Kandidat Ketum PBNU Saling Klaim Dukungan

Tuesday, March 23, 2010

Rabu, 24 Maret 2010 00:52 WIB

Makassar, (tvOne)

Para kandidat ketua umum (Ketum) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), mulai saling mengklaim dukungan yang telah mereka peroleh dari peserta Muktamar NU ke-32. Ditemui usai pembukaan muktamar di Makassar, Selasa (24/3), KH Said Aqil Siradj mengklaim telah mendapat dukungan sebanyak 185 suara dari pengurus wilayah dan pengurus cabang NU.

Said optimistis jumlah dukungan untuknya akan bertambah, karena ia sudah cukup dikenal di kalangan NU. Apalagi ia pernah juga mencalonkan diri, saat muktamar di Lirboyo sepuluh tahun lalu. "Kita boleh saja yakin, tapi semuanya kita serahkan kepada Allah SWT," katanya.

Selain itu, Slamet Effendi Yusuf, mantan ketua umum GP Ansor, mengklaim telah mengantongi dukungan siginifikan, terutama dari Kawasan Timur Indonesia. "Khusus Kawasan Timur Indonesia dukungan untuk saya paling dominan, bisa mencapai 80 persen. Memang dukungan untuk saya mayoritas dari luar Jawa," katanya.

Calon lainnya, Ahmad Bagja, meski tidak menyebut jumlah dukungan yang telah diperolehnya, juga optimistis karena mendapat dukungan dan doa dari para ulama. Dibanding kandidat yang lain, mantan wakil ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) itu terkesan tidak terlalu aktif mengkampanyekan dirinya. "Yang dipilih NU kan orang yang ikhlas, yang memang dianggap pantas. Kita serahkan saja kepada muktamirin," katanya.

Masdar F Mas`udi mengaku optimistis, karena di muktamar sebelumnya di Solo ia lolos ke babak final, meski yang terpilih akhirnya KH Hasyim Muzadi. "Bertolak dari perolehan tahun 2004, saya optimistis saja. Meskipun saya tidak perlu ramai-ramai, tidak perlu glamour," kata Masdar yang dalam muktamar sebelumnya mendapat 104 suara.

Optimisme juga ditunjukkan KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah), meski menyatakan tidak tahu pasti jumlah PWNU dan PCNU yang telah mendukungnya. "Saya tidak tahu berapa yang sudah mendukung saya sampai saat ini. Tapi saya optimistis bisa menang," katanya. (Ant)

Read More...

NU tak mungkin jauhi politik

TUESDAY, 23 MARCH 2010 23:30 PDFPrintE-mail
Warta - Nasional & Politik

WASPADA ONLINE

MAKASSAR - Politisi muda Nahdatul Ulama, Khatibul Umam Wiranu, menyatakan NU tidak mungkin menjauhi politik, namun sebagai organisasi keagamaan politik NU tentu tidak berorientasi kepada kekuasaan.

"Dengan berbagai sejarah dan pengalamannya, NU tidak mungkin tidak berpolitik. Tetapi berpolitik bagi NU adalah merumuskan secara taktis dan strategis politik kenegaraan untuk kepentingan dakwah NU," kata Wiranu, malam ini.

Oleh karena itu, lanjut mantan aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) itu, NU harus berada di atas semua partai politik.

Sementara, katanya, sudah saatnya bagi NU untuk lebih serius menggarap bidang perekonomian, dan muktamar ke-32 kali ini bisa dijadikan sebagai titik awal gerakan ke arah itu.

Ia juga mengatakan, bahwa setiap 29 tahun terjadi perubahan orientasi NU sejak organisasi itu didirikan sebagai organisasi keagamaan pada 1926 silam. Pada 1955 NU tampil sebagai salah satu peserta pemilihan umum setelah menyatakan diri sebagai partai politik pada 1953.

Selanjutnya, kata Wiranu, saat muktamar di Situbondo pada 1984 silam, NU mengubah orientasinya menjadi organisasi keagamaan dan sosial.

Menurut Wiranu, pada 2013 sudah saatnya NU berubah menjadi organisasi yang berperan nyata di bidang perekonomian.
"Muktamar inilah yang seharusnya mengagendakan model-model gerakan ekonomi yang harus dibangun NU menyongsong 2013," pungkasnya.

Editor: HERU SUSILO PRAYETNO
(dat03/ann)


Read More...

NU harus dahulukan sisi keulamaan

TUESDAY, 23 MARCH 2010 22:31


WASPADA ONLINE

(kidsklik.com)

MAKASSAR - Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Ahmad Bagdja menyatakan, NU ke depan harus lebih mengedepankan sisi keulamaan. Untuk itu, NU kedepanya harus lebih memberdayakan lembaga syuriah yang beranggotakan para ulama, yang di dalam struktur kepengurusan NU, merupakan pemimpin tertinggi organisasi itu.

"Karena kekuatan NU ada pada kiai dan ulama," kata kandidat ketua umum PBNU itu, malam ini.

Sementara, katanya, agar roda organisasi dapat berjalan optimal, maka perlu diberdayakan juga jajaran tanfidziyah selaku pelaksana kebijakan organisasi beserta badan otonom, lembaga, dan lajnah atau biro sesuai bidang garapan masing-masing.

Untuk program NU ke depan, katanya, NU harus lebih serius memperkuat bidang ekonomi dan pendidikan.

"Dengan demikian NU akan menjadi solusi terhadap problem yang dihadapi umat," tegasnya.

Sebelumnya Muktamar NU ke-32 yang diselenggarakan hari ini di Makassar, di buka oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan dihadiri oleh beberapa tokoh nasional, diantaranya yakni Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Editor: HERU SUSILO PRAYETNO

Read More...

Terlibat JIL, Ulil Terancam Tak Bisa Nyalon

M. Rizal Maslan - detikNews
Foto: Facebook
Jakarta - Niat tokoh Jaringan
Islam Liberal (JIL), Ulil Absar Abdala, untuk meraih kursi ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) bakal tak kesampaian. Sebabnya Ulil terlibat JIL dan belum pernah menjadi pengurus NU.

