dari sebuah perjalanan panjang namun penuh kecintaan dan ketulusan, yang kemudian mendapat kepercayaan dan dukungan dari masyarakat di sekitarnya. Memang kiai dan pesantren tak bisa dipisahkan dari keberadaan masyarakat. Kiai dan pesantren lahir karena didukung dan menjadi bagian dari masyarakat itu sendiri. Tak akan ada kiai tanpa adanya masyarakat. Dengan kata lain, seorang kiai tidak lahir sendiri namun selalu dilahirkan oleh masyarakat yang mempercayai kealiman serta ketulusan pengabdiaannya.

Pesantren kampung atau tradisional seperti ini tentu berbeda dengan pesantren modern yang tercipta karena adanya sponsor dari luar, misalnya pesantren yang dibangun atas inisiatif seorang cukong yang mempunyai tanah luas dan uang banyak. Setelah sejumlah bangunannya yang lengkap dan megah selesai, barulah dicari kiai untuk menjadi semacam manajer di pesantren tersebut. Posisi kiai dalam pesantren seperti ini hanyalah pelaksana yang digaji si cukong. Berbeda pula dengan pesantren yang sejak awal dibangun atas sumbangan pemerintah atau partai tertentu, di mana posisi kiai tetap dalam kendali si pemberi sumbangan. Pesantren-pesantren jenis ini biasanya akan berjarak dengan masyarakat di sekitarnya.

Kiai kampung yang saya gambarkan di atas tentu berbeda dengan kiai-kiai yang kerap muncul menjelang pemilu atau pilkada, yang menjadi jurkam atau tim sukses calon bupati atau walikota. Apalagi dengan orang-orang yang tanpa merasa risi mencantumkan “KH” di depan namanya sendiri, atau mereka yang suka nampang dengan kostum kiai di spanduk-spanduk atau baligo-baligo sambil mengucapkan selamat idul fitri. Berbeda juga dengan putra-putra kiai yang merasa otomatis menjadi kiai sebagaimana ayahnya sehingga merasa berhak untuk “jualan” agama dan pesantren ke mana-mana, sambil tak lupa juga mencantumkan “KH” di depan namanya.

Bagi saya, seorang yang menguasai ilmu agama, lulusan pesantren atau anak kiai yang selalu berpakaian seperti Pangeran Diponegoro belum tentu layak disebut kiai kalau tidak berkiprah secara nyata di tengah masyarakat. Kiai atau “KH” bukanlah gelar yang didapat setelah menyelesaikan tahap pendidikan tertentu. Kiai atau “KH” juga bukan warisan turun temurun keluarga, namun semacam anugerah yang diberikan masyarakat pada seseorang karena kealiman, pengabdian serta kwalitas kepemimpinannya.

Dalam tradisi masyarakat Sunda, seorang pemimpin haruslah mempunyai mentalitas guru. Seorang pemimpin bukan hanya dituntut pandai memerintah namun juga harus punya kemampuan dan kesabaran mengajar dan membimbing masyarakat. Dengan demikian pemimpin bisa diibaratkan seperti isi, sedang masyarakat yang dipimpin adalah wadah yang siap menampung limpahan isi. Seorang pemimpin yang baik akan selalu mengalirkan kebaikan pada masyarakat yang dipimpinnya. Akan selalu mengalirkan isi pada wadah yang menampungnya. Dan bukan sebaliknya.

Pola kepemimpinan seperti ini mirip sekali dengan kepemimpinan dalam tradisi pesantren, di mana seorang kiai bukan hanya guru namun sekaligus juga pemimpin bagi santri dan masyarakatnya. Kalau kiainya baik dan alim maka santri dan masyarakatnya akan ikut terbawa baik dan alim juga. Namun kalau kiainya sibuk berpolitik praktis, jangan heran jika santri dan masyarakatnya akan menjadi broker dan provokator. Pola kepemimpinan seperti ini, saya kira, tak jauh berbeda dengan kepemimpinan dalam tradisi NU. Pemimpin NU juga dituntut untuk mempunyai mentalitas seorang guru yang dengan tulus mau mengajar dan membimbing umat. Bukan mentalitas seorang caleg, cabup, cagub atau cawapres yang maunya didukung melulu. Atau mentalitas seorang juragan yang minta dihormati terus-menerus. Atau mentalitas seorang wali yang selalu merasa paling benar sendiri.


