NU Kultural VS Struktural, Siapa Unggul?

Friday, March 26, 2010
R Ferdian Andi R

(inilah.com)

INILAH.COM, Jakarta — Di Muktamar NU ke-32

ada dua kekuatan yang saling berhadapan, yaitu antara kelompok supremasi ulama (NU kultural) versus supremasi muktamar (NU struktural). Siapa unggul?

Pemicu kontraksi politik yang disimbolkan dengan dua kekuatan dalam Muktamar NU dipicu rumor kenaikan KH A Hasyim Muzadi menduduki posisi rais aam. Rencana ini memberi efek tidak kecil, seperti memaksa kembali kemunculan KH Sahal Mahfud ke gelanggang muktamar. Disusul dengan munculnya sejumlah figur baru seperti KH Maemun Zubair dan KH Ma’ruf Amin.

Efek lainnya yang tak kalah 'reaktif’ yaitu munculnya ‘aliansi taktis’ yang mengatasnamakan ulama sepuh. Kelompok ini dimotori KH A Musthofa Bisri alias Gus Mus. Bahkan kelompok sepuh ini berbicara keras ihwal rencana kenaikan KH Hasyim Muzadi di panggung rais Aam, meski tak langsung tunjuk hidung.

Rais aam itu maqam-nya sesepuh NU. Makanya wacana menghidupkan kembali sistem pemilihan ahlul halli wal aqdi merupakan cara yang pas dan elegan,” ujar Gus Mus.

Pernyataan Gus Mus jelas tertuju pada figur KH Hasyim Muzadi. Memang secara formal Ketua PBNU demisioner itu belum mencalonkan diri untuk posisi rais aam. Namun kasak-kusus peserta muktamar menyebutkan nama KH Hasyim Muzadi cukup menguat duduk di posisi rais aam syuriyah NU. "Soal pencalonan, tunggu saja saat pemilihan," elak Hasyim Muzadi diplomatis menjawab pertanyaan apakah ia bakal maju dalam perebutan rais aam Syuriyah NU.

Walau demikian, hakikatnya rencana kenaikan KH Hasyim Muzadi maju di posisi rais aam tidaklah menjadi soal dari sudut pandang aturan main muktamar. Terlebih Tata Tertib Mukatmar NU ke-32 di Bab VII pasal 20 ayat (2) disebutkan rais aam dan ketua umum dipilih oleh peserta muktamar yang menjadi utusan PWNU, PCNU, PCINU yang sah.

Tatib itu pun telah menjadi kesepakatan peserta muktamar yang merupakan pemegang mandat muktamar. Dengan demikian gagasan ahlul halli wal aqdi menjadi tidak relevan lagi dengan telah disahkannya tatib di sidang pleno muktamar.

Sementara terpisah, pengamat politik Universitas Airlangga Kacung Marijan menilai, munculnya dua kutub dalam Muktamar NU sejatinya tidak terlepas dari posisi NU yang terdiri dari NU kultural dan NU struktural. Menurut dia, hajatan muktamar ini merupakan hajatan NU struktural.

“Nah muktamar ini agenda organisasi. Artinya yang memiliki otoritas dalam hal ini adalah organisasi, ya NU itu,” ujarnya ketika dihubungi INILAH.COM, Jumat (26/3).

Menurut dia, seiring perubahan AD/ART dan Tata Tertib Muktamar, pemilihan rais aamtelah mengalami perubahan dari sebelumnya yang menggunakan metode penunjukan langsung (ahlul halli wal aqdi). "Sekarang di tatib tidak seperti itu, yaitu melalui mekanisme pemungutan suara,” ujarnya.

Kendati demikian, Kacung menilai, sebenarnya tidak musti dilakukan voting dalam pemilihan rais aam. Jika pada akhirnya terjadi aklamasi terhadap satu calon, maka tidak perlu melakukan voting dalam pemilihan rais aam.

"Jadi bisa saja seperti Muktamar NU 2004 lalu terulang, kala itu muktamar secara aklamasi memilih Kyai Sahal,” ujarnya seraya menegaskan ada baiknya para kyai berkumpul menyelesaikan ketegangan terkait pemilihan rais aam.

Hingga kini, upaya komunikasi antarkyai masih belum membuahkan hasil signifikan. Pergerakan komunikasi antarkyai mulai Kamis (25/3) hingga Jumat (26/3) ini belum menunjukkan sinyal arah aklamasi untuk memilih satu calon rais aam. Jika kondisi ini terus bertahan, publik akan menyaksikan pertarungan antara NU kultural yang direpresentasikan KH Sahal Mahfud dengan NU struktural yang diwakilki KH Hasyim Muzadi. [mor]

0 comments:

Post a Comment

banner125125 d'famous_125x125 ads_box ads_box ads_box