Khittah Ekonomi Nahdliyah

Wednesday, March 24, 2010
Oleh Marwan Ja`far Ketua DPP PKB
TRIBUNTIMUR/ANDRE

KAMIS, 25 MARET 2010 | 00:06 WITA

Sementara itu, perdesaan dimana sebagian besar warga NU berada juga belum banyak dimanfaatkan oleh NU sebagai basis gerakan pemberdayaan ekonomi nahdliyin. Padahal, selain sebagai pusat sebaran kependudukan, perdesaan adalah kantong utama kemiskinan dan keterbelakangan

Salah satu desakan kuat yang mengemuka di Muktamar ke-32 NU di Makassar adalah keinginan nahdliyin agar NU kembali kepada tujuan awal pendirian organisasi ini di tahun 1926. Salah satu tujuan pendirian yang selama puluhan tahun terakhir seperti dianaktirikan adalah sistem dan kondisi perekonomian warga NU, meski NU telah memiliki lembaga perekenomian, ataupun sejumlah badan usaha dan koperasi tersendiri.
Warga NU menuntut peranan nyata organisasi ini dalam membangun perekonomian warganya.
Tuntutan tersebut tentunya sangat wajar dan cukup punya alasan, sebab telah sekian lama warga NU disibukkan oleh perdebatan tak pernah usai tentang komitmen NU kembali ke Khittah yang berkutat pada masalah hubungan NU dengan politik praktis atau partai politik.
Mayoritas nahdliyin menghendaki agar NU melakukan moratorium politik. Berhenti untuk terlibat secara langsung dengan day to day politik, serta menyerahkan urusan politik praktis kepada kader-kader NU di partai. Tampaknya, moratorium politik NU kini tengah menemukan momentumnya.
Warga NU sudah cukup kenyang dengan hiruk-pikuk politik yang kerap menyeret organisasi ulama terbesar seluruh dunia ini pada situasi konfliktual yang mengancam eksistensi dan kohesifitas NU, baik secara kelembagaan (jam'iyah) maupun secara kultural (jama'ah).
Semangat zaman nahdliyin hari ini adalah pembangunan dan pemberdayaan perekonomian NU. Sebab, geliat gerakan intelektual, gerakan budaya dan gerakan politik yang selama ini digulirkan NU belum berbanding lurus dengan peningkatan kualitas perekonomian nahdliyin.
Contoh kecil dapat diajukan di sini untuk melukiskan fenomena ini dapat ditelisik dari banyaknya anak-anak warga NU setelah menamatkan pendidikan pesantren misalnya, ketika kembali ke tengah keluarga dan masyarakatnya, mereka dihadapkan pada tuntutan hidup untuk mencari pekerjaan, hingga terpaksa mendapatkan seadanya.
Realitas ini seolah mengabarkan bahwa apa yang diperoleh sekian lama di pesantren, sekurang-kurangnya tidak banyak membantu mereka untuk memenuhi kebutuhan survival living.
Fakta lain yang tidak kalah menyesakkan adalah beberapa fakta di daerah dan perdesaan menunjukkan bahwa banyak usaha perekonomian seperti Usaha Kecil Menengah (UKM) milik warga NU yang mulai gulung tikar terimbas perdagangan bebas ASEAN-China (CAFTA).
Mereka mulai banyak menutup usahanya karena tidak kuat bersaing dengan produk China yang harganya lebih murah dan kualitasnya lebih bagus daripada produk lokal. Sementara itu, perhatian dan perlindungan dari pemerinah terhadap UKM-UKM NU tersebut kurang memadai.
Amal Usaha
Kondisi di atas harus disikapi dengan bijak dan tepat. Dalam hal lapangan pekerjaan bagi warga NU, solusinya bukan dengan menyalahkan pendidikan pesantren, melainkan perlu menyempurnakan pendidikan pesantren tersebut dengan pengembangan ekonomi atau peluang-peluang lapangan pekerjaan yang mencukupi.
Sedangkan terkait dengan upaya penyelamatan UKM dan usaha ekonomi milik nahdliyin, salah satu langkah yang mendesak diambil oleh PBNU adalah menggerakan seluruh resources organisasinya dari pusat hingga ranting dengan melakukan optimalisasi kopontren, BPR Nusumma, lembaga keuangan mikro (BMT), sehingga para UKM milik (warga) NU dapat mengakses kredit mikro.
Inilah tugas NU. Inilah amal usaha NU yang sejatinya termaktub dalam fatsal 3 Statuen NU 1926 yang menandaskan bahwa tugas NU diantaranya untuk memberantas kemiskinan, memperhatikan anak yatim dan memperhatikan usaha-usaha perekonomian. Statuen NU juga mendorong untuk secara khusus memperhatikan sektor pertanian, perdagangan dan perusahaan-perusahaan yang dapat menopang ekonomi warga dan selaras dengan kepentingan agama.