***

Di tengah carut-marut dunia politik nasional dan lokal yang menyeret-nyeret NU di dalam pusarannya, saya sebenarnya masih punya harapan yang besar. Selama pesantren-pesantren kecil di kampung dengan kiai-kiainya yang bersahaja itu masih ada dan terus berkiprah di tengah masyarakat, rasanya NU akan baik-baik saja. Rasanya tak akan terjadi apa-apa dengan NU. Menurut saya merekalah yang selama ini mempertahankan dan menjaga kehormatan NU. Merekalah yang selama ini menjalankan peran NU sebagai organisasi sosial kemasyarakatan yang sebenarnya, justru ketika para petingginya sibuk menjadi selebritis. Sibuk berebut jabatan dan proyek. Sibuk menjajakan NU sebagai komoditi politik dan ekonomi. Sibuk menjadi broker, jurkam atau tim sukses.

Mereka yang berkiprah di kampung mungkin tidak peduli siapa pengurus NU di tingkat cabang, wilayah atau pusat. Mereka juga tidak ambil pusing apakah ada orang NU yang menjadi bupati, gubernur, menteri atau presiden, toh tidak ada pengaruh apa-apa buat mereka. Tidak ada barokah apa-apa. Mereka tidak mempersoalkan apa bedanya NU struktural dengan NU kultural, NU politik dengan NU mistik, NU perjuangan dengan NU batu loncatan. Bagi mereka NU adalah NU, titik. Mereka juga tidak meributkan apakah kiprahnya diberitakan koran atau menjadi bahan penelitian sarjana asing. Yang jelas mereka akan sangat sedih dan malu kalau tahu ada orang NU yang dipenjara karena korupsi, lebih-lebih kalau orang NU itu mantan menteri atau bupati.

Meskipun punya harapan besar namun bukan berarti saya tidak punya kekhawatiran sama sekali. Belakangan banyak orang partai yang merasa dirinya representasi dari sayap politik NU tengah serius-seriusnya “menggarap” kiai-kiai kampung tersebut. Mereka sering berkunjung ke pesantren-pesantrennya atau mengumpulkan kiai-kiai tersebut di suatu acara. Mungkin para politisi itu sadar bahwa kiai-kiai khos atau kiai-kiai selebritis yang selama ini menjadi andalan mereka sudah tidak efektif lagi sebagai pengumpul massa. Mungkin para politisi itu sadar bahwa kiai-kiai yang selama ini sering muncul di koran atau televisi sudah kurang dipercaya masyarakat lagi. Para politisi itu sadar bahwa sebenarnya hanya kiai-kiai kampunglah yang berhubungan secara langsung dengan masyarakat di bawah, yang masih dapat dipercaya dan menjadi panutan.

Meskipun NU mempunyai sejarah panjang dalam kaitannya dengan dunia politik, bahkan pernah menjadi partai politik sekian lama. Meskipun terlibat dalam dunia politik itu tidak haram hukumnya bagi warga NU dan boleh-boleh saja, apalagi bagi mereka yang sudah terlanjur hobi. Menurut saya prestasi terbesar NU bukanlah di panggung politik, namun ketika NU dengan tulus berkarya nyata di tengah masyarakat. Dalam berpolitik, rasanya tak ada capaian-capaian yang kemudian menjadi sesuatu yang perlu dibanggakan karena kemaslahatnya bagi umat. Paling-paling hanya kebanggaan pribadi bisa menjabat ini dan itu tanpa ada efek yang berarti bagi umat. Dalam berpolitik, entah kenapa orang-orang NU selalu ribut dan berebut, bahkan saling pecat antar mereka sendiri sehingga enerji perjuangannya habis oleh hal-hal yang sebenarnya tidak perlu, oleh hal-hal yang sebenarnya kampungan dan bikin malu.

Menurut saya, orang-orang NU telah kehilangan karakter dalam berpolitik sehingga tak ada bedanya dengan para politisi lain yang bukan NU. Saya tak bisa membedakan mana politisi yang berlatar pesantren dan mana politisi yang berlatar preman misalnya, rasanya sama saja. Saya juga tidak bisa membedakan mana anggota dewan yang sembahyangnya pakai qunut, mana yang tidak pakai qunut dan mana yang tidak sembahyang sama sekali. Juga rasanya sama saja. Sama-sama setuju dengan kenaikan harga BBM. Sama-sama bernapsu untuk selalu menaikkan gajinya sendiri. Sama-sama tidak risih dengan korupsi.