Dalam musyawarah pembahasan dan penetapan tata tertib dan acara Muktamar NU ke-32, diputuskan salah satu syarat calon ketua umum adalah tidak terlibat JIL, tidak terlibat organisasi yang ajarannya bertentangan dengan NU atau Ahlu Sunnah Wal Jamaah, pernah menjadi pengurus NU atau badan otonom setidaknya empat tahun, dan tidak sedang menjabat pengurus harian partai politik.

Musyawarah diikuti ribuan orang di Asrama Haji Makassar, Sudiang, Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa (23/3/2010) malam. Musyawarah yang dipimpin Ketua Panitia Muktamar NU, KH Hafidz Usman itu juga membahas tata cara pemilihan calon Rais Aam dan Ketua Tanfidziyah.

Sebelumnya dalam draf tata tertib untuk syarat calon ketua umum, tidak dicantumkan soal JIL dan organisasi yang dinilai bertentangan dengan NU. Namun, atas usul dari peserta musyawarah dan disetujui seluruh peserta rapat, KH Hafidz pun mengetok palu mengesahkan persyaratan itu.

"Nanti syarat tambahan itu akan disebutkan secara eksplisit dalam tata tertib," katanya usai acara itu.

Ulil ketika dimintai komentarnya menyatakan belum yakin persyaratan itu sudah disahkan. "Biasanya tata tertib pemilihan dibahas dan diputuskan satu hari sebelum pemilihan. Mungkin itu baru menampung usulan saja," katanya.

Sebaliknya, persyaratan calon itu memberikan peluang kepada Slamet Effendy Yusuf untuk mengikuti perebutan jabatan ketua umum PBNU. Sebelumnya Slamet pernah mengeluhkan draf persyaratan calon ketua umum yang membatasi calon hanya boleh bagi mereka yang pernah menjadi pengurus NU di tingkat pengurus besar dan pengurus wilayah, tanpa mencantumkan badan otonom.

Pemilihan akan dilakukan secara umum, langsung, bebas dan rahasia dengan cara menulis nama calon dalam kartu suara yang disediakan oleh panitia dengan berstempel Pengurus Besar. Selain itu, seorang calon harus sudah aktif menjadi Pengurus Nahdlatul Ulama atau Badan Otonom sekurang-kurangnya selama empat tahun.

Calon juga tidak sedang menjabat sebagai Pengurus Harian Partai Politik atau menjabat sebagai Pengurus Harian Partai Politik harus menyatakan mundur secara tertulis sebelum pemilihan berlangsung.
(zal/lrn)
Read More...

Kaburnya Wilayah Politik Praktis di NU

Salahuddin Wahid Pengasuh Pesantren Tebuireng
TRIBUN TIMUR/JUFRI

Salahuddin Wahid
RABU, 24 MARET 2010 | 02:19 WITA

Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) 1984 menetapkan kembalinya organisasi NU ke Khittah NU 1926. Khittah itu mencakup banyak hal, antara lain dasar-dasar faham keagamaan NU; sikap kemasyarakatan NU; perilaku yang dibentuk oleh dasar dan sikap tersebut di atas, serta NU dan kehidupan berbangsa.

Butir ke-8 tentang Nahdlatul Ulama dan Kehidupan Berbangsa cukup panjang dan menyeluruh, tetapi dalam wacana tentang NU, biasanya yang dimaksud dengan kembali ke Khittah NU adalah lepasnya organisasi NU dari ikatan dengan parpol manapun.
Hanya satu alinea yang menyinggung politik praktis. Alinea itu menegaskan bahwa Nahdlatul Ulama sebagai jam'iyyah secara organisatoris tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan apapun juga.
Sejak itu banyak tokoh NU yang bergabung dengan Golkar baik di pusat maupun daerah. Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) pernah menjadi anggota MPR mewakili FKP, tetapi tidak berapa lama lalu Gus Dur (GD) lantang mengkritik Pak Harto. Walaupun demikian jumlah tokoh NU yang aktif di dalam Golkar tetap banyak jumlahnya terutama di daerah.

