Ketika "Kaum Sarungan" Terlibat Muktamar NU

Wednesday, March 24, 2010
Rabu, 24 Maret 2010 | 08:57 WIB
ABBAS SANDJI
Umat menghadiri pembukaan Muktamar ke-32 Nahdlatul Ulama (NU) di Celebes Convention Center, Makassar, Sulsel, Selasa (23/3/2010). Muktamar organisasi Islam terbesar di Indonesia ini dihadiri ribuan umat Islam dari berbagai daerah dan resmi dibuka oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. TRIBUN TIMUR/ABBAS SANDJI

KOMPAS.com - "Shalatullah salamullah..." Lantunan shalawat Nabi yang dikumandangkan kencang oleh peserta Muktamar Ke-32 Nahdlatul Ulama terdengar menggema di arena pembukaan muktamar di Celebes Convention Centre di Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa (23/3/2010) siang. Lantunan shalawat itu seperti air yang menyejukkan saat sempat terjadi adu tegang antara petugas dan peserta yang hendak menerobos masuk ke arena pembukaan muktamar.

Kala itu, sekitar dua jam sebelum acara digelar, ruangan tempat pembukaan muktamar penuh. Seluruh kursi terisi. Petugas pun mengarahkan peserta tak memaksakan diri untuk masuk. Namun, banyak muktamirin (peserta muktamar) yang merasa diundang bertahan, tak beranjak dari antrean di muka pintu yang sudah tertutup.

"Kami dapat undangan, masak tidak boleh masuk. Kasihan ulama yang sepuh-sepuh," ujar seseorang di tengah kerumunan seraya mendorong tubuhnya agar bisa masuk ruangan.

Dalam sekejap, lantunan shalawat itu ibarat komando yang membuat peserta merangsek. Petugas pun tidak mampu lagi membendung. Alhasil, peserta langsung berdesak-desakan agar bisa cepat masuk ke arena pembukaan muktamar. Alat pendeteksi logam (metal detector) yang semula digunakan tak lagi berarti. Alat itu dipinggirkan.

Pemandangan hari itu memang berbeda. Biasanya, setiap acara resmi yang dihadiri presiden atau wakil presiden standar pengamanan yang diterapkan Pasukan Pengamanan Presiden selalu ketat. Bukan hanya pemeriksaan memakai pendeteksi logam, melainkan juga sampai cara berbusana pun harus rapi dan formal. Akan tetapi, itu semua seperti tidak berlaku pada pembukaan Muktamar Ke-32 NU.

Jika biasanya peserta acara resmi dilarang memakai celana jins dan harus memakai sepatu, muktamirin seperti mendapat keleluasaan. Mereka boleh datang bersarung dan memakai sandal. Gaya sarungan atau bersandal boleh jadi merupakan ciri khas warga nahdliyin.

Pada pembukaan Muktamar NU, menerapkan standar pemeriksaan sangat ketat sepertinya tak mudah dilakukan. Muktamirin yang hadir jumlahnya ribuan orang, baik laki-laki maupun perempuan, muda ataupun sepuh. Bahkan, dua jam sebelum dibuka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pukul 13.00, lokasi itu sudah dipenuhi muktamirin. Sejumlah pintu tak mampu menampung peserta yang ingin masuk ke dalam ruangan. Akibatnya, terjadi antrean di setiap pintu masuk. Petugas segera menutup pintu begitu ruangan penuh.

Tetap sabar

Walau banyak kemudahan yang diterima peserta muktamar, mereka juga harus dihadapkan banyak kerumitan, mulai dari arus lalu lintas di sekitar lokasi, banyaknya peserta yang tak mendapat kursi, hingga koordinasi peserta yang terkesan kacau. Banyak peserta muktamar kebingungan dari pintu mana mereka harus masuk.