Jika kita membandingkannya dengan dunia sepakbola, kesebelasan NU mungkin seperti tim nasional yang terus menerus berlatih bahkan sampai ke luar negeri, namun kalah melulu jika bertanding. Kenapa? Karena selain tidak mempunyai karakter, juga tidak memiliki pola permainan yang jelas. Jadi wajar jika mereka sering kehilangan visi atau orientasi, jika gerakan atau manuver mereka mudah terbawa irama permainan yang dikehendaki lawan. Pola bertahan dan menyerang mereka juga sering kedodoran, tak ada kordinasi yang rapih lini per lini, tak ada saling pengertian antara libero, jangkar, gelandang, sayap dan striker. Serangan mereka sering terputus di lapangan tengah yang diisi para pemain ovortunis namun lemah dalam penguasaan bola serta tidak punya kreativitas dalam membuka ruang bagi pemain yang datang dari belakang. Penetrasi ke gawang serta penyelesaian akhir mereka juga sangat buruk. Banyak sekali peluang yang akhirnya terbuang sia-sia, misalnya selalu gagal dalam menggolkan calon-calonnya baik dalam pilkada maupun dalam pilpres.

Dalam berpolitik praktis karakter kaum nahdliyin yang terkenal sabar, ulet, tulus, lurus, menghargai proses dan tahan banting itu memang tidak muncul sama sekali. Yang muncul malah karakter yang umum seperti gampang ribut, main pecat seenaknya, kemaruk pada hal-hal yang sifatnya material, berebut jabatan dan kedudukan, tidak sportif dalam bermain, cenderung memilih jalan pintas, nepotisme yang kemudian menjadi tradisi, mudah tergiur oleh masalah sepele, tidak konsisten dan angin-anginan, suka memanfaatkan orang-orang yang kebelet jabatan, bangga menjadi sekedar punakawan atau tim sukses dan tak jarang juga menjadi kutu loncat.

Sementara karakter yang sabar, ulet, tulus, lurus, menghargai proses dan tahan banting justru tampil dengan sangat kuat dan mengesankan ketika kaum nahdliyin berkiprah di lapangan sosial dan pendidikan, seperti yang dilakukan dengan tulus dan penuh kecintaan oleh kiai-kiai kampung itu. Oleh pesantren-pesantren kecil itu. Dan seandainya mutiara-mutiara dari kampung yang masih tersisa ini akhirnya termakan juga oleh provokasi para politisi, maka habislah sudah. Kisah tentang NU mungkin tinggal episode-episode sinetron yang alur ceritanya klise, membosankan dan mudah ditebak pemirsa. []
Read More...

NU Harus Bisa Jadi 'Rumah' Pemberdayaan Umat

Rabu, 03 Maret 2010, 14:59 WIB
SURABAYA--Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Surabaya, Prof Nur Syam menaruh kepedulian besar terhadap Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-32 yang akan berlangsung di Makasar pada 22-27 Maret mendatang. Menurutnya, perhelatan akbar warga nahdliyin itu harus bisa mengembalikan NU sebagai 'rumah' pemberdayaan umat. Karena itu, pemimpin NU ke depan dituntut melakukan gerakan organisasi yang mengarah kepada pemenuhan kebutuhan warga NU secara menyeluruh.

Menurut dia, selama ini arah gerakan pimpinan NU cenderung elitis. hal itu bisa disimak dari perjalanan NU sejak era kepemimpinan KH Idham Cholid. "Mobilitas politik sudah dilakukan oleh KH Idham Cholid, sehingga beliau disebut sebagai guru politik orang-orang NU. Mobilitas intelektual sudah dilakukan oleh Gus Dur sehingga beliau disebut sebagai penarik gerbong neo-modernisasi NU. Dan KH Hasyim Muzadi juga tidak kalah hebat sebagai penarik gerbong internasionalisasi NU melalui pesan Islam rahmatan lil alamin," paparnya kepada wartawan di Surabaya, kemarin.

