Politik kebudayaan dan khittah NU

Friday, March 26, 2010

DUTA MASYARAKAT, 22 Maret 2010

oleh: FATHOR RAHMAN JM
Kontributor dalam Buku Sarung & Demokrasi


Sebagai organisasi kemasyarakatan dan keagamaan (Islam), tugas dan tujuan utama Nahdlatul Ulama (NU) sebenarnya adalah dakwah, menegakkan hukum Tuhan di muka bumi. Hal ini sama saja sebenarnya dengan organisasi-organisasi sosial keagamaan (Islam) lainnya di Nusantara. Namun satu hal yang membedakan NU dengan organisasi-organisasi lain tersebut. Yakni, sikap akomodatifnya terhadap budaya.

Paradigma keberagamaan masyarakat NU berpijak pada nilai-nilai keislaman universal yang tumbuh dan berakar kuat dalam tradisi keilmuan seluruh umat Islam tradisionalis, khususnya dalam proses Islamisasi awal di Nusantara.

Paradigma ini dapat dilacak dalam epistemologi pemikiran keagamaan NU yang lekat dengan kelompok pemikiran keislaman Ahl al-Sunnah wa al-Jam�’ah (Sunni). Pemikiran keagamaan Sunni berusaha memadukan antara corak pemikiran naqli (dogmatis-tekstualis) dan aqli (rasionalis-kontekstualis).

Dengan bekal paradigma tersebut, masyarakat NU dapat menempatkan diri sebagai bagian dari keragaman (pluralitas) ciptaan Tuhan di muka bumi ini. Al-hasil, sikap toleransi (tasamuh), moderat (tawasuth), proporsional (tawazzun), dan adil (ta’adul) menjadi pijakan dasar dalam segala motivasi dan perilaku masyarakat NU.

Hal inilah yang menghasilkan sikap akomodatif masyarakat NU, khususnya terhadap budaya lokal. Bagi NU, dalam kegiatan dakwah, budaya lokal bukanlah rival yang harus dibasmi. Justru, budaya lokal dianggap sebagai penunjang atau fasilitas dalam menyampaikan dakwah, sebagaimana dakwah yang dilakukan Kanjeng Sunan Kalijaga yang menjadikan pertunjukan seni budaya lokal sebagai sarana dakwah.

Budaya lokal adalah peradaban kecil, sedangkan Islam adalah peradaban besar. NU mengibaratkan budaya lokal seperti aliran sungai kecil yang bisa menyatu dan menambah debit air sehingga menjadi sungai besar (peradaban Islam). Dari banyak budaya lokal itulah budaya Islam yang besar itu berasa. Tanpa sungai-sungai kecil tersebut, sangat sulit menemukan sungai-sungai besar.



Muktamar NU di Makassar

Topik mengenai interaksi NU dengan budaya lokal serta kaitannya dengan Khittah NU 1926 menjadi sangat relevan dijadikan agenda pembahasan dalam Muktamar NU di Makassar. Selama ini, aspek khittah NU yang mendapat perhatian intensif justru hanya masalah interaksi NU dengan politik kekuasaan. Padahal, sebagaimana yang pernah di-dawuh-kan KH Muchit Muzadi, pemulihan khittah NU bukan hanya dalam politik praktis. Politik praktis hanya sebagian kecil dari sasaran khittah. Banyak segi yang harus diperhatikan terkait dengan khittah.

Untuk dapat mengekstensifkan ruang wacana khittah NU, maka NU perlu memperhatikan kembali apa yang pernah difatwakan oleh Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari, bahwa posisi NU berdiri di “tengah” (tawasuth) sebagai penjaga tradisi keagamaan masyarakat lokal dari ancaman gerakan puritanisme Islam. Untuk mengaplikasikan fatwa ini, NU tidak bisa tidak selalu meneguhkan politik kebudayaan.