Tergoda Parpol
Saat dibuka kesempatan untuk mendirikan parpol baru (1998), NU tergoda untuk mendirikan secara tidak langsung PKB yang diharapkan menjadi penyalur aspirasi politik warga NU. Di banyak tempat struktur NU aktif kampanye untuk PKB.
Dalam pemilu 1999 PKB memperoleh suara hampir 13 persen dari jumlah pemilih, padahal dalam pemilu 1955 Partai NU mendapat pemilih sekitar 18,4 persen. Berarti warga NU yang memilih partai-partai lain sedikit lebih banyak dibanding yang memilih PKB.
Mereka terutama banyak yang memilih PPP, Partai Golkar, selain PNU dan PKU. Dalam pemilu 2004 jumlah pemilih PKB sedikit menurun dan dalam pemilu 2009 makin menurun. Maka kita menghadapi fakta bahwa warga dalam pemilihan umum tersebar ke banyak partai.
Terpilihnya GD menjadi Presiden pada 1999 tampaknya makin menguatkan keyakinan banyak tokoh struktural NU bahwa sebaiknya NU terlibat dalam politik praktis. Pada 2004 Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi (HM) menjadi cawapres dari Megawati. Pemunculan HM sebagai cawapres terkesan direstui oleh Syuriyah PBNU yang mengizinkan HM hanya non-aktif saja, tidak harus mengundurkan diri.
Sejak itu banyak tokoh struktural NU di kabupaten/kota dan propinsi yang menjadi calon dalam pilkada. Bahkan dalam satu pilkada ada banyak tokoh NU yang menjadi calon. Maka tidak dapat dibantah bahwa pengurus NU sudah membawa organisasi NU ke wilayah politik praktis.
Lebih sulit lagi kondisi di Jatim saat beberapa tokoh NU maju sebagai calon dalam pilgub. Di banyak pemilihan, calon yang didukung struktural NU ternyata kalah. Kondisi itu dianggap merendahkan wibawa NU.
Melihat kondisi yang sangat tidak menggembirakan itu, maka banyak pihak di dalam kalangan NU yang mendesak supaya organisasi NU jangan terlibat lagi secara langsung dalam politik praktis atau politik kekuasaan, tetapi tetap bergelut dalam politik kebangsaan atau politik kemaslahatan umat. Tidak semua pihak berpikir seperti itu. Rais Syuriyah PWNU Jatim dan sejumlah kyai berpengaruh di Jatim masih ingin NU terlibat dalam praktis. Menurut mereka, kondisi saat ini amat berbeda dengan kondisi tahun 1984 saat Khittah NU 1926 ditetapkan oleh Muktamar NU.
Rupanya fakta lapangan kurang mereka perhatikan. Nyaris tidak mungkin untuk mendorong warga NU ke dalam satu partai saja. Warga dan aktivis NU tersebar ke banyak partai seperti PKB, PKNU, PPP, Golkar, Partai Demokrat, dan beberapa partai lainnya. Tidak heran bila semua bakal calon ketua umum PBNU menyatakan bahwa NU harus lepas dari politik praktis.
***
Saya menerima SMS yang berbunyi : "Aneh, bilangnya NU jangan dibawa ke politik praktis. Tapi kandidat Tanfidz-nya Gus Sholah dan Kang Said kok ketemu SBY "nyanyi" ke mana2. Kayak arenanya pemilihan Ketum Demokrat." Saya pikir pendapat pengirim SMS itu benar, dalam keadaan biasa. Tetapi saya menghadapi keadaan luar biasa, karena ada info yang sahih bahwa secara tidak terbuka beberapa pejabat pemerintah menyatakan bahwa Presiden tidak menghendaki saya menjadi Ketua Umum PBNU.
Kabar burung itu beredar di banyak PCNU dan PWNU. Saya tidak memercayai kabar burung itu.
Pertemuan dengan Presiden terjadi karena saya mengajukan permohonan audiensi kepada presiden sejak akhir Januari untuk menyampaikan masalah membludaknya peziarah ke makam GD yang amat mengganggu kegiatan pendidikan dan pengajian di Pesantren Tebuireng dan mohon bantuan presiden. Beliau menyambut baik permohonan tersebut dan akan mengirim tim dari beberapa kementerian ke Tebuireng guna meninjau dan menyusun perencanaan bersama Pemkab Jombang, Pemprov Jatim dan Pesantren Tebuireng. Menurut Presiden SBY, karena Gus Dur adalah mantan presiden, maka pemerintah wajib membantu mengatasi masalah yang berkaitan dengan makam beliau.
Dalam kesempatan itu saya menanyakan kebenaran dari kabar burung di atas. Sama dengan dugaan saya, beliau membantahnya dan menyambut baik munculnya saya sebagai bakal calon ketua umum PBNU.
Beliau juga menyambut baik gagasan saya tentang perlunya kemitraan pemerintah dan NU dalam upaya memperjuangkan demokrasi ekonomi. Tentu pertemuan saya dengan presiden itu perlu disampaikan kepada publik untuk membantah kabar burung yang negatif bagi saya. Saya menduga pengirim SMS itu akan melakukan langkah yang sama dengan apa yang saya lakukan, kalau dia berada pada posisi saya.
***
Ada pengalaman lain berkaitan dengan masalah NU dan politik praktis. Awal Desember saya sowan Rais Aam PBNU Syuriyah KH Sahal Mahfud di Kajen, Pati. Dalam kesempatan itu saya sampaikan bahwa dalam Pilpres 2004 NU akan menghadapi masalah besar, ada potensi gesekan antartokoh NU dan pengikutnya. Rais Aam menanyakan apa maksud dari ucapan saya itu?
Saya sampaikan bahwa GD masih ingin menjadi capres melalui PKB dan HM juga ingin menjadi capres. Keadaan seperti itu adalah potensi perpecahan. Karena itu harus ada upaya untuk mengantisipasi potensi negatif itu. Yang bisa melakukannya adalah Rais Aam PBNU. Tidak ada lagi pihak lain yang bisa.
Rais Aam perlu memanggil GD dan HM, bisa terpisah, untuk menyampaikan bahwa dari kalangan NU harus ada hanya satu capres yang maju melalui PKB. Kalau GD bisa jadi capres, tanpa dikomando warga NU akan memilih GD. Tetapi kalau GD tidak bisa menjadi capres karena alasan kesehatan, maka PKB harus mencari capres dari kalangan NU dan PKB. PBNU bisa mengajukan beberapa calon yang bersama calon dari PKB akan dinilai oleh DPP PKB.
Menanggapi usulan itu, Rais Aam menyatakan tidak melakukan apa yang saya usulkan tadi. Karena menurutnya tindakan itu akan membawa organisasi NU ke dalam wilayah politik praktis. Dari satu segi, tindakan itu memang membuat NU masuk kedalam wilayah politik praktis, tetapi tujuannya adalah untuk mencegah dampak negatif terhadap jam'iyyah dan jamaah NU yaitu perpecahan.
Sejarah menunjukkan bahwa alih-alih memunculkan satu capres, dua tokoh PBNU (Hasyim Muzadi dan Salahuddin Wahid) muncul sebagai cawapres dan keduanya kalah. Untung capres yang menang masih berasal dari komunitas NU yaitu Jusuf Kalla. Saya mengundurkan diri dari PBNU dan Hasyim Muzadi atas izin PBNU Syuriyah termasuk Rais Aam, hanya nonaktif.
Yang menjadi pertanyaan, mengapa bagi Rais Aam langkah mengatasi potensi perpecahan dengan merekayasa adanya hanya satu capres dari kalangan NU, tidak bisa dilakukan karena dianggap memasuki wilayah politik praktis? Sedangkan langkah mengizinkan HM menjadi capres tanpa mengundurkan diri, yang nyata-nyata membawa dampak terseretnya NU kedalam wilayah politik praktis, justru dilakukan?
Dua kisah di atas tidak diangkat untuk mengungkit apa yang sudah lama berlalu dan menyalahkan siapapun, tetapi supaya bisa menjadi renungan bagi kita semua untuk bisa menentukan mana yang layak dianggap sebagai langkah membawa NU kedalam politik praktis dan mana yang bukan.(*)

Read More...