Maklum, tamu yang harus diurus mencapai lebih dari 4.000 orang dengan melibatkan banyak tokoh dan pejabat, mulai dari Presiden, menteri, anggota DPR, tokoh partai politik, sampai ulama. Selain itu, hadir pula duta besar dari belasan negara, puluhan mufti dari sejumlah negara, hingga warga awam.

Di dalam ruangan pertemuan, udara terasa pengap dan panas, tetapi itu tidak membuat mereka hengkang dari kursinya. Meski jenuh karena lama menunggu, mereka tetap sabar menanti dimulainya perhelatan akbar NU lima tahun sekali itu.

Untuk mengusir kejenuhan, sejumlah peserta muktamar memilih berjalan-jalan mengunjungi peserta lain, berfoto bersama teman, atau membaca koran yang berulang kali dibaca. Ada pula peserta yang memilih tidur terlebih dahulu dengan menyandarkan kepala pada sandaran kursi di depannya.

"Tidak jelas kapan acara akan dimulai. Di undangan disebutkan acara mulai pukul 13.00, tetapi kami diminta berangkat ke lokasi pembukaan sejak pukul 07.00. Tiba di lokasi sejak pukul 09.00," kata Mappasabbi (40), Sekretaris Pengurus Cabang NU Bantaeng, Sulawesi Selatan.

Untuk mengusir udara panas, sebagian besar peserta menggunakan buku kecil pidato iftitah (pembukaan) Rais Aam Syuriah Pengurus Besar NU KH MA Sahal Mahfudz sebagai kipas.

Selain itu, agar nyaman, mereka juga duduk dengan meletakkan salah satu kaki bersila di kursi dan menanggalkan sandal atau duduk selonjor. Mereka juga bebas menikmati makanan dan minuman yang dibagikan panitia sebagai pengganjal rasa lapar. Bahkan, di sisi kanan panggung, termasuk ketika Presiden memberikan pidato, muktamirin duduk lesehan di atas karpet. Itulah suasana yang terasa tak umum jika dibandingkan dengan acara resmi yang dihadiri Presiden.

Lain di dalam, lain pula di luar ruangan. Sebagian peserta muktamar memilih duduk di luar ruangan demi mendapat udara segar, bebas bergerak, dan bebas merokok. "Lebih enak di luar karena sejuk dan bisa merokok," ujar As’ad Gazeli (50), anggota Pengurus Cabang (PC) NU Martapura, Kalimantan Selatan.

Bagi As'ad, pembukaan muktamar kali ini adalah yang ketiga kali diikutinya. Sebelumnya, ia mengikuti muktamar di Yogyakarta tahun 1989 dan Boyolali (2004). "Bagi kami, pembukaan hanya sekadar seremoni. Kami juga tidak datang jauh-jauh untuk melihat acara dibuka, tetapi karena ingin bertemu teman dan berwisata," tutur Wildani (48), rekan As'ad, yang juga pernah mengikuti dua muktamar sebelumnya. Wildan dan As'ad tak kecewa karena gagal mengikuti acara pembukaan di dalam gedung akibat terlalu penuh.

Ketua PC NU Bondowoso, Jawa Timur, Abdul Qodir Syam (55) pun mengaku tak menyesal tak mengikuti seremonial pembukaan muktamar secara langsung. Ulama yang lima kali mengikuti muktamar itu menilai agenda lain dalam muktamar jauh lebih penting dibandingkan dengan pembukaan. "Mungkin pembukaan lebih cocok bagi ulama muda atau peserta yang baru kali ini mengikuti muktamar," katanya enteng.

Warga NU memang dikenal memiliki karakter yang unik. Mereka sering diidentikkan dengan masyarakat tradisional yang bergerak mencicipi modernitas. Namun, mereka tetap aset bangsa ini.(ASWIN RIZAL HARAHAP dan M ZAID WAHYUDI)

0 comments:

Post a Comment

banner125125 d'famous_125x125 ads_box ads_box ads_box