Ke depan, kata Nur Syam, gerbong NU mesti ditarik ke arah populisme, yaitu ke arah pemberdayaan NU dalam relasinya dengan warga NU. Sebab, selama ini rumah NU ternyata banyak digunakan oleh orang lain untuk berkiprah di dalamnya. Banyak aset ekonomi, sosial, dan budaya yang dijadikan sebagai miliknya.

"Betapa sayangnya kalau aset ekonomi orang NU malah dijadikan sebagai sumber daya ekonomi oleh organisasi yang lain. Sementara NU sendiri tidak melakukan gerakan yang mengarah kepada pemberdayaan umat melalui, misalnya, gerakan pengumpulan dana untuk pemberdayaan masyarakat," tutur Nur Syam.

Gus Dur dan Hasyim Muzadi, lanjut dia, sebenarnya juga pernah mencoba membangun jaringan pengembangan aset ekonomi NU. Misalnya, dalam kerjasamanya dengan Bank Summa, yaitu untuk mendirikan Bank Nusumma. Namun, implementasinya masih belum memenuhi harapan. Demikian pula program kerja sama dengan perusahaan-perusahaan juga tertatih-tatih dalam implementasi di lapangan.

"Memanfaatkan sumber daya ekonomi eksternal memang bagus. Akan tetapi, pemanfaatan sumber daya ekonomi internal NU juga sangat diperlukan. Bukankah masih banyak sumber daya ekonomi NU yang masih perlu direaktualisasikan?," ucapnya.

Menurut Nur Syam, NU harus tetap memiliki kiprah dalam program seperti ini. Jangan sampai kemudian pemanfaatan aset ekonomi tersebut selalu berada dalam kawasan segmented sehingga gerakan NU dalam pemberdayaan hampir tidak pernah terdengar.

NU sudah memiliki semuanya. Modalitas ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Modalitas sosial dan budaya sudah komplementer dengan kehidupan umat. Modalitas politik juga sudah menjadi sesuatu yang tidak terpisahkan dalam kancah perpolitikan nasional. Demikian pula modalitas jaringan sosial internasional yang telah terbangun selama ini. Itu sebabnya, ke depan, yang sangat penting adalah pemanfaatan modalitas ekonomi untuk pemberdayaan umat.

"Kita tidak ingin warga NU menjadi sumber daya ekonomi orang lain, sementara warga NU kurang memperoleh reward secara masif dari modalitas ekonomi yang dikeluarkannya itu. Pemimpin NU mendatang harus dipilih orang yang memiliki komitmen untuk mereaktualisasikan modalitas ekonomi warga NU untuk kepentingan Islam dan, khususnya, warga NU sendiri," ujarnya.

Sementara itu, PWNU Jatim bakal merekomendasi dukungan terhadap satu nama calon ketua PBNU pada 8 Maret mendatang. Putusan ini akan diambil melalui musyawarah kerja wilayah khusus (mukerwilsus) yang digelar di Asrama Haji, pekan depan. "Kami berharap hasil muskerwilsus menghasilkan satu nama yang akan didukung Jatim pada Muktamar NU ke 32," kata Rois Syuriah PWNU Jatim KH Miftaqul Akhyar, kemarin.

Sehingga diharapkan pada muktamar yang akan digelar di Makasar pada 21 hingga 26 Maret mendatang, PW NU Jatim yang memiliki 45 suara bisa mendukung salah satu calon ketua PBNU yang memiliki kemauan dan kemampuan membangun NU.

Terlepas arah putusan PWNU, saat ini sejumlah kandidat ketua umum PBNU yang sudah mencuat ke permukaan. Di antaranya KH Said Agil Siradj (ketua), KH Ir Salahuddin Wahid (Gus Solah/mantan ketua), Prof KH Ali Maschan Moesa, MSi (mantan Ketua PWNU Jatim), Masdar F Mas’udi (ketua), Achmad Bagdja (ketua), Slamet Effendy Yusuf, dan Ulil Abshar Abdalla (aktivis Jaringan Islam Liberal).