Said Aqil: Terorisme Bertentangan dengan Ajaran Islam

M. Rizal Maslan - detikNews

Jakarta - Calon ketua umum
PBNU Said Aqil Siradj menilai terorisme bertentangan dengan ajaran Islam. Karena itu, jika dia terpilih menjadi ketua umum PBNU, bersama Muhammadiyah, NU akan berupaya melakukan pendekatan agar tidak ada lagi aksi-aksi teror yang didasarkan atas nama agama.

"Saya sering dan sudah melakukan dialog dengan Ketua Umum PP MUhammadiyah, Din Syamsuddin bahwa teroris bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam ayat Al Qur'an sendiri disebutkan, 'Apakah kamu (Muhammad) akan memaksakan orang menjadi seorang mukmin semua?' Nabi SAW menjawab tidak," kata Said kepada wartawan di arena Muktamar di Makassar, Selasa (23/3/2010).

Menurut Said, hingga kini belum ada warga nahdliyin (NU) yang terlibat aksi terorisme di Indonesia. "Secara kongkret selama ini NU bisa mengendalikan. Warga NU itu ada 60 juta, tidak ada satupun warga NU yang terlibat teroris. Seperti penangkapan di Lamongan dan tempat lainnya, itu bukan warga NU," paparnya.

Dalam kesempatan ini, Said juga mengimbau agar tidak ada kelompok-kelompok tertentu yang berupaya mengubah Indonesia menjadi negara agama. NU akan mengawal Indonesia tetap sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
(zal/yid)
Read More...

Prof KH Aliyafie: Kalau Kiai Sahal Tidak Mau Lagi, Kasi Kiai Talha

Laporan: AS Kambie. tribuntimurcom@yahoo.com
SELASA, 23 MARET 2010 | 23:53 WITA

MAKASSAR, TRIBUN-TIMUR.COM - Usia Prof KH Ali Yafie sudah memasuki 84 tahun. Kecintaan ulama sepuh kelahiran Donggala, Sulawesi Tengah, 1 September 1926, ini terhadap Nahdlatul Ulama (NU) tak luntur.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Pengurus Besar (PB) Darud Dakwah Wal Irsyad (DDI) pertama (dulu disebut Khatim Aam PB DDI) ini masih aktif memantau perkembangan Muktamar Ke-32 NU di kediamannya di Jakarta.

Meski secara fisik tak hadir di tengah nahdliyyin, namun semangat Aliyafie tetap mengiringi muktamirin.

Melalui saluran telepon, Selasa (23/3), Tribun berhasil mendapat sedikit keterangan dari Aliyafie soal harapannya dalam Muktamar Ke-32 NU ini.

"Berikanlah ulama itu haknya. Saya mengajak muktamirin tetap menghargai ulama dan memperlakukan ulama pada tempatnya," ujar Aliyafie dengan suara pelan.

Sejak tahun 1965 hingga 1971, Aliyafie menjadi Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Ujung Pandang (kini, UIN Alauddin Makassar). Sejak ini pulah Aliyafie mulai aktif di NU tingkat provinsi.

Pada Muktamar NU tahun 1971 di Surabaya, Jawa Timur, Aliyafie terpilih menjadi Rais Syuriyah NU dan setelah pemilu diangkat menjadi anggota DPR.

Pada Muktamar NU di Semarang, Jawa Tengah, 1979, dan Muktamar NU di Situbondo, Jawa Timur, 1984, ia terpilih kembali sehagai Rais Syuriah, dan di Muktamar Krapyak 1989 terpilih sebagai wakil Rais Aam. Tahun 1991, Aliyafie diangkat sebagai pejabat sementara Rais Aam NU.

Perjalanan panjang Aliyafie di Syuriah NU itu membuat perhatiannya terpusat pada bidang ini hingga kini.

Di tanya soal "riak" menjelang pemilihan Rais Aam NU ini, Aliyafie meminta muktamirin menghargai ulama.

"Kalau Pak Kiai Sahal masih mau, berikan beliau haknya sebagai ulama. Tapi kalau Kiai Sahal tidak bersedia lagi, saya kira yang cocok adalah Kiai Talha Hasan," ujar Aliyafie.

Aliyafie tak bersedia berbicara lebih jauh selain kalimat-kalimat tersebut. Berkali-kali dia menekankan, "Kalau Pak Kiai Sahal masih mau, kasi beliau lagi. Kalau tidak, Kiai Talha Hasan yang pas."(*)

Read More...

Gus Solah: NU Harus Punya Sekolah dan RS

Selasa, 23 Maret 2010 | 21:14 WIB
KOMPAS/INGKI RINALDI
Salahuddin Wahid

MAKASSAR, KOMPAS.com — Salah satu calon ketua PBNU yang ikut bertarung pada Muktamar Ke-32 NU di Makassar adalah KH Salahuddin Wahid atau Gus Solah. Mantan calon wakil presiden pada Pemilihan Presiden 2004 ini menuturkan gagasannya tentang NU. Berikut wawancara Tribun Timur dengan Gus Solah yang dilakukan dalam perjalanan menuju markas tim pemenangannya di Sudiang, Senin (22/3/2010) tengah malam.

Sebagai calon ketua PBNU di muktamar ini, Anda tentu punya tim sukses. Dari mana saja mereka berasal?
Tim kami berasal dari banyak daerah. Ada dari Jakarta, Surabaya, Bandung, Makassar, dan bahkan Malaysia. Daerah lainnya juga ada. Tim ini bertugas untuk mengomunikasikan gagasan kami sekaligus juga untuk memfasilitasi kebutuhan mereka. Mereka bertugas sejak lima bulan lalu. Yang mengoordinasikan adalah Syaifullah Maksum, mantan anggota DPR RI dari PKB, pernah Sekjen Anshor.

