Kerisauan Di Arena Muktamar NU

Friday, March 26, 2010


Jumat, 26 Maret 2010 02:00
SECARA teori, setidaknya ada tiga fungsi tajuk rencana yang kami namakan Jati Diri. Pertama, mengkritik kebijakan pemerintah yang merugikan publik. Bisa juga memberi solusi atau pencerahan dalam menyikapi masalah yang dihadapi publik. Yang ketiga, memberi dukungan terhadap kebijakan atau pandangan (kritik) yang kami yakini benar.
Nah, kali ini kami akan mengambil posisi untuk mendukung pandangan yang kami anggap on the track. Wawancara koran ini dengan KH Mustofa Bisri, salah seorang tokoh terkemuka NU (Nahdlatul Ulama), di arena muktamar organisasi itu di Makassar patut kita beri apresiasi.
Gus Mus -panggilan KH Mustofa Bisri- merasa risau atas perkembangan muktamar yang berbau politik uang. Dia berpandangan, tidak selayaknya muktamar NU yang merupakan organisasi yang didirikan para ulama itu menjadi ajang seperti pilkada.
Dia prihatin karena ada upaya pihak-pihak tertentu yang menginginkan pemilihan rais am juga lewat voting. Padahal, dalam tradisi organisasi tersebut, para kiai sangat dihormati dan disegani, sehingga untuk memilihnya tidak perlu harus dengan voting. Apalagi, alasan voting itu adalah karena rais am sebelumnya dianggap kurang tegas.
NU seharusnya berbicara moral dan kemaslahatan umat. Sebab, para anggotanya adalah orang-orang alim dan mengerti agama, kata Gus Mus. Karena itu, wajar dia risau bila organisasi ulama tersebut telah berubah menjadi organisasi yang mementingkan kekuasaan dan pemilihan beraroma transaksi.
Tentu sangat banyak yang mendukung pandangan Gus Mus. Orang-orang yang mengerti roh organisasi NU tentu akan berada di belakang pandangan kiai asal Rembang tersebut. Ahmad Tohari, misalnya. Warga nahdliyin yang dikenal sebagai novelis itu juga pernah menyatakan prihatin atas perkembangan NU. Seperti halnya Gus Mus, dia risau atas adanya sejumlah pemimpin NU yang sudah tidak mendengar suara ulama. Dia juga risau atas adanya aroma money politics yang menyeruak menjelang muktamar.
Sejatinya, kritik Gus Mus itu, bila kita cermati lebih jauh, tidak hanya untuk NU, tapi juga sebuah kritik untuk perkembangan organisasi di Indonesia. Yakni, kegilaan politik uang yang telah berkembang dalam berbagai metode dalam setiap pemilihan. Baik pemilihan legislatif, pemilihan presiden, pemilihan gubernur, hingga pemilihan wali kota atau bupati.
Bahkan, pemilihan pejabat yang dilakukan para anggota DPR juga telah berkembang menjadi arena bagi-bagi uang. Dukungan diberikan bila ada kompensasi uang. Yang paling jelas-jelas adalah pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Goeltom pada 2004. Sejumlah politikus kini sedang diadili karena telah menerima suap dalam pemilihan pejabat publik itu. Bukan tidak mungkin pemilihan pejabat publik lainnya juga kental dengan politik jual beli suara tersebut.
Intinya, hampir semua ajang pemilihan itu beraroma money politics. Betapa sedihnya kita bila arena muktamar NU juga sudah terjangkiti penyakit semacam itu. Padahal, muktamar NU yang merupakan kumpulan orang-orang yang mengerti agama tersebut kita harapkan menjadi benteng terakhir yang tidak bisa ditembus budaya politik uang. Politik uang telah menafikan hati nurani, juga telah menafikan kehebatan seorang calon serta telah menafikan nilai-nilai moral. Susah dibayangkan kalau pemimpin organisasi sekelas NU tidak mengedepankan nilai-nilai moral itu. (*)

0 comments:

Post a Comment

banner125125 d'famous_125x125 ads_box ads_box ads_box