Konsepsi ini diperkuat dengan peraturan rumah tangga-nya yang mendorong untuk saling tolong-menolong dalam usaha perekonomian NU.
Karenanya, pembangunan ekonomi nahdliyin harus secepatnya dilaksanakan secara terorganisir mulai dari tingkat pusat hinga tingkat ranting. Muktamar ke-32 ini adalah moment yang paling tepat bagi NU untuk mencetuskan Khittah ekonomi nahdliyah.
Melalui Muktamar inilah, desain pemberdayaan umat maupun model-model gerakan ekonomi NU seharusnya dirumuskan dan ditetapkan. Makna strategis Muktamar juga kian nyata jika para muktamirin berhasil memasukkan agenda-agenda kongkrit untuk pemberdayaan ekonomi warga NU menjadi program riil yang harus diemban dan menjadi fokus dari kepengurusan PBNU selama lima tahun mendatang.
Sebab, keberdayaan ekonomi warga NU menjadi prasyarat penting bagi terciptanya kembali kemandirian NU sebagai lokomotif kekuatan civil society.
Lantas, modalitas apakah yang dimiliki oleh NU dalam memberdayakan ekonomi warganya? Bagi penulis, pesantren dan perdesaan adalah modalitas penting bagi NU untuk mewujudkan Khittah ekonomi nahdliyah di atas. Pesantren merupakan aset tak ternilai bagi NU dalam upaya membangun ekonomi nahdliyin dan masyarakat luas yang kuat dan tidak mudah kolaps oleh hantaman ekonomi global.
Begitu pula dengan masyarakat perdesaan -dimana mayoritas warga NU berada-yang dipenuhi oleh petani, buruh tani, peternak, nelayan, dan sebagainya merupakan aset besar bagi NU dalam mengembangkan model ekonomi yang dikehendakinya.
Basis Gerakan
Ribuan pesantren yang terserak di puluhan ribu perdesaan jika disentuh dan dikelola dengan benar akan menjadi sentra-sentra ekonomi NU dan pusat-pusat pemberdayaan umat. Sejarah membuktikan bahwa kelangsungan dan kemandirian pesantren yang eksis sejak ratusan tahun yang lampau disebabkan pesantren memiliki basis ekonomi sendiri yang mandiri.
Dalam konteks kekinian, potensi ekonomi pesantren tersebut dapat dijembatani oleh koperasi-koperasi pesantren maupun lembaga-lembaga ekonomi lainnya yang ada di pesantren. Hanya saja, potensi pesantren sebagai basis dan sentra pemberdayaan ekonomi nahdliyin selama ini belum cukup mampu dioptimalkan dan ditangani secara strategis melalui sebuah desain pemberdayaan ekonomi umat, baik dalam jangka menengah maupun jangka panjang yang visibel, terencana, terukur, dan terorganisir.
Sementara itu, perdesaan dimana sebagian besar warga NU berada juga belum banyak dimanfaatkan oleh NU sebagai basis gerakan pemberdayaan ekonomi nahdliyin. Padahal, selain sebagai pusat sebaran kependudukan, perdesaan adalah kantong utama kemiskinan dan keterbelakangan.
Data statistik pun menunjukkan dari sekitar 37 juta rakyat Indonesia yang miskin, 63,58 persen diantaranya adalah orang desa, dan lebih dari 70 persennya adalah warga NU. Karena itu, keterlibatan NU dalam membangun desa, sama halnya dengan menuntaskan masalah ekonomi dan kesejahteraan nahdliyin itu sendiri sekaligus sama halnya membantu bangsa (pemerintah) ini membereskan lebih dari separo problem kemiskinan dan keterbelakangan di Indonesia.
Syarat yang harus dipenuhi oleh NU dalam pembangunan perdesaan tersebut adalah dengan melakukan percepatan pembenahan manajemen, SDM dan struktur organisasional NU utamanya di tingkat ranting untuk menjadi ujung tombak NU dilevel desa. Dengan begitu, seluruh resources dan potensi perekonomian NU yang sedemikian besar tersebar di pelbagai perdesaan mampu terkelola dengan produktif, dan ekonomis.
Tentunya, membangun gerakan ekonomi NU tidak semudah membalik telapak tangan, tetapi dengan kepemimpinan, ketauladanan, dan bimbingan para ulama NU yang faqih fi masholih al-khalqi, hal itu bukanlah sesuatu yang tidak mustahil diwujudkan.
Selamat ber-Muktamar.***

0 comments:

Post a Comment

banner125125 d'famous_125x125 ads_box ads_box ads_box