Sejak kapan tim ini terbentuk?
Saya ceritakan dulu asal muasal mengapa saya mau jadi calon ketua. Pada akhir Oktober tahun lalu, saya didatangi dua kiai besar dari Jawa Timur. Kiai ini mewakili kiai lainnya. Mereka bilang, Anda harus mencalonkan, harus bertanggung jawab atas organisasi yang pernah dipimpin kakak Anda. Akhirnya saya maju. Akhir Oktober, kami mulai bergerak ke berbagai daerah, termasuk di Sulawesi Selatan.

Di antara calon lain, siapa yang menurut Anda paling kuat?
Semuanya kuat. Sama rata. Tapi lima bulan terakhir ini, kami yakin sudah imbang dengan Pak Said. Beliau kan rajin bertemu dengan Nahdliyin, sedangkan saya ini dulu lebih banyak dikenal di media. Makanya saya banyak turun. Minggu ketiga saya sudah bertemu dengan KH Sanusi Baco (pada Senin pagi, Gus Solah berziarah ke makam Anre Gurutta Ambo Dalle di Barru dan berencana untuk berziarah ke makam Puang Ramma). Setiap kunjungan, ada juga Pak Slamet dan Pak Masdar.

Bukannya dengan mereka Anda bersaing?
Ya. Memang bersaing, tapi kami sama-sama punya tujuan yang jelas. Dengan mereka, kami ada kesepakatan tak tertulis, siapa saja yang mendapat dukungan 99 suara, maka yang lainnya harus mendukung.

Bagaimana dengan Makassar dan Sulawesi Selatan. Mereka juga mendukung Anda?
Makassar atau Sulawesi Selatan belum saya tahu perkembangannya. Tapi insyah Allah mereka sevisi dengan kami.

Anda sendiri punya visi dan misi apa terhadap NU?
Saya sering ditanya demikian, tapi saya mau balik pertanyaan itu: NU itu apa? Menurut saya, NU itu ada empat. Pertama, ajaran. Ajaran Ahlu Sunnah wal Jamaah di NU ini sudah lama ada, jauh sebelum negara ini terbentuk. Bahkan, beberapa prinsip negara kita ini banyak dikembangkan dari ajaran Aswaja yang disebarkan para ulama. Kedua, NU itu warga.

Saya tak punya data yang lengkap. Ada yang bilang 35 ada pula bilang 40 persen umat Islam di Indonesia mengaku sebagai NU. NU kultural. Itu berarti NU itu merupakan potensi untuk menjadi kekuatan masyarakat sipil yang besar. Ketiga, NU itu ulama dan pesantren. Kita mengenai sekolah pada awal-awal 90-an. Apakah sebelum itu tidak ada pendidikan di Indonesia? Ada dan itu dilakukan oleh ulama melalui pesantren. Jadi ulama dan pesantren itu punya peran besar terhadap negara ini, bahkan sampai sekarang.

Ulama yang merumuskan arah bangsa ini, bukan profesor atau ilmuwan lain. Ulama yang menjadikan Islam di Indonesia moderat dan toleran, dan itu berarti kita harus balas jasa mereka. Keempat, NU itu organisasi. Namanya organisasi, ya harus melayani kepentingan ajaran, warga, ulama, dan pesantren.

Ke depan, organisasi NU itu harus banyak pada penekanan ekonomi berbasis Ahlu Sunnah Waljamaah. Kalau ICMI bisa bikin Bank Muamalat, kita juga harus bisa. Syaratnya, mau dan berusaha. NU harus punya pasar. NU harus punya sekolah, NU harus punya rumah sakit agar NU makin kuat sekaligus harus aktif mendistribusikan rahmat Allah di bumi.

Saya tegaskan, NU tidak akan jadi partai politik dan kita bukan sebagai oposisi pemerintah. Tapi juga bukan alat pemerintah. NU mitra pemerintah dan bersama-sama membangun bangsa ini. Dia harus jadi pendorong kekuatan masyarakat sipil.

Ada yang mengatakan Anda layak memimpin NU karena punya garis darah dengan pendiri NU. Tanggapan Anda?
Sebenarnya bukan itu yang utama, tetapi juga bukan hal yang perlu dikesampingkan, misalnya, kalau dia punya trah tetapi bisa memimpin? Kan tidak apa-apa. Jadi garis keturunan itu saya anggap saja sebagai nilai plus.

Kalau sekiranya Anda tidak terpilih?
Ya, tidak masalah. (Tribun Timur/Amir PR)

Read More...

Hujan Interupsi Warnai Muktamar NU

Rabu, 24 Maret 2010 00:43 WIB

Makassar, (tvOne)

Sidang pembahasan tata tertib (tatib) Muktamar ke-32 Nahdlatul Ulama (NU) yang berlangsung di Asrama Haji Sudiang Makassar, Selasa (23/3) malam, diwarnai interupsi peserta. Akibatnya, sejumlah pasal dalam tatib mengalami perubahan. Seperti Pasal 22 Ayat 3, yang menambahkan kalimat calon ketua umum tidak terlibat organisasi masyarakat yang bertentangan dengan prinsip perjuangan NU dan tidak terlibat langsung maupun tidak dengan Jaringan Islam Liberal (JIL).

Selain koreksi Pasal 22, peserta sidang tatib juga menyepakati penghapusan Pasal 26 karena dianggap tidak jelas. Pasal tersebut berisi ketentuan pemilihan, seperti yang tercantum pada Bab VII disesuaikan dengan keputusan Komisi organisasi tentang AD/ART NU. Ketua Muslimat Pengurus Pusat (PP) NU, Khofifah Indar Parawansa, menanggapi koreksi Pasal 22 mengatakan, bahwa seharusnya kalimat tersebut ditambahkan dengan kata "radikal".

Kendati tidak menyatakan bahwa ada nahdliyin yang radikal, namun pencantuman kata radikal tersebut sebagai langkah antisipatif. Prinsip NU sendiri adalah prinsip moderat yang berada di tengah. "Liberal itu melebih-lebihkan moderat, sementara radikal mengurangi moderat. Jadi kata radikal itu perlu juga ditambahkan. Tapi mungkin peserta menganggap tidak ada kandidat ketua yang radikal, jadi kata itu tidak dicantumkan," ujarnya.