Sementara itu, Ketua Pelaksana Serasehan Nasional NU dalam Rangka Pra Muktamar ke 32 dr Hamid Nawawi SpA mengatakan, tujuan digelarnya serasehan tidak lain untuk membahas bagaimana mengelola seluruh aset NU dengan baik. Sehingga, NU bisa besar tidak hanya dalam segi kuantitas tetapi juga kualitas di seluruh substansi yang dimiliki NU.
Read More...

Survei: Dukungan untuk Hasyim Muzadi Menguat

Jelang Muktamar NU

Selasa, 16 Maret 2010, 21:10 WIB
JAKARTA--Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi mendapat dukungan besar dari pengurus wilayah PW) dan pengurus cabang (PC) untuk menempati posisi Rais Aam Syuriah PBNU pada Muktamar NU ke-32 di Makassar 22-27 Maret 2010.

Demikian hasil survei yang disampaikan Ketua Lakspedam (Lembaga Pengkajian Sumber Daya Manusia) PBNU, Nashihin Hisam, dalam dialog elemen NU serta parpol dengan Ketua PBNU Ammad Bagdja di Jakarta, Selasa (16/3).

Menurut Nashihin, dari 33 pengurus wilayah yang disurvei, mendukung Hasyim Muzadi untuk menggantikan KH Sahal Mahfudh mencapai 70 persen. Sementara H Ahmad Bagdja, mendapat dukungan kurang dari 40 persen untuk menggantikan Hasyim.

''Survei ini juga dilakukan oleh salah satu media dan sudah dicross-check oleh Lapspedam,''ujarnya

Sementara dari 462 pengurus cabang (PC) se-Indonesia yang disurvei menyatakan mendukung Hasyim Muzadi menempati rais aam mencapai 70 persen. Sedangkan yang memilih Ahmad Bagdja untuk dduku di ketua umum tanfidz mencapai 43 persen.

''Masih dari survei, responden dari kalangan pengurus wilayah dan cabang menyatakan bahwa ketua umum PBNU tidak harus kiai dan mempunyai pondok pesantren. Pasalnya, agar tidak terikat oleh usuran pesantren yang dipimpin,'' katanya.

Di tempat sama Profesor Ridwan Lubis dari pengurus NU Medan mengamini hasil survei Lakspedam sehingga mengharap kesediaan Bagdja untuk mendeklrasikan kesediaan maju sebagai kandidat Ketua Umum Tanfidiyah.
Dia juga menyoroti posisi ketua umum tanfidziyah dan rais aam syuriyah yang selama ini kurang sejalan atau korang kompak, sehingga terkesan berjalan sendiri-seniri. ''Pak Hasyim dan Pak Bagdja saya nilai kompak sehingga sangat pas jika dipilih pada muktamar mendatang,'' paparnya.

Hadir pula pada dialog tersebut antara lain Ketua Ikatan Alumni PMII Arief Mudatsir Mandan, Politisi PKB Efendy Choiri, Ketua PBNU Mustofa Zuhad Mughni, Ketua PBNU Ridwan Lubis, Wakil Sekjen PPP Romahurmuziy dan sejumlah kader muda NU
Read More...

Koreksi dari M. Nashihin Hasan

Jakarta 18 Maret 2010



Kepada Yth.

Redaktur Republika Online

Di Tempat



Sehubungan dengan berita di Republika Selasa 16 Maret 2010, "Survey: Dukungan
untuk Hasyim Muzadi Menguat", bersama ini saya sampaikan hak jawab/koreksi
sebagai berikut:

1. Kehadiran saya dalam forum tersebut adalah pribadi, bukan atas nama
Lakpesdam.

2. Lakpesdam bersifat independen dan tidak pernah melakukan survey untuk
hal di atas.

3. Saya tidak mengatakan bahwa prosentase dukungan terhadap Hasyim
Muzadi dan Bagdja, adalah hasil survey, tetapi berupa catatan dari laporan
aspirasi warga di daerah.

4. Adalah tidak benar, dan saya sama sekali tidak pernah menyatakan
"Survey ini juga dilakukan oleh salah satu media dan sudah dicross-check oleh
Lakpesdam"



Demikian, agar yang bersangkutan menjadi maklum.



M. Nashihin Hasan



NB.

Sumber berita:http://www.republika.co.id/berita/106869/survei-dukungan-untuk-hasyim-muzadi-men\
guat
Read More...
banner125125 d'famous_125x125 ads_box ads_box ads_box