Pertarungan Gagasan di Muktamar NU

Friday, March 26, 2010

Jumat, 26 Maret 2010 | 02:49 WIB

Di PBNU, Ahmad Bagdja bukan orang baru. Selama 25 tahun aktif di PBNU, bahkan ikut menyusun kembalinya ke khittah pada 1983-1984.

Menurut dia, seluruh kebijakan, baik politik, keumatan, hubungan dengan negara, maupun kewenangan yang bersifat strategis, menjadi kewenangan Syuriah. Itu akan jadi pegangan Tanfidziyah dalam membangun organisasi. NU tidak akan mencampuri urusan politik praktis, apalagi politik kepartaian. ”Saya ingin fokus membangun kemandirian NU sebagai kekuatan Islam Ahlussunnah Wal Jamaah,” ujarnya.

Karena itu, program pertamanya adalah proses pencerahan, baik dalam kehidupan beragama maupun pola pikir yang menjadi persoalan terbesar warga NU. Kedua, Bagdja ingin melakukan pemberdayaan ekonomi, kesejahteraan umat, pendidikan, dan kesehatan. Ketiga, menyangkut pembelaan warga NU yang secara hukum banyak tertindas dan terabaikan hak-haknya.

KH Ali Maschan Moesa

Memimpin Pengurus Wilayah NU Jawa Timur selama dua periode (1999-2008) membuat KH Ali Maschan Moesa merasa punya modal bertarung. ”Mayoritas (pengurus) di Jatim masih di belakang saya. Saya juga koordinator muktamar Lirboyo (Kediri) dan Solo (Boyolali),” katanya.

Ali ingin menjadikan NU seperti keinginan pendirinya, yang tertuang pada tiga poin pidato KH Hasyim Asy’ari. Pertama, rasa persatuan, kebersamaan, dan saling asih sesama warga NU. Kedua, NU harus menjadi wadah bersama tanpa membedakan institusinya, mulai dari politisi, penguasa, hingga rakyat. Ketiga, NU harus mendorong kemajuan ilmu dalam arti yang sesungguhnya melalui jalur pendidikan. Poin itu masih ditambah lagi dengan syarat yang diterima KH Cholil Bangkalan, guru KH Hasyim Asy’ari. Bahwa NU harus berdiri di samping orang-orang kecil dan masyarakat bawah, memperjuangkan negara kebangsaan, dan simbol spiritualitas NU. Ali akan menjalankan program dengan bingkai enam hal tersebut.

KH Masdar F Mas’udi

Tak bisa disangkal bahwa NU memiliki posisi dan peran yang sangat strategis bagi perjalanan bangsa. Peran besar NU itulah yang membuat KH Masdar F Mas’udi terdorong ingin memimpin NU. Modal untuk bertarung pun ia miliki. Pada Muktamar NU 2004, ia memperoleh dukungan suara terbesar kedua setelah KH Hasyim Muzadi. Tahun itu juga ia menjadi Pelaksana Harian Ketua Umum saat KH Hasyim Muzadi meramaikan panggung pemilihan presiden. Bahkan, kala itu ia juga mendapat amanah dari Rais Aam PBNU KH MA Sahal Mahfudz untuk mengawal NU dari tarikan politik praktis.

Soal optimalisasi peran Syuriah sebagai pengendali organisasi, katanya, justru memperlihatkan kesejatian NU. ”Bagi saya, Syuriah itu ibarat imam masjid dan Tanfidziyah adalah takmir (pengurus masjid)-nya,” ujarnya. Oleh karena itu, ia berencana membangun NU sampai ke basis, yaitu masjid. Semua masjid NU harus menjadi basis kepengurusan NU inti. ”Memakmurkan masjid berarti memakmurkan bumi Allah dan memakmurkan NU,” katanya.

Ulil Abshar-Abdalla

Di tengah derasnya arus penolakan terhadap dirinya karena dikaitkan, antara lain, dengan ”sikap liberalnya”, Ulil Abshar- Abdalla tidak surut meramaikan bursa kandidat ketua umum PBNU. Tekadnya sudah bulat. ”Saya ingin ada semangat baru di PBNU untuk menghadapi tantangan baru,” ujar Ulil mengenai modal yang dimilikinya.