Dia menambahkan, pada proses pemilihan Ketua Umum aturan harus lebih ketat. Kandidat harus benar-benar tidak menjadi pengurus pada salah satu partai politik saat mengajukan diri menjadi calon Ketua Umum PBNU. (Ant)

Read More...

NU Diharapkan Menjadi Organisasi Mandiri

Selasa, 23 Maret 2010 19:03 WIB
Penulis : Nurulia Juwita Sari
NU Diharapkan Menjadi Organisasi Mandiri

RUMGAPRES/Abror Rizki

MAKASSAR--MI:Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berharap, kepengurusan Nahdlatul Ulama (NU) yang terpilih dalam Muktamar ke-32 di Makassar kali ini dapat membawa NU sebagai organisasi keagamaan yang mandiri dan independen.

Hal itu disampaikan Presiden saat membuka Muktamar ke-32 NU di Celebes Convention Center, Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa (23/3).

"Ke depan, keluarga besar NU diharapkan tetap melakukan politik Adi Luhung, politik bermartabat di jalan Allah SWT dan terbebas dari perilaku politik yang jauh dari etika dan tata krama," ujar Presiden saat memberikan sambutan dihadapan 4500 muktamirin dari dalam dan luar negeri.

NU diharapkan makin meningkatkan tiga peran pentingnya, yakni menjaga harmoni keIslaman dan ke-Indonesiaan, menjaga kemitraan dengan pemerintah dan menjadi jembatan dalam membangun dialog antar peradaban Islam dan peradaban barat. "Kepada unsur pimpinan Nahdlatul Ulama tetaplah menebarkan keteduhan, kedamaian dan keteladanan," imbuhnya.

Pemerintah, kata Presiden, akan menghormati hasil Muktamar yang berakhir pada 28 Maret mendatang. "Pemerintah akan menghormati hasil Muktamar ini, yang diharapkan dapat benar-benar mencerminkan kehendak dan aspirasi Keluarga Besar Nahdlatul Ulama," pungkasnya. (NJ/OL-7)
Read More...

Sahal: NU Ada di Mana-mana, Tapi tak ke Mana-mana

MAKASSAR, (PRLM).- Rais Aam K.H. M.A. Sahal Mahfudh mengatakan, NU telah memilih jarak yang netral dengan kekuatan politik dan pemerintah sebagai organisasi yang mandiri dan independen. Sebagai konsekuensinya, dalam jalur politik, NU ada di mana-mana, tapi tidak ke mana-mana.

“Artinya NU menyilahkan warganya untuk memilih dan menyalurkan aspirasi pada parpol manapun. Namun tidak melupakan jati dirinya sebagai Nahdiyin,” kata Sahal pada pembukaan Muktamar ke-32 NU di Celebes Convention Center, Makassar, Sulsel, Selasa (23/3).

Terkait kemitraan dengan pemerintah, Sahal mengatakan, dalam hal tertentu NU selalu mendukung kebijakan pemerintah. Namun dalam hal lain, NU akan bersikap kritis jika kebijakan yang ada dianggap tidak sejalan dengan visi kebangsaan yang telah dirumuskan bersama.

Sahal mengakui, belakangan ini watak kebangsaan NU terusik dengan banyaknya godaan para ulama untuk terlibat dalam politik praktis. Padahal, peran ulama seharusnya hanya sebagai pendorong dan pemberi semangat ke arah dinamika politik, ekonomi dan sosial budaya. “Ulama akan lebih terhormat manakala tampil sebagai sumber inspirasi dalam menjawab tantangan dan menyelesaikan persoalan kebangsaan yang ada,” ujarnya.

Kendati demikian, Sahal menekankan, komitmen ulama untuk tidak terjun dalam politik praktis harus dibarengi komitmen pemerintah dalam merumuskan pembangunan masa depan bangsa.

“Ulama jangan hanya dijadikan ‘pemadam kebakaran’ yang hanya diperlukan saat ada masalah. Ulama idealnya tidak hanya diundang oleh Kementerian Sosial. Namun dilibatkan juga oleh perencana pembangunan seperti Bappenas,” tuturnya. (A-97/A-178/das)***

Read More...

Ma'ruf Amin, "Rais Aam Harus Seorang Ulama Kharismatik"

MAKASSAR, (PRLM).- K.H. Ma’ruf Amin, Wakil Rais Aam PBNU mengatakan, sebaiknya posisi Rais Aam tidak dipilih secara langsung oleh peserta, tetapi lebih baik ditentukan oleh para ulama sepuh.

Rais Aam tersebut, katanya, harus seorang ulama yang kharismatik, dengan memiliki tingkat keilmuan tinggi yang tidak bisa dibeli. “Nanti dicari ulama tersebut, lalu oleh ulama sepuh ditentukan,” katanya, di sela-sela pembukaan Muktamar ke-32 NU di Makassar, Selasa (23/3).

Posisi Rais Aam itu sangat penting untuk menjaga kewibawaan NU. Kiai Ma’ruf Amin juga menyarankan, posisi Rais Aam jangan dari orang yang mencalonkan diri, tetapi harus diminta.

Muktamar berlanjut Selasa (23/3) malam dengan agenda pembahasan serta pengesahan tata tertib dan acara Muktamar.

Sementara Rabu (24/3) para Muktamirin akan berdialog dengan beberapa anggota Kabinet Indonesia Bersatu II seperti Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Agama, Menteri Tenaga Kerja, Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, serta Menteri Kesehatan. (A-97/A-178)***

Read More...

Said Aqil: NU Bukan Tempat Meniti Karir Politik

Suriani
Said Aqil Siradj

INILAH.COM, Makassar - Menanggapi pernyataan Presiden SBY agar NU tak terlibat politik praktis, calon ketua umum PBNU, KH Said Aqil Siradj menyatakan, NU bukan tempat berkarir politik.