Kalau dicermati, sebenarnya politik kebudayaan inilah inti dari Khittah NU 1926. Sebab, meneguhkan politik kebudayaan dapat memungkinkan NU mengepakkan sayap dakwah dan pendidikannya selebar mungkin dalam segala aspek kehidupan tanpa merasa rikuh dan asing dengan masyarakat budaya setempat. Ini dapat dibuktikan dengan berperannya NU dalam segala bidang kehidupan, seperti bidang agama, sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Hal itu merupakan keuntungan bagi siapa saja yang tekun mengembangkan politik kebudayaan.

L Bonet (2007) mengungkapkan empat alasan pentingnya mengembangkan politik kebudayaan. Pertama, nilai strategis budaya sebagai penyebar standar simbolis dan komunikatif. Kedua, perlunya menempa identitas kolektif. Ketiga, politik kebudayaan berdampak positif pada ekonomi dan sosial karena mengembangkan kreativitas. Keempat, perlu memelihara kekayaan kolektif (budaya, sejarah, tradisi, dan seni). Keempatnya mengandaikan penerimaan keragaman masyarakat, hal yang sebenarnya telah ditekuni oleh NU (Haryatmoko, 2009).

Karena itu, tidak heran kalau dalam sejarah dan garis perjuangannya di Nusantara, NU tercatat sebagai organisasi yang terdepan dalam memperjuangkan multikulturalisme. Ya, NU menjadi pelopor adanya pengakuan terhadap keberagaman budaya yang menumbuhkan kepedulian agar berbagai kelompok yang termarjinalisasi dapat terintegrasi dalam suatu komunitas skala besar, dan masyarakat mengakomodasi segala perbedaan budaya sehingga keunikan identitas masing-masing mereka diakui.

Hal ini menjadikan NU sebagai organisasi yang mampu merekatkan hubungan antarmasyarakat Nusantara yang majemuk, sehingga menguatkan persatuan bangsa dalam segala aspek pluralitasnya. Kalau mau jujur, dalam hal inilah jasa NU teramat besar.

Selain itu, ketekunan NU dalam membangun politik kebudayaan merupakan aset paling berharga bagi NU untuk selalu menjadi pelopor dalam segala kegiatan politik dalam arti luas, sebagaimana yang diartikan Ginsburg (1996), sebagai kontrol terhadap alat-alat produksi, reproduksi, konsumsi, dan akumulasi daya-daya material serta simbolis.

Hal yang demikian tidak terbatas pada pengertian perebuatan kekuasaan dalam pemerintahan, melainkan melingkupi segala aspek kehidupan manusia. Kepeloporan dalam kegiatan politik yang demikian dapat dilihat dalam sejarah perjalanan NU sejak lahir hingga saat ini. NU terlibat dalam politik kebangsaan, kerakyatan, dan kekuasaan.

Keterlibatan NU dalam politik kekuasaan sebenarnya dapat dikatakan sebagai kodrat atau konsekuensi logis dari kenyataan bahwa NU adalah organisasi keagamaan (Islam), agama dengan penganut terbanyak di Indonesia. Dalam The Interpretation of Cultures (1996), Clifford Geertz memetakan struktur Islam Jawa (Nusantara) yang ia sebut sebagai religion as a cultural system (agama sebagai sistem budaya).

Dalam hal ini, agama sangat potensial dijadikan komoditas politik, karena praktik dan sistem teologi keagamaan mampu menciptakan kesatuan nilai yang menyedot ketundukan massa. Dari sini terciptalah primordialisme berdasarkan nilai keagamaan, yang dalam kalkulasi pangsa politik sangat potensial dan menguntungkan. Tidak mengherankan kalau dalam setiap ada event politik kekuasaan NU menjadi sesuatu yang menarik karena besarnya kantong suara yang dimiliki NU. Lebih-lebih ketika NU menyatakan diri kembali ke khittah yang sering dimaknai sebagai sikap apolitik.

Jadi, dalam Muktamar NU di Makassar, para muktamirin harus bisa memilih pemimpin yang mampu meneguhkan dan mengembangkan politik kebudayaan NU sebagai inti dari Khittah NU 1926. Wallahu a’lam.

0 comments:

Post a Comment

banner125125 d'famous_125x125 ads_box ads_box ads_box