Bagi Ulil, NU adalah organisasi besar yang butuh pemimpin besar. Kekeliruan dalam memilih pemimpin NU juga merugikan bangsa Indonesia, bukan hanya warga nahdliyin. Sekarang ini dibutuhkan pemimpin yang bisa meneruskan peran yang dimainkan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). ”Tidak mudah menggantikan Gus Dur secara individual. Yang mungkin adalah menggantikan Gus Dur secara kolektif,” ujar Ulil. ”Saya ingin NU sebagai ormas yang memiliki posisi internasional bisa menjadi juru bicara Islam di dunia internasional. Selama ini dalam posisi itu NU belum kelihatan,” katanya. Pengalamannya mendapatkan pendidikan di berbagai tradisi, seperti pesantren, pola Timur Tengah, dan dan sistem Barat, menjadi pegangannya.

KH Said Aqil Siradj

Kiprah selama 15 tahun dalam kepengurusan NU menjadi modal KH Said Aqil Siradj maju sebagai kandidat ketua Dewan Tanfidziyah PBNU. Dengan memahami seluk-beluk organisasi, Said pun terpanggil untuk meningkatkan pengabdian dan berkontribusi terhadap NU. Selain itu, Said juga berambisi menyempurnakan kinerja kepengurusan sebelumnya agar NU lebih bermanfaat bagi umat. ”Saya juga ingin membawa NU menjadi organisasi yang bermitra dengan pemerintah,” tuturnya.

Apabila dipercaya menjadi Ketua Dewan Tanfidziyah PBNU, Said bertekad membawa NU kembali ke pesantren yang menjunjung tinggi agama, akhlak, kesederhanaan, dan kemandirian. ”NU akan menjadi besar apabila meninggalkan politik praktis,” ungkap Said yang sekarang Ketua PBNU itu.

KH Salahuddin Wahid

KH Salahuddin Wahid yang akrab disapa Gus Solah mengaku tidak pernah berkeinginan menjadi kandidat ketua Dewan Tanfidziyah PBNU. Namun, desakan sejumlah kiai sepuh di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat membuat Gus Solah berubah pikiran. ”Saya akan bertarung habis-habisan guna menjalankan amanah kiai sepuh,” tuturnya.

Apabila dipercaya menjadi Ketua Dewan Tanfidziyah, Gus Solah bertekad membawa NU fokus pada kegiatan sosial, pendidikan, dakwah, dan peningkatan kesejahteraan ekonomi umat.

”Saya ingin menggarap sektor ekonomi secara serius karena di sinilah letak kelemahan kepengurusan-kepengurusan PBNU sebelumnya,” ungkap Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, ini. Gus Solah juga beranggapan, NU harus dijauhkan dari politik praktis. Dengan menjauhkan diri dari politik, NU pun akan lebih mudah kembali ke Khittah 1926.

Slamet Effendy Yusuf

Slamet Effendy Yusuf maju sebagai Ketua Umum Tanfidziyah PBNU dengan modal dorongan banyak kiai NU, sesepuh, guru, teman, serta pimpinan wilayah dan cabang. ”Saya punya pengalaman ikut mengelola organisasi besar di luar NU yang memiliki model pengorganisasian yang modern,” kata Ketua Majelis Ulama Indonesia ini.

Ia menilai, persoalan NU sekarang adalah terkait konsistensi pada Khittah NU. ”Saya melihat, pengurus sering terjebak melibatkan NU ke politik praktis yang tidak dibenarkan Khittah,” ujar mantan Ketua DPP Partai Golkar ini.

Jika terpilih, Slamet berjanji akan melaksanakan program muktamar. Tetapi, ia punya visi yang akan menuntun arah pelaksanaan program. Pertama, penguatan wawasan Islam ala Ahlussunnah Wal Jamaah, wawasan Islam NU. Kedua, penguatan organisasi dan, ketiga, penguatan program. ”Saya memilih program pendidikan, pelayanan sosial, peningkatan ekonomi, kaderisasi, dan memperkokoh jaringan NU,” katanya.

(NTA/MZW/RIZ/SSD)

0 comments:

Post a Comment

banner125125 d'famous_125x125 ads_box ads_box ads_box