Kembalikan NU ke Khittah 1926

Tuesday, March 23, 2010

TB Ardi Januar

Selasa, 23 Maret 2010 - 15:23 wib

MUKTAMAR Nahdlatul Ulama (NU) ke-32 mulai digelar. Sederat rangkaian acara mengawali pembukaan agenda sakral kaum nahdliyin.
Dalam muktamar, NU akan memiliki pemimpin baru untuk menggantikan posisi KH Hasyim Muzadi yang sudah menjabat selama dua periode. Sejumlah nama calon dengan latar belakang beragam pun bermunculan.
Sebut saja di antaranya Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng KH Salahuddin Wahid, pengurus PBNU Said Agil Siradj, mantan Anggota DPR Slamet Effendi Yusuf, aktivis PMII Ahmad Bagja dan Masdar Farid Mas’udi, hingga pendiri Jaringan Islam Liberal Ulil Absar Abdala.
Muktamar kali ini dinilai meriah. Pasalnya, seluruh calon memiliki peluang sama kuat dan sulit diterka. Gus Solah (Salahuddin) memiliki kelebihan karena cucu dari pendiri NU KH Hasyim Asy’ari, Said Agil mengklaim didukung Presiden SBY, dan Ahmad Bagja yang disinyalir mendapat dukungan penuh dari KH Hasyim Muzadi.
Sayang, masih banyak pihak yang berpikiran bahwa muktamar adalah momen untuk merebutkan posisi puncak ormas Islam terbesar di Indonesia ini. Padahal, ada hal yang lebih penting dari sekadar berebut kekuasaan, yakni NU harus kembali ke khittah 1926, dimana NU harus terbebas dari kegiatan politik praktis.
Rais Am Syuriah KH Sahal Mahfud berpendapat, saat ini pengurus NU masih melakukan penyimpangan dari khittah 1926. Mbah Sahal berharap, seharusnya NU lebih memfokuskan perannya di bidang pendidikan dan ekonomi masyarakat. Namun, belakangan ini, NU terkesan lebih sering disibukkan dengan bidang politik.
Sedikit menoleh ke belakang, yang melatarbelakangi berdirinya NU di Jombang pada 31 Januari 1926 silam adalah bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi. Hal itu dilakukan karena kondisi rakyat sangat terpuruk buntut dari penjajahan Belanda. Atas dasar itu, KH Hasyim Asyari bersama sejumlah temannya berjuang membesarkan nama NU dengan faham Ahlussunah Waljama’ah. NU pun berhasil menjadi ormas Islam terbesar.
Harus diakui bersama, kondisi bangsa saat ini masih belum stabil. Jutaan rakyat belum mendapatkan hak hidup layak terlebih hak pendidikan. Namun, kondisi tersebut seakan tidak menggugah penguasa yang menjalankan roda pemerintah. Mereka lebih disibukkan dengan persoalan pribadi ataupun golongannya.
Karena itu, NU harus bisa meninggalkan kegiatan politik praktis dan kembali ke pangkuan rakyat. NU harus memberikan pengabdiannya kepada rakyat dalam bidang kerohanian, pendidikan, sosial, dan ekonomi. Dengan begitu, NU sudah turut serta dalam membangkitkan Indonesia dari keterpurukan. Sesuai nama “Nahdlatul” yang artinya adalah KEBANGKITAN.
{Wallahu’alam Bishawab…}

0 comments:

Post a Comment

banner125125 d'famous_125x125 ads_box ads_box ads_box