NU, Liberalisme, Tradisionalisme, dan Egalitarianisme

Friday, March 26, 2010


Oleh : Fajar Kurnianto


Tereliminasinya Ulil Abshar-Abdalla, tokoh muda NU yang menyebut dirinya sebagai Gus Dur muda, dari bursa calon ketua PBNU pada Muktamar NU ke-32 di Makassar sepanjang akhir bulan ini, karena alasan bahwa dia terlibat dalam Jaringan Islam Liberal (JIL), bahkan pernah menjadi koordinatornya. Alasan lain yang tidak tersebut, dia masih terlalu muda untuk memimpin organisasi sebesar NU, sementara masih ada kaum tua yang lebih sepuh.

Liberalisme & tradisionalisme

Ulil Abshar-Abdalla memang dikenal sebagai tokoh muda NU yang berpemikiran liberal. Bersama anak-anak muda NU lainnya, ia membuat JIL untuk mewadahi anak-anak muda NU yang berpikiran bebas dan kritis untuk membongkar pemikiran tradisional yang rigid dan membelenggu kemajuan. Kemunculan JIL di wilayah NU juga tidak lepas dari peran dan keberadaan seorang Gus Dur yang sangat mengapresiasi, bahkan mendukung anak-anak muda NU ini untuk mengembangkan pemikirannya lebih maju. Pemikiran-pemikiran JIL hampir dapat dikatakan menjadi ejawantah pemikiran Gus Dur.

Uniknya, kemunculan JIL dianggap sebagai sesuatu yang membahayakan, sementara tidak demikian dengan sosok Gus Dur. Dengan demikian, berarti, alasan ditolaknya unsur-unsur JIL sebenarnya terkesan janggal jika mengingat sosok Gus Dur di NU. JIL muncul dan tumbuh hingga saat ini karena peran Gus Dur. Sementara Gus Dur adalah sosok yang dianggap merepresentasikan seorang NU tulen. Selain bahwa ia sendiri adalah cucu dari pendiri NU, Hadratusy Syaikh KH Hasyim Asy’ari. Persoalannya kemudian menjadi paradoks jika melihat bahwa NU bermazhab Ahli Sunnah wal Jamaah (Aswaja) yang dalam lintasan sejarah, dikenal dengan paham tradisionalis-moderatnya.

Aswaja disebut tradisioanlis karena teguh mempertahankan tradisi keagamaan yang diwariskan para ulama klasik, sementara moderat karena mazhab berada di titik tengah antara dua titik ekstrim. Dalam masalah teologi, misalnya, tentang penafsiran terhadap ungkapan-ungkapan yang menyatakan bahwa Tuhan memiliki tangan, kaki, mata, dan seterusnya, seperti layaknya manusia, mazhab ini moderat di antara dua titik ekstrim. Satu titik menafsirkan bahwa Tuhan benar-benar memiliki tangan, kaki, mata, dan seterusnya, seperti manusia. Sementara titik ekstrim lainnya menyebut bahwa Tuhan tidak memiliki itu semua, karena Tuhan beda dengan manusia. Titik ekstrim yang terakhir ini lalu mengambil langkah takwil. Yakni, mengartikan ungkapan-ungkapan itu dengan makna lain. Tangan, misalnya, diartikan sebagai kekuasaan. Ahlus Sunnah wal Jamaah mengambil langkah pertengahan dengan mengatakan bahwa Tuhan memiliki tangan, tetapi tangan-Nya tidak sama dengan tangan manusia. Manusia hanya perlu menyebut itu, tidak perlu mempertanyakan bagaimana bentuknya. Dalam masalah takdir juga demikian. Mazhab ini berada di antara Qadariyah (Muktazilah) yang mengatakan bahwa takdir di tangan manusia dan Jabariyah (fatalisme) yang mengatakan bahwa takdir di tangan Tuhan.

Liberalisme sendiri sebetulnya merupakan istilah yang sudah terstigma negatif. Apalagi, istilah ini diambil dari khazanah paradaban Barat yang sekuler. Kekhawatiran pun merebak di kalangan masyarakat NU bahwa liberalisme akan membawa pada sekulerisme yang pada gilirannya membawa masyarakat untuk hidup permisif ala Barat. Padahal, jika dicermati, liberalisme ini hanya di ranah pemikiran. Liberalisme ditujukan untuk misi pembebasan (liberty) dari paradigma berpikir keagamaan yang jumud dan kaku. Liberalisme ingin membongkar doktrin-doktrin yang dianggap membatu. Karena, pada dasarnya, Islam sendiri sejak kemunculannya membawa misi liberty ini. Yakni, membebaskan masyarakat dari alam kegelapan pada cahaya yang terang (zulumat ilan nur).

Egalitarianisme

Masyarakat egaliter adalah masyarakat yang menempatkan manusia pada posisi yang setara, satu dengan yang lainnya. Tidak ada perasaan senioritas di kalangan masyarakat. Ini rupanya tidak berlaku di kalangan NU. Masyarakat NU tetap merasa bahwa figur tua atau lebih senior itu lebih berhak mengurus NU. Tokoh-tokoh seperti Solahudin Wahid, Said Aqil Siraj, Ahmad Bakja, dan Masdar F Mas’udi, lebih berhak dan layak untuk menjadi ketua PBNU dibandingkan Ulil Abshar-Abdalla. Kaum muda tidak begitu diminati. Apalagi, jika kaum muda sudah terstigma negatif akibat pemikiran yang dianggap nyeleneh. Di kalangan masyarakat NU malah menguat desakan agar NU benar-benar steril dari pemikiran liberal.

Kaum muda NU sebetulnya ingin kaum muda dihargai. Setidaknya, dengan tidak membuat tata tertib yang langsung membuat calon kandidat tertentu langsung tereliminasi. Artinya, NU diminta untuk konsisten dengan moderatisme yang memberi ruang pada kaum muda untuk maju. Toh, jika melihat konfigurasi dukungan masyarakat NU, kaum muda memang berkans kecil. Kaum muda NU lebih populer di kampus-kampus. Sementara jumlah santri yang fanatik pada figur kyai jauh lebih besar. Ulil tentunya juga tahu betul peta masyarakat akar rumput NU yang seperti itu. Ia hanya ingin kaum muda terwadahi, bahkan diberi kesempatan untuk tampil dengan mencalonkan diri.

Apa yang terjadi pada tereliminasinya Ulil gara-gara pemikiran liberal mengindikasikan masih lebarnya jurang komunikasi antara kaum muda dan kaum tua dalam ruang organisasi NU. Kaum tua dianggap terlalu kolot dengan mempertahankan tradisi, sementara kaum muda dianggap tidak sopan melangkahi kaum tua. Ini mungkin dinamika yang terjadi di NU. Namun begitu, dinamika ini sesungguhnya tidak mengubah citra NU di mata publik, baik nasional maupun internasional, sebagai organisasi kemasyarakatan yang telah berbicara dan memberikan sumbangsih positif bagi kemajuan yang progresif.*

0 comments:

Post a Comment

banner125125 d'famous_125x125 ads_box ads_box ads_box