"NU jangan tergoda politik praktis, bukan untuk meniti karir jabatan politik. Kalau mau berpolitik jadi Bupati, Gubernur, silakan di luar sana, ada PKB, PPP, Demokrat dan Golkar," kata Said Aqil di Makassar, Senin (23/3).

Pernyataannya itu juga akan diimplementasikan ketika nanti ia sudah terpilih sebagai ketua umum PBNU pada Muktamar yang digelar mulai 23-28 Maret ini. Lain halnya dengan pendahulunya di NU, KH Hasyim Muzadi pernah digandeng PDIP untuk mendampingi Megawati saat pilpres 2004 lalu.

Namun, jika ia terpilih sebagai ketua dengan tegas ia menolak untuk ditarik dalam kancah perpolitikan. "Kalau ada yang lamar, saya tidak akan tergiur dengan tarikan-tarikan syahwat berpolitik praktis, maupun jabatan. Sebab NU karirnya adalah sebagai pemimpin masyarakat dan tokoh masyarakat," cetusnya.

Kendati demikian, ia memungkiri kader-kader NU banyak yang berpolitik. Sebab NU sendiri membebaskan kadernya untuk berpolitik praktis, kecuali orang-orang yang duduk di struktural NU. [mut]

Read More...

NU Mesti Segera Punya Perguruan Tinggi

MAKASSAR, (PRLM).- PWNU Jabar tidak hanya memperjuangkan untuk calon Ketua Umum PBNU, tetapi juga program kerja untuk NU mendatang. Ada tiga masalah utama yang akan disodorkan NU Jabar dalam proses penyusunan program kerja di Muktamar NU di Makasar.

Ketiga program itu, kata Dedi Wahidi, yaitu dalam bidang pendidikan, ekonomi dan kesehatan. Di bidang pendidikan, NU mesti segera membuat universitas NU untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang benar-benar unggul di setiap wilayah. Seperti di Jabar, sedang disiapkan perguruan tinggi di Indramayu dan beberapa tempat lainnya. “Kita juga butuh dukungan dari PBNU untuk pembentukan perguruan tinggi ini,”ujarnya.

Di bidang ekonomi, harus diupayakan program yang benar-genar menyentuh untuk pemberdayaan ummat di daerah. Selama ini, banyak masalah dihadapi ummat yaitu kesulitan ekonomi. Kondisi itu, harus menjadi perhatian PBNU, sehingga masalah program ekonomi disusun secara baik. Mulai dari usaha kecil menengah, pengembangan koperasi dan lainnya.

“Di bidang kesehatan, yaitu mesti mulai membentuk balai-balai kesehatan untuk embrio pendirian rumah sakit NU,” katanya. (A-97/A-178/das)***

Read More...

Delegasi Asing Optimis NU Mampu Bawa Perubahan

Selasa, 23 Maret 2010 18:52 WIB | Peristiwa | Pendidikan/Agama | Dibaca 154 kali

Makassar (ANTARA News) - Sejumlah delegasi asing yang hadir pada Muktamar ke-32 Nahdlatul Ulama (NU) optimistis organisasi massa (Ormas) Islam ini mampu membawa perubahan bagi bangsa dan negara Indonesia dengan kepemimpinan yang baru.

"Kami yakin, warga NU bisa memilih pemimpin yang mampu membawa perubahan bagi bangsa dan negara Indonesia untuk keluar dari berbagai macam persoalan," kata Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia Abdulrahman Mohammed Amen Al-Khayyat di Makassar, Selasa.

Menurut dia, kegiatan akbar yang digelar Ormas Islam terbesar di Indonesia ini, suatu kesempatan yang baik untuk mengambil langkah-langkah strategis dalam menentukan arah perjuangan organisasi ke depan.

Dia mengatakan, sejarah telah membuktikan jika organisasi ini mampu berkiprah tidak hanya di negerinya, tetapi juga menjadi perhitungan dalam organisasi Islam dunia melalui ketokohan sejumlah pemimpin yang pernah menjabat sebagai ketua umum PBNU.

Sementara itu, President The Australian Federation of Islamic Councils Inc. Hj Ikebal Mohammed Adam Patel mengatakan, pihaknya optimistis melalui Muktamar ke-32 NU ini, energi para muktamirin mampu tersalurkan untuk memilih pemimpin yang terbaik bagi masa depan NU ke depan.

"Pemimpin yang mampu menjembatani keharmonisan antara masyarakat dan pemimpinnya, termasuk menciptakan kader-kader yang memiliki pemikiran positif," katanya.

Mengenai adanya sinyalemen yang mendiskreditkan kelompok penganut Agama Islam sebagai pelaku teror di sejumlah negara, termasuk Australia, ia mengatakan, peranan organisasi Islam seperti NU harus mampu menepis anggapan tersebut, dengan melakukan pembinaan pada masyarakat atau umat muslim.

"Sesungguhnya umat Islam itu mencintai perdamaian, kalaupun ada sinyalemen bahwa muslim radikal itu terkait terorisme, itu tidak terlepas dari pengaruh perkembangan politik suatu negara dan dunia," ujarnya.
(T.S036/R009)
Read More...

NU dan Politik Praktis

Selasa, 23 Maret 2010 20:34 WIB | Artikel | Pumpunan | Dibaca 25 kali

Edy M. Ya`kub

NU dan Politik Praktis
Surabaya (ANTARA News) - Hubungan Nahdlatul Ulama (NU) dengan politik praktis agaknya menjadi isu menarik yang sempat disinggung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat membuka Muktamar ke-32 NU di Celebes Convention Center, Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa (23/3).

"NU memiliki budaya dan tradisi yang mulia untuk tidak mudah tergoda dan larut dalam politik praktis. Politik NU adalah politik yang berada pada tatanan nilai-nilai luhur, mengedepankan sejarahnya," katanya.

Kepala Negara berharap muktamar tersebut dapat meneguhkan khittah NU sebagai organisasi pendidikan, dakwah, dan sosial kemasyarakatan yang berhaluan Ahlus Sunnah Wal Jamaah.

