Gus Solah: NU Harus Punya Sekolah dan RS

Tuesday, March 23, 2010
Selasa, 23 Maret 2010 | 21:14 WIB
KOMPAS/INGKI RINALDI
Salahuddin Wahid

MAKASSAR, KOMPAS.com — Salah satu calon ketua PBNU yang ikut bertarung pada Muktamar Ke-32 NU di Makassar adalah KH Salahuddin Wahid atau Gus Solah. Mantan calon wakil presiden pada Pemilihan Presiden 2004 ini menuturkan gagasannya tentang NU. Berikut wawancara Tribun Timur dengan Gus Solah yang dilakukan dalam perjalanan menuju markas tim pemenangannya di Sudiang, Senin (22/3/2010) tengah malam.

Sebagai calon ketua PBNU di muktamar ini, Anda tentu punya tim sukses. Dari mana saja mereka berasal?
Tim kami berasal dari banyak daerah. Ada dari Jakarta, Surabaya, Bandung, Makassar, dan bahkan Malaysia. Daerah lainnya juga ada. Tim ini bertugas untuk mengomunikasikan gagasan kami sekaligus juga untuk memfasilitasi kebutuhan mereka. Mereka bertugas sejak lima bulan lalu. Yang mengoordinasikan adalah Syaifullah Maksum, mantan anggota DPR RI dari PKB, pernah Sekjen Anshor.

Sejak kapan tim ini terbentuk?
Saya ceritakan dulu asal muasal mengapa saya mau jadi calon ketua. Pada akhir Oktober tahun lalu, saya didatangi dua kiai besar dari Jawa Timur. Kiai ini mewakili kiai lainnya. Mereka bilang, Anda harus mencalonkan, harus bertanggung jawab atas organisasi yang pernah dipimpin kakak Anda. Akhirnya saya maju. Akhir Oktober, kami mulai bergerak ke berbagai daerah, termasuk di Sulawesi Selatan.

Di antara calon lain, siapa yang menurut Anda paling kuat?
Semuanya kuat. Sama rata. Tapi lima bulan terakhir ini, kami yakin sudah imbang dengan Pak Said. Beliau kan rajin bertemu dengan Nahdliyin, sedangkan saya ini dulu lebih banyak dikenal di media. Makanya saya banyak turun. Minggu ketiga saya sudah bertemu dengan KH Sanusi Baco (pada Senin pagi, Gus Solah berziarah ke makam Anre Gurutta Ambo Dalle di Barru dan berencana untuk berziarah ke makam Puang Ramma). Setiap kunjungan, ada juga Pak Slamet dan Pak Masdar.

Bukannya dengan mereka Anda bersaing?
Ya. Memang bersaing, tapi kami sama-sama punya tujuan yang jelas. Dengan mereka, kami ada kesepakatan tak tertulis, siapa saja yang mendapat dukungan 99 suara, maka yang lainnya harus mendukung.

Bagaimana dengan Makassar dan Sulawesi Selatan. Mereka juga mendukung Anda?
Makassar atau Sulawesi Selatan belum saya tahu perkembangannya. Tapi insyah Allah mereka sevisi dengan kami.

Anda sendiri punya visi dan misi apa terhadap NU?
Saya sering ditanya demikian, tapi saya mau balik pertanyaan itu: NU itu apa? Menurut saya, NU itu ada empat. Pertama, ajaran. Ajaran Ahlu Sunnah wal Jamaah di NU ini sudah lama ada, jauh sebelum negara ini terbentuk. Bahkan, beberapa prinsip negara kita ini banyak dikembangkan dari ajaran Aswaja yang disebarkan para ulama. Kedua, NU itu warga.

Saya tak punya data yang lengkap. Ada yang bilang 35 ada pula bilang 40 persen umat Islam di Indonesia mengaku sebagai NU. NU kultural. Itu berarti NU itu merupakan potensi untuk menjadi kekuatan masyarakat sipil yang besar. Ketiga, NU itu ulama dan pesantren. Kita mengenai sekolah pada awal-awal 90-an. Apakah sebelum itu tidak ada pendidikan di Indonesia? Ada dan itu dilakukan oleh ulama melalui pesantren. Jadi ulama dan pesantren itu punya peran besar terhadap negara ini, bahkan sampai sekarang.

Ulama yang merumuskan arah bangsa ini, bukan profesor atau ilmuwan lain. Ulama yang menjadikan Islam di Indonesia moderat dan toleran, dan itu berarti kita harus balas jasa mereka. Keempat, NU itu organisasi. Namanya organisasi, ya harus melayani kepentingan ajaran, warga, ulama, dan pesantren.

Ke depan, organisasi NU itu harus banyak pada penekanan ekonomi berbasis Ahlu Sunnah Waljamaah. Kalau ICMI bisa bikin Bank Muamalat, kita juga harus bisa. Syaratnya, mau dan berusaha. NU harus punya pasar. NU harus punya sekolah, NU harus punya rumah sakit agar NU makin kuat sekaligus harus aktif mendistribusikan rahmat Allah di bumi.

Saya tegaskan, NU tidak akan jadi partai politik dan kita bukan sebagai oposisi pemerintah. Tapi juga bukan alat pemerintah. NU mitra pemerintah dan bersama-sama membangun bangsa ini. Dia harus jadi pendorong kekuatan masyarakat sipil.

Ada yang mengatakan Anda layak memimpin NU karena punya garis darah dengan pendiri NU. Tanggapan Anda?
Sebenarnya bukan itu yang utama, tetapi juga bukan hal yang perlu dikesampingkan, misalnya, kalau dia punya trah tetapi bisa memimpin? Kan tidak apa-apa. Jadi garis keturunan itu saya anggap saja sebagai nilai plus.

Kalau sekiranya Anda tidak terpilih?
Ya, tidak masalah. (Tribun Timur/Amir PR)

0 comments:

Post a Comment

banner125125 d'famous_125x125 ads_box ads_box ads_box