Menurut Presiden, kaum nahdliyin di jajaran legislatif tidak hanya berada dalam satu partai politik, tetapi tersebar hampir di seluruh partai politik di Tanah Air.

"Hal itu merupakan warna kemajemukan dari kiprah NU. Dengan itu pula Nahdlatul Ulama dapat terus meningkatkan khidmat dalam politik keumatan dan politik kebangsaan," katanya.

Presiden menilai NU adalah organisasi yang membangun kemitraan dengan pemerintah untuk menyukseskan program-program peningkatan kesejahteraan rakyat seperti ekonomi, kerakyatan, pendidikan, baik di pesantren maupun pendidikan umum, kesehatan masyarakat, dan sebagainya.

"NU dalam perjalanan sejarahnya juga telah membuktikan bahwa Islam, demokrasi, dan modernitas dapat berjalan seiring dan sejalan dan bahkan saling melengkapi. NU mendorong terciptanya budaya demokrasi yang menjunjung tinggi etika dan akhlakul karimah. NU terlibat aktif dalam perjuangan mendirikan NKRI, sekaligus mengawalnya," katanya.

Oleh karena itu, katanya, sangat tepat jika mulai sekarang dan di masa depan NU dapat menjadi jembatan dan perekat berbagai komponen bangsa untuk mewujudkan Indonesia yang aman, rukun, dan bersatu.

"Ke depan, keluarga besar NU makin meningkatkan tiga peran penting, yaitu menjaga harmoni antara ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an, menjaga kemitraan dengan pemerintah untuk terus meningkatkan kesejahteraan ummat, serta mengambil bagian dalam menjembatani dan membangun dialog antarperadaban termasuk peradaban Islam dan peradaban barat," katanya.

Pandangan dan harapan yang disampaikan Presiden terkait hubungan NU dengan politik praktis agaknya merupakan isu yang tak pernah selesai dibicarakan di kalangan NU, apalagi NU memiliki sejarah sempat menjadi partai politik pada tahun 1955.

Isu itu menjadi marak diperbincangkan pascareformasi ketika partai politik (parpol) berjumlah cukup banyak, bahkan dalam 4-5 kali muktamar yang terakhir sempat muncul indikasi "ketertarikan" parpol dalam pertarungan kandidat ketua umum PBNU.

Di kalangan NU sendiri muncul tarik menarik dalam berbagai pandangan yang merujuk Khittah NU 1926, karena ada kelompok yang menilai NU harus "bebas" dari politik praktis.

Sebaliknya, ada kelompok yang berharap NU mengarahkan warganya untuk memilih agar NU tidak dimanfaatkan para politikus, namun hal itu bukan dilakukan institusi NU, melainkan para ulama NU.

Politik kebangsaan

Tarik menarik antara NU dengan politik praktis yang disinggung Presiden agaknya akan muncul dalam Muktamar ke-32 NU di Makassar.

Misalnya, Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur menginginkan PBNU mengarahkan pilihan politik warga NU supaya potensi politik NU tidak dimanfaatkan orang lain.

"Arahan itu tidak menyalahi Khittah NU, karena NU tetap tidak akan berpolitik, tapi NU hanya menyelamatkan potensi politik warga NU agar tidak dimanfaatkan orang lain," kata Sekretaris PWNU Jatim H Masyhudi Muchtar kepada ANTARA di Surabaya (7/3).

Oleh karena itu, kata anggota Majelis Alumni IPNU Jatim itu, PWNU Jatim akan mengusulkan realisasi "Komisi Politik" atau "Komisi Maslahah Ammah" dalam Muktamar 2010 di Makassar.

"Arahan itu juga tidak akan dilakukan institusi PBNU, tapi Komisi Maslahah Ammah. Kalau NU membentuk partai sendiri justru bertentangan dengan khittah NU, tapi NU akan tetap menghormati hak berpolitik warga NU sebagai warga negara," katanya.

Menurut dia, arahan itu merupakan kewajiban PBNU kepada warganya dalam berbagai sektor kehidupan, seperti politik, ekonomi, syariat (agama), sosial, budaya, dan lingkungan.

"Jadi, arahan itu tidak akan dipusatkan kepada partai A atau B, sebab semuanya akan bersifat situasional. Bisa saja PKB, PPP, Partai Demokrat, Partai Golkar, PDIP, dan sebagainya. Arahan juga akan ditentukan Komisi Maslahah Ammah yang dibentuk di tingkat PBNU," katanya.

Tentang pengurus NU yang menjadi calon dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) mulai dari presiden, gubernur, bupati, hingga wali kota, ia mengatakan hal itu juga harus ditentukan oleh Komisi Maslahah Ammah di PBNU.

"Semua urusan politik praktis diserahkan kepada Komisi Maslahah Ammah di PBNU itu, karena semuanya serba situasional, baik urusan parpol maupun pencalonan," katanya.

Dengan begitu, katanya, pengurus NU yang dicalonkan itu bisa mundur dan bisa pula hanya non-aktif seperti yang selama ini menjadi perdebatan di kalangan warga NU.

"Itu semua atas izin Komisi Maslahah Ammah PBNU. Kalau di Jawa mungkin harus mundur, tapi kalau di luar Jawa mungkin cukup non-aktif, karena orang NU di luar Jawa itu belum banyak," katanya.

Pandangan itu disepakati Ketua Umum PBNU KHA Hasyim Muzadi. "NU sudah jelas menganut politik kebangsaan, keumatan, dan keagamaan, bukan politik kekuasaan (politik praktis). Kalau hubungan NU dengan politik praktis sudah ada aturannya di NU," katanya.

Agaknya, Hasyim Muzadi menduga ada tiga kepentingan di balik isu NU bebas politik atau sterilisasi NU dari politik itu yakni kepentingan "mabadi khoiro ummah" (civil society), kepentingan politikus yang tak ingin kehilangan suara dari NU, dan kepentingan kelompok yang ingin memotong jalur aspiratif nilai agama dengan negara.
(T. EMY/P003)
Read More...
banner125125 d'famous_125x125 ads_box ads